Sudah menjadi 'mitos' kalau film-film barat (baca: Hollywood) lebih digemari oleh para penikmat film bioskop negeri merah putih. Bahkan saya sendiri pun terkadang masih 'klepek-klepek' teracuni oleh mitos tersebut. Apa boleh buat, 'mitos' yang sudah 'mencemari' pikiran kita sebagai bangsa yang berkemanusiaan dan beradab ini; mau tidak mau harus dijadikan 'momok' bagi para pembuat film di negeri Nusantara tercinta. Sebab, ianya justru bisa dijadikan titik tolak revolusi menyeluruh pada ranah perfilman nusantara, kalau mau berjaya. Bukan malah sebaliknya; 'mundur teratur' dalam 'belantara' perfilman.
Sudah dimengerti khalayak kalau tak banyak film nasional yang mampu meraup untung dari pemutaran filmnya di bioskop. yang banyak justru buntung berpuntung-puntung, kalau bisa balik modal saja; itu sudah sangat mempesona tralala. mestinya hal ini dijadikan bahan untuk meriset film nasional yang 'tajir' dari hasil pemutarannya di bioskop. dicari penyebabnya, dianalisa, lalu dirumuskan. sebab, membanjirnya penonton ke bioskop untuk melihat film nasional tertentu pastilah tidak melulu hanya karena hoki. Hoki itu muncul disebabkan filmnya itu sendiri memang telah siap mendapatkan hoki. Artinya, memang filmnya bagus dan mempesona (menurut mayoritas rakyat Indonesia, menurut pengamat dan/atau kritikus yang di iyakan oleh masyarakat Indonesia), sehingga berhak mendapatkan 'ketajiran' serta hoki.
Selain itu, ketahudirian para pelaku perfilman juga dibutuhkan. maksudnya, jangan menghamburkan ongkos produksi kalau filmnya hanya akan diputar di bioskop Indonesia yang jumlahnya hanya beberapa, padahal wilayah negara ini sangat luas tak terkira. Ketersediaan bioskop di seluruh penjuru nusantara juga harus segera terwujud; kalau film nasional mau bangkit tegak berdiri di kaki sendiri, tanpa mengharap investasi asing seperti yang digemborkan baru-baru ini. Jangan biarkan gedung bioskop hanya dimonopoli oleh konsorsium tertentu. Jangan biarkan produksi film nasional justru dimiliki oleh taipan-taipan luar negeri. sementara anak-anak negeri hanya akan tetap dijadikan kuli. Kecuali ada perjanjian alih teknologi.
Penghematan anggaran pembuatan film juga tidak mesti berjalan sejajar dengan 'hematnya' kualitas film. banyak sekali bukti, kalau besarnya ongkos produksi tidak menjamin bagus dan suksesnya sebuah film, atau sebaliknya; keterbatasan ongkos produksi juga tidak menjami kalau film itu nantinya tidak bagus dan tidak sukses.
Lalu, apakah dengan rendahnya ongkos produksi berarti menjadi 'tega' kepada setiap pihak yang terlibat dalam pembuatan film? Jawabannya IYA; kalau, yang terlibat dalam pembuatan film tersebut hanya dijadikan PEKERJA, tak lebih. Jawabannya TIDAK; kalau, para pihak yang terlibat didalam pembuatan film dijadikan pemilik film tersebut. Misalnya; para pihak yang terlibat didalamnya akan mendapatkan pembagian keuntungan dari film tersebut secara adil berdasarkan porsi masing-masing. Kalau jeblok, ya bersama-sama, tetapi kalau sukses secara komersial, ya sukses bersama-sama. Tetapi hal ini dibutuhkan kejujuran dari semua pihak. dan, diperlukan kesepakatan tertulis yang disetujui oleh masing-masing pihak. Ini pun harus tetap ada anggaran untuk membayar para pihak yang terlibat. paling tidak sekedar menutup kebutuhan sehari-hari dan operasional produksi.
Akhirnya, ini hanyalah opini yang wajib memerlukan bukti. Tetapi, tidak akan diketahui terbukti atau tidak terbukti kalau belum ada yang memulai.
HIDUPLAH INDONESIA RAYA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H