Ada satu catatan penting tentang wilayah perairan di sekitar Mont Saint-Michel, yang kalau ketika air laut sedang surut, permukaannya menjadi keras dan kita bisa berjalan di atasnya. Namun, jangan coba-coba berjalan sendirian di sana, karena ada bagian lumpur yang "hidup". Kalau menginjakkan kaki di sana, bisa-bisa kita ditelan lumpur. Itu saya alami sendiri. Saya sempat “dimarahi” pemandu wisata, karena waktu itu saya penasaran, apakah benar begitu. Ternyata memang benar.
Ketika kami berkunjung ke Mont Saint-Michel, kami sangat beruntung karena baru dua minggu dibuka (tutup karena pandemi). Jadi, “tak banyak” pengunjung; ditambah lagi jam 18:00 Mont Saint-Michel ditutup. Namun, saya merasakan sesuatu setelah semua pengunjung pergi.
Sunyi senyap yang luar biasa. Pantaslah Mont Saint-Michel menjadi tempat bertapa. Tidak terbayangkan bagaimana keadaan pada 10 abad yang lalu.
Namun, meski sudah lewat 10 abad, biara keabasan Mont Saint-Michel masih tetap menjalankan tradisinya.
Para biarawati yang berdoa berjam-jam dalam keheningan di depan altar utama masih menciptakan suasana penuh magis. Kita seolah-olah berada pada 10 abad yang lalu. Mungkin ini juga yang membuat banyak orang ingin berkunjung ke Mont Saint-Michel.
Dua malam dua hari adalah waktu yang cukup untuk mengenal Mont Saint-Michel. Kami sempat 3 kali turun naik memutarinya, mengenal hampir semua sudut.
Hari ketiga, setelah makan pagi, kami bersiap-siap: naik bus dari depan Mont Saint-Michel ke stasiun Pontorson. Dari sana naik kereta menuju Rennes.
Mexico City, 14 Oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H