Singkat cerita, Sri akhirnya bisa menyekolahkan anaknya di Universitas Indonesia. Kemudian, anaknya mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Amerika dan Singapura.
"Perjuangan saya sebagai pekerja migran ternyata telah menginspirasi anak saya untuk menjadi penggerak hak pekerja migran. Sekarang ia aktif dalam advokasi hak pekerja migran di Asia bersama Human Rights Working Group," kata Sri.
Dalam dialog interaktif yang diselenggarakan Indonesian Diaspora Network Global itu, Sri menyampaikan harapannya agar pemerintah memberikan hak kepada para pekerja migran, tanpa terkecuali, untuk dapat memiliki alat komunikasi, sehingga mereka dapat menghubungi keluarga dan anak yang ditinggalkan.Â
Ia juga berharap agar pemerintah memastikan adanya lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangan anak-anak PMI.
Pada diskusi yang sama, Eni Lestari, seorang PMI di Hong Kong, juga menceritakan pengalamannya. Ia menjelaskan bahwa alasan utama mengambil keputusan menjadi PMI adalah karena keluarganya terlibat hutang, sementara waktu itu tidak ada penghasilan.
"Masa setelah krismon tahun 1997 adalah masa yang sulit bagi keluarga saya. Sebagai anak sulung, saya terpaksa harus memilih pergi menjadi PMI, karena itu satu-satunya alternatif. Ditambah lagi, keluarga saya bercita-cita untuk mempunyai pendidikan yang tinggi," ungkap Eni.
Eni memilih bekerja di Hong Kong, karena dia mendengar bahwa di sana ada hak libur. "Ini penting buat saya, karena saya tidak mau hanya bekerja. Saya juga ingin mempunyai ruang dan waktu untuk belajar atau mengembangkan bakat," katanya.
Enipun berharap bisa bekerja pada majikan yang baik. Namun, majikan pertamanya memberinya gaji di bawah standar, tidak memberinya libur, tidak memperbolehkannya keluar rumah sama sekali, juga tidak memberinya makanan yang layak.
"Ternyata  menjadi PMI itu berat. Berbulan-bulan bekerja dan saya tidak diberi kesempatan untuk bertemu dengan keluarganya. Saya tidak diberi pakaian untuk musim dingin, padahal dingin sekali.Â
Saya menderita sekali. Banyak aturan rumah, yang mana setelah saya menjadi aktivis, saya pikir itu tidak masuk akal, " tutur Eni.
"Saya tidak tahu harus ke mana saya mengadu. Paspor saya ditahan agen. Saya tidak mempunyai dokumen. Waktu itu, kalau tidak punya nomor telepon, kita total tidak bisa berkomunikasi.