Yang membuat stres dan kadang patah arang adalah jika muncul satu masalah pada malam hari, waktu yang sulit untuk meminta bantuan kepada teman PMI lainnya, karena belum tentu diijinkan keluar rumah, padahal masalah itu harus diselesaikan secepatnya. Makanan lokal juga merupakan tantangan. Bisa dibayangkan, sudah lelah bekerja dan lapar, tetapi tidak bisa makan, karena rasa makanan yang tidak terterima oleh lidah. Hal lain, di Kuwait, misalnya, tidak diijinkan hamil sebelum genap delapan bulan bekerja.
"Tentu saja sangat sedih harus meninggalkan anak-anak, apalagi waktu itu mereka masih kecil-kecil. Saya diberi tahu adik saya, kalau anak saya yang pertama setiap malam selalu memandangi foto saya dan selalu menangis. Cerita itu membuat saya makin rindu pada keluarga. Namun, kita perempuan harus bisa memiliki solusi untuk keluarga. Saya sendiri dibuat menangis oleh majikan, ia tak mau berbahasa inggris atau melayu, saya dituntut untuk bisa berbahasa cina. Saya bertekad harus bisa berbahasa cina dengan baik, agar saya bisa bekerja dengan baik. Saya ingin menunjukkan orang Indonesia itu bisa.
Kita harus bisa beradaptasi dengan lingkungan kerja dan jangan malas belajar hal-hal baru. Jangan pernah bilang tidak bisa. Jangan pernah berpikir masalah yang kita punya itu sebagai nasib. Berusahalah, jangan protes dan mengeluh. Persaingan di masa depan akan berat lagi, tetapi apa yang kita perjuangkan pasti ada hasilnya."
Demikian cerita Ani Rustiati, yang sudah 22 tahun bekerja di Singapur. Ia orangtua bagi kedua anaknya. Ia memutuskan bekerja di luar negeri dengan satu tujuan, yaitu agar kedua anaknya bisa bersekolah tinggi. Ia menitipkan kedua anaknya untuk diasuh oleh ibu dan ayahnya. Ia bertekad bisa memajukan diri sendiri, keluarga, dan lingkungan.
"Mau tidak mau, kita harus kuat dan tabah dalam menghadapi segala masalah, fokus pada pekerjaan, dan jangan pernah mengeluh dan menyerah. Keputusan untuk bekerja di luar negeri sudah diambil dan harus dijalankan. Ini merupakan cara untuk dapat mencapai cita-cita, utamanya agar anak bisa bersekolah sampai ke jenjang tertinggi dan memiliki masa depan yang lebih baik. Yakinlah pasti bisa."
Begitu ungkap Sri Aryani, yang sudah 20 tahun bekerja di Kuwait. Ia datang ke Kuwait dan bekerja di sana, menyusul suaminya yang sudah bekerja 6 tahun lebih dahulu.
"Di mana pun kita hidup, pastilah ada tantangan dan masalah. Sebelum berangkat ke luar negeri, sebaiknya kita sudah harus mempersiapkan diri. Bukan hanya ketrampilan, melainkan juga mental kita. Kita juga harus menginformasikan keadaan di luar negeri kepada PMI yang ingin pergi, agar mereka bisa lebih siap," kata Dwi Tantri, yang sudah 10 tahun bekerja di Taiwan. Â
"Pada awal-awal saya bekerja, saya stress karena tak bisa berkomunikasi. Saya dimaki-maki. Saya hampir putus asa. Namun, saya bertekad untuk dapat bekerja dengan baik. Saya belajar bahasa cina dengan keras dan disiplin. Belum lagi rasa rindu yang begitu besar pada anak, tetapi tekad saya sudah bulat bahwa saya ingin memperbaiki masa depan keluarga. Saya harus bisa berjuang." Begitu penjelasan Lusius, yang sering menjadi wakil PMI di Hong Kong.