Akhirnyasaya beranikan diri untuk menuliskan tentang ini. Bukan maksud untukmembela atau menyalahkan pihak manapun. Ini sebuah cerita pribaditentang pengalaman yang pernah kujalani dengan orang-orang yangberbeda suku, ras, dan agama bahkan etnis.
Dulubanget, tahun 2007 aku datang ke kota Jakarta untuk bekerja. Sebagaianak kampung yang baru lulus SMK aku merasa culun dan cupu tinggal dikota besar dan sangat panas. Beruntugnya ada Bude, Paman dan Tanteyang juga kerja di sana. Waktu itu saya tinggal di tempat Bude. Jadi,orang tua saya pun tidak khawatir. Namun setelah beberapa bulanrasanya saya enggak enak kalau hidup cuma numpang. Secara makan danlain-lain Bude semua yang tanggung. Aku mau beli sayur aja pun enggakboleh, katanya uantnya disimpan saja buat akua atau keperluanlainnya.
Setelahberdiskusi akhirnya saya kost. Kebetulan punya temen kost sama-samaorang Banyumas. Jadi ya, enak gitu ngobrol ngalor ngidul semakinakrab. Dan kami juga akhirnya kerja di sebuah atap yang sama. Didaerah pasar pagi lama, Jakarta Barat. Bos kami tentunya Chines.Beliau kebetulan beragama Budha. Dan temen kami ada yang Chines juga,namun beragama Katholik.
Awalnyatakut, takut terjadi sesuatu yang diceritakan kebanyakan orang-orang.Katanya kalau punya bos China, apalagi di sebuah perusahaan, karyawanyang Islam dilarang Shalat. Di hari kerja pertama, menjelang jam 12untuk Isoma, tiba-tiba istri bos datang, “Bentar lagi istirahat,kalau kalian mau ibadah tempatnya ruang sebelah pantry,” kamitersenyum. Dan menjawab, “Baik, Bu. Terima kasih,”
Danbenar ruangan itu memang tempat sembahyang bagi karyawannya yangIslam. Bisa dikatakan sebuah Mushola kecil. Tersedia lengkap untukperalatan Shalat baik laki-laki dan perempuan. Pikiran negatifku punmulai menghilang. Ditambah lagi, kalau di pantry, ada piringdan peralatan makan mereka dengan kami terpisah. Bukan membedakankami karyawan dan mereka para petinggi perusahaan, toh wujudnya samaperabot dapur. Yang membedakan hanya warnanya saja. Buat merekacoklat dan buat kami putih. Ini pun bukan rasis juga, melainkanmereka sangat menjaga kami yang Muslim. Mereka tahu, bahwa adabeberapa makanan yang tidak halal untuk kami makan, sedang merekamemakannya. Sehingga peralatan makan dan urusan dapur pun dipisah.
Kurangbaik dan perhatian apa mereka? Sampai sedetail itu pun merekaperhatikan.
Sedangkantemen kami yang Katholik juga tidak beda dengan bos. Dia baik, jujurdan mengerti kami juga. Kadang kalau sore pas pulang kerja, diamengenalkan tempat-tempat kepada kami. Di mana orang yang jualanhalal, di mana yang ada sedikit campuran minyak lain, di mana orangyang jualan murah, dan lainnya.
Kebaikanorang-orang di Jakarta tak hanya di situ juga. Saat itu, jam sepuluhmalam kami belum tidur. Temen saya sedang asyik SMS-an sedang sayaasyik chating di mirc. Ternyata perut lapar, warteg sebelah udahtutup. Langganan ketoprak dan nasi goreng pun sudah laris manis. Kamiberdua akhirnya jalan mencari makanan berat untuk mengisi perut.Sampai di sebuah Indomaret, ada pedagang mie ayam yang masih jualan.Penjualnya pun terlihat ganteng dan masih muda. Otomatis kita hampiriuntuk membeli.
“Kak,mie ayamnya masih?” tanyaku.
“Masih,Non. Tapi maaf apa mau? Ini tidak halal, Non,” balasnya.
“Oh,”aku dan temen kost pun saling menggeleng bersamaan.