Pendidikan 4.0 di depan pintu kita, dan tentunya merupakan peluang sekaligus tantangan bagi lembaga pendidikan yang siap menembus masa depan. Namun kita menyadari bahwa untuk beralih dari model pembelajaran tatap muka atau bertemu secara langsung, lalu berubah menjadi daring (online) yang sarat dengan teknologi digital adalah transformasi yang membutuhkan upaya dan biaya tidak sedikit.
Meskipun transformasi digital tersebut terjadi dengan cara yang berbeda, pada langkah yang berbeda, serta dengan cara-cara yang berbeda. Namun, peluang secara umum adalah bahwa semua lembaga perguruan tinggi dihadapkan pada pertanyaan bagaimana beradaptasi dan membentuk pendidikan tinggi di dunia yang semakin digital. Teknologi hanya sarana mencapai tujuan, dan oleh karena itu penting untuk memperdebatkan, mempertanyakan dan menanyakan tujuan transfomasi digital, serta beradaptasi yang ideal untuk memajukan dan meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi.
Sebagai orang sosial, saya  merasa jalan menuju Roma itu banyak. Kenapa dipaksa harus dengan Teknologi seperti itu? Apakah thats the only one way yang bisa dijalankan untuk sampai pada tujuan produktifitas, efektifitas, kualitas, dan sebagainya (jangan sampai ini menjadi konspirasi yang mengarah pada kapitalisasi).Â
Dalam hasil pengamatan dan pengalaman sebagai mahasiswa  yang memanfaatkan media digital untuk belajar dan menemukan hal-hal baru berpendapat bahwa kebangkitan pendidikan Indonesia dengan tranformasi digital kemudian bisa menimbulkan kecanduan atau 'harap gampang' dalam mengerjakan tugas dan segala sesuatu hal ini kemudian berdampak buruk terhadap kualitas pendidikan di Indonesia, tidak akan ada pemikir yang kritis karena Segalanya sudah disediakan oleh industri internet. kecurangan karena berkolaborasi mencontek satu sama lain). Mahasiswa tersebut akan diberikan nilai E (tidak lulus satu mata kuliah) dan gagal satu semester. Ini kaitannya dengan pengembangan karakter.Â
Tapi kemudian, layakkah memberikan hukuman tersebut kepada mahasiswa? Ketika pada prosesnya sendiri tidak ada pengawasan dari dosen, tidak ada instrumen pengawasan. Meskipun mereka harus jujur dan berintegritas dalam relasi sosial. Namun ketika relasi sosial itu tidak berlangsung, bukankah itu menjadi suatu kebodohan?
Di satu sisi ingin mereka jujur dan berintegritas, namun di sisi lain kadang kita mempersilakan mereka untuk berkolaborasi dengan temannya jika ada hal-hal yang tidak dapat dimengerti. Instrumen-instrumen belum siap, yang bisa memastikan pendidikan karakter yang diinginkan bisa berjalan dengan baik. Bukan saja soal infrastruktur yang harus dipersiapkan, yang lebih penting adalah assesmen baik dari sisi pengetahuan dan karakter, serta relasi sosial.
Kemajuan teknologi informasi, menyebutkan bahwa guru dan dosen bukan lagi menjadi sumber pengetahuan. Karena peran dosen dan guru sudah diganti dengan Google, Search Engine lain, atau website lainnya. Pembentukan dan Pendidikan Karakter. Sekarang kita tidak lagi melihat anak dari sisi rapi, sopan dalam penampilan, dan lainnya. Lama kelamaan kita menjadi terbiasa, misalnya dengan melihat anak-anak di aplikasi zoom dengan latar belakang tempat yang berbeda-beda misalnya suasana kamar berantakan, mahasiswa dengan pakaian tidak rapi sepertiÂ
 biasanya.Â
Karena itu, Transformasi Digital bukan hanya trend sesaat, tetapi tuntutan baru di dalam pengelolaan PT, sehingga PT perlu membangun strategi baru untuk dapat bersaing di pasar? internasional dengan sumberdaya yang dimiliki, bahkan perlu meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya.
terlepas dari itu semua saya berpendapat bahwa transformasi Digital telah mengikis substansi pendidikan karakter yang justru sangat penting di era digital
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H