Mohon tunggu...
Evi Siregar
Evi Siregar Mohon Tunggu... Dosen - Dosen-peneliti

Bekerja di sebuah universitas negeri di Mexico City.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Strategi dan Tips Menjadi Pekerja Migran Indonesia yang Sukses

28 Januari 2022   08:44 Diperbarui: 10 Februari 2022   20:00 1520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PMI di Hong Kong. Foto: Nathalia Widjaja.

Kontribusi tenaga kerja Indonesia di luar negeri masih rendah. Dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara, misalnya, kontribusi Indonesia dalam pasar tenaga kerja asing di Jepang berada jauh di bawah Vietnam dan Filipina. 

Pada tahun 2020, jumlah pekerja migran Indonesia di Jepang hanya mencapai 54 ribu, sedangkan Vietnam 444 ribu dan Filipina 185 ribu. Sementara itu, kebutuhan tenaga asing dari waktu ke waktu terus meningkat. Di Jerman, contohnya, saat ini dibuka 400 ribu lowongan baru. 

Di Jepang, kebutuhan tenaga kerja asing pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 2 juta, utamanya dalam bidang keperawatan, konstruksi, pertanian, perhotelan, dan industri kapal.

Ini berarti bahwa bagi WNI ada banyak kesempatan untuk bekerja di luar negeri. Bagaimana Indonesia menyikapinya? Tentu diperlukan sumber daya manusia (SDM) yang kompetitif, dan itu hanya bisa dicapai dengan penyiapan SDM yang terencana. Lalu, bagaimana menjadi tenaga kerja di luar negeri yang sukses?

Sehubungan dengan tema tersebut, pada tanggal 23 Januari yang lalu Indonesian Diaspora Network Global (IDN Global) menyelenggarakan sebuah webinar, mengulas strategi dan tips menjadi pekerja migran yang sukses, mengundang Direktur Pelindungan dan Pemberdayaan Kawasan Asia dan Afrika BP2MI, Direktur Penempatan Nonpemerintah Kawasan Asia dan Afrika BP2MI, CEO-Founder Hamaren Group, wakil dari Migrant Care, dan calon PMI sebagai narasumber.

Dalam webinar tersebut, Direktur Pelindungan dan Pemberdayaan Kawasan Asia dan Afrika BP2MI menjelaskan bahwa pelindungan terhadap pekerja migran Indonesia dan kualitas kompetensi mereka merupakan aspek yang diutamakan pemerintah Indonesia. 

Untuk meningkatkan pelindungan dan kualitas kompetensi pemerintah Indonesia telah melakukan banyak perubahan besar, antara lain: mengganti terminologi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dan mengubah peraturan dari UU 39/2004 ke UU 18/2017. 

Sebagai dampak dari perubahan tersebut, Badan Nasional Penempatan dan Pelindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah berubah menjadi Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), melalui Peraturan Presiden 90/2019.

Foto penulis diambil dari presentasi BP2MI
Foto penulis diambil dari presentasi BP2MI

Siapakah yang dikategorisasikan sebagai Pekerja Migran Indonesia (PMI)? Berdasarkan UU 18/2017 Pasal 4, yang dikategorikan sebagai PMI adalah yang bekerja pada pemberi kerja berbadan hukum, yang bekerja pada pemberi kerja perseorangan atau rumah tangga, serta pelaut awak kapal dan perikanan. 

Dengan demikian, WNI yang dikirim negara atau badan internasional, pelajar dan peserta pelatihan, WNI pengungsi atau pencari suaka, penanam modal, Aparatur Sipil Negara dan pegawai yang bekerja di Perwakilan RI, WNI yang bekerja pada institusi yang dibiayai APBN, dan WNI yang mempunyai usaha mandiri di luar negeri tidak masuk dalam kategori PMI.

Direktur Pelindungan dan Pemberdayaan Kawasan Asia dan Afrika BP2MI juga menjelaskan bahwa, berdasarkan UU 18/2017, BP2MI bertugas memberikan jaminan pelindungan sosial, hukum, dan ekonomi (sebelum bekerja, selama bekerja, dan sesudah bekerja). 

Layanan BP2MI mencakup, antara lain, pengawasan embarkasi dan lembaga penempatan, pencegahan PMI nonprosedural, pengaduan dan penanganan masalah, pelatihan dan orientasi, fasilitasi klaim asuransi, layanan kepulangan dari debarkasi sampai ke daerah asal, fasilitasi penampungan, fasilitasi pengurusan perawatan sakit atau meninggal, serta pemberdayaan ekonomi dan sosial.

Untuk mengurangi peran swasta dalam tata kelola PMI, pembagian tugas antara pemerintah pusat, daerah, dan desa sudah jelas. Kini pemerintah tidak lagi memobilisasi pengiriman tenaga kerja, tetapi memfasilitasi proses migrasi. Jadi, calon PMI tidak lagi direkrut, melainkan merekalah yang mendaftar. 

Untuk 10 jenis jabatan, biaya penempatannya dibebaskan. Mereka adalah pengurus rumah tangga, bayi, lansia, juru masak, supir keluarga, perawat taman, pengasuh anak, petugas kebersihan, pekerja ladang, dan awak kapal perikanan migran.

Ada 5 skema penempatan PMI ke luar negeri, yaitu: G-to-G, G-to-P, P-to-P, untuk kepentingan perusahaan sendiri, dan perseorangan. 

G-to-G adalah penempatan yang difasilitasi pemerintah Indonesia merujuk pada kesepakatan antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara penerima. 

G-to-P adalah penempatan yang difasilitasi pemerintah Indonesia merujuk pada perjanjian kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pihak swasta di negara penerima. P-to-P adalah penempatan yang difasilitasi BP2MI, yang melibatkan pihak swasta dari Indonesia dan negara penerima. 

Untuk kepentingan perusahaan sendiri adalah penempatan untuk perusahaan Indonesia yang mendapatkan proyek di luar negeri dan ingin mendatangkan pekerja dari Indonesia untuk bekerja pada proyek yang dimaksud. 

Perorangan adalah pekerja profesional dan formal yang mencari pekerjaan di luar negeri dengan caranya sendiri dan melaksanakan segala prosedur tanpa melibatkan pemerintah Indonesia atau pihak swasta. Setiap skema memiliki prosedur yang berbeda.

Foto: bahan presentasi BP2MI
Foto: bahan presentasi BP2MI

Pada saat ini pemerintah Indonesia berfokus pada program G-to-P dan G-to-G (utamanya program G-to-G dengan Jepang, Korea Selatan, dan Jerman). Sebagai informasi, pada tahun 2021 wilayah penempatan PMI terbesar adalah Asia dan Afrika (65.250 orang), Eropa dan Timur Tengah (7.042 orang), serta Amerika dan Pasifik (315 orang). 

Sementara itu, 10 negara penempatan yang memiliki jumlah PMI terbanyak berturut-turut adalah Hong Kong, Taiwan, Malaysia, Singapur, Brunei Darussalam, Korea Selatan, Jepang, Aljazair, Gabon, dan Maladewa. Sejak tahun 2015 pemerintah Indonesia telah menutup pengiriman PMI untuk sektor domestik ke Timur Tengah.

CEO-Founder Hamaren Group menyampaikan bahwa ada banyak peluang bagi WNI untuk bisa bekerja di luar negeri. Di Jepang, misalnya, pada tahun 2019 pemerintah Jepang telah mengeluarkan undang-undang mengenai kebutuhan tenaga kerja asing dari 10 negara, di antaranya Indonesia. 

Pada tahun 2030 kebutuhan tenaga kerja asing di sana diperkirakan akan mencapai 3 juta. Indonesia, yang setiap tahunnya menghasilkan lebih dari 3 juta lulusan, harus bisa memanfaatkan kesempatan ini. 

Kunci utamanya tentu adalah memiliki tenaga kerja dengan pendidikan dan ketrampilan (hardskill dan softskill) yang kompeten. Artinya, harus ada penyiapan SDM yang terencana.

Khusus bagi WNI yang ingin bekerja di Jepang, ada tiga pilihan (demikian pula dengan permohonan jenis visanya), yaitu sebagai pekerja magang (minimal SMK atau sederajat), pekerja dengan ketrampilan khusus (minimal SMK atau sederajat, pernah mengikuti magang, dan memiliki sertifikat keahlian khusus), dan tenaga ahli (minimal memiliki Diploma atau S1 Teknik atau S1 Sastra Jepang).

Pekerja magang diberikan kesempatan untuk bekerja antara 3 sampai 5 tahun; pekerja dengan ketrampilan khusus diberi kesempatan bekerja sampai 15 tahun; sedangkan tenaga ahli bisa bekerja sampai sampai waktu yang tidak ditentukan. 

Perlu diingat bahwa pekerja magang merupakan kebijakan pemerintah Jepang sebagai bentuk kontribusi internasional dan transfer teknologi serta budaya. Kebijakan ini bisa dimanfaatkan. 

Misalnya, selama mengikuti magang, para pekerja juga mengambil studi. Jadi, setelah selesai magang, mereka memiliki diploma atau ijazah S1. Dengan diploma atau ijazah itu, mereka bisa melamar menjadi pekerja dengan ketrampilan khusus atau tenaga ahli.

PMI di Hong Kong. Foto: Nathalia Widjaja
PMI di Hong Kong. Foto: Nathalia Widjaja

Apa tips untuk menjadi PMI yang sukses? Direktur Penempatan Nonpemerintah Kawasan Asia dan Afrika BP2MI menganjurkan agar setiap calon PMI dan yang sudah menjadi PMI selalu mengikuti prosedur.

Setelah itu, membekali diri dengan informasi hukum dan kompetensi yang diperlukan, mengetahui budaya, etika bermasyarakat, dan aturan di negara penempatan, berkomunikasi dengan baik dengan keluarga di Indonesia dan Perwakilan RI, serta berinteraksi dengan komunitas PMI untuk mendapatkan informasi. 

Pelindungan harus lebih diutamakan, dan pelindungan pertama dimulai dari diri sendiri. Diharapkan juga agar para PMI bisa mengelola penghasilan dan membuat perencanaan yang baik untuk masa depan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik setelah kembali ke tanah air.

Pada sisi lain, Migrant Care menemukan kasus-kasus di lapangan. Meskipun berdasarkan UU Nomor 18/2017 warga sendirilah yang harus mendaftar, masih ada perekrutan calon PMI; juga belum banyak calon PMI yang mengurus dokumen-dokumen sendiri (masih diurus oleh perusahaan). Hal  itu bisa menunjukkan bahwa implementasi UU Nomor 18/2017 belum terlaksana secara maksimal.

Soal calo, tentu bukan hanya pemerintah saja yang harus bertindak, kita pun harus proaktif. Biasakanlah untuk mengurus segala sesuatu sendiri. 

Seperti yang disampaikan oleh calon PMI yang diundang pada webinar itu, semua informasi ada di internet, bisa didapatkan dengan mudah. Jangan mudah tertipu oknum-oknum. Persiapkan semuanya (ketrampilan dan pengetahuan) dari jauh-jauh hari, termasuk fisik dan mental.

Mexico City, 27 Januari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun