Mohon tunggu...
Evi Siregar
Evi Siregar Mohon Tunggu... Dosen-peneliti

Bekerja di sebuah universitas negeri di Mexico City.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Ayah, Salah Satu Elemen Paling Penting dalam Pendidikan Anak di Rumah

3 Mei 2019   02:58 Diperbarui: 3 Mei 2019   15:39 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ayah | StockSnap dari Pixabay

Ayah merupakan salah satu elemen yang paling penting dalam pendidikan keluarga, khususnya pendidikan anak di rumah. Bagaimana peran seorang ayah di dalam masyarakat Indonesia pada masa sekarang ini? Berikut ini adalah catatan singkat mengenai persepsi dari ayah Indonesia yang melihat peran mereka terhadap keluarga, khususnya terhadap pendidikan anak di dalam rumah.

Ayah merupakan kepala keluarga. Dia contoh bagi anaknya, pengayom keluarga dan unsur yang meletakkan nilai-nilai dasar dan pendidikan kepada anak. Sikap ayah di dalam keluarga akan menjadi cermin seorang anak. Peran ayah sebagai contoh dan panutan bagi anak-anaknya ini sangat krusial.

Sebenarnya peran seorang ayah itu luas sekali. Namun, salah satu yang perlu dicatat adalah bahwa figur seorang ayah itu penting dalam mewariskan nilai-nilai kebajikan kepada anak. Dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang ayah paling tidak harus dapat menunjukkan apa yang positif atau yang baik kepada keluarganya dan anaknya, seperti bermoral baik, jujur, rendah hati, dan disiplin; paling tidak yang berangkat dari nilai-nilai keluarga dan yang ada di dalam masyarakat.

Jadi, bukan hanya mengajari anak apa yang baik untuk diri untuk dirinya, tetapi juga baik apa yang baik untuk lingkungannya, termasuk masyarakat dan negara. Di sinilah pentingnya peran seorang ayah; dan bersama dengan peran ibu, lengkaplah fungsi orangtua terhadap anak, sehingga suatu hari nanti anak dapat mengambil kebijakan tanpa ragu-ragu.

Namun demikian, peran seorang ayah tentu tidak lepas dari konteks budayanya. Kalau kita melihatnya dari kaca mata budaya Indonesia, tidak ada judgment yang hitam putih. Seorang ayah harus mewariskan nilai-nilai keluarga dan budaya. Kalau dilihat dari konteks budaya asia secara umum, keterikatan orangtua dan anak akan berjalan terus dan tidak akan putus. Ini harus dipertahankan. Tentu saja seorang ayah akan mewariskan apa yang dianggapnya baik untuk anak-anaknya. Di sini referensi konteks baik tentu berhubungan konteks budaya yang kita miliki.

Di samping itu, jangan lupa bahwa kita juga makhluk sosial, baik dalam konteks kecil maupun besar. Kita sebagai orangtua mengajari anak agar bisa beradaptasi, baik terhadap keluarga maupun terhadap lingkungan, dan agar mereka dapat memilah-milah mana konteks keluarga dan mana konteks masyarakat.

Bagi keluarga yang hidup di luar negeri tugas ini amat penting dan berat, tetapi tugas ini bisa dibagi antara ayah dan ibu (suami-istri). Itu sebabnya, suami dan istri harus memiliki komitmen bersama, misalnya menjadikan nilai agama sebagai pilar pendidikan anak. Namun, orangtua harus menjadi contoh terlebih dahulu, sebelum mengajarkan sesuatu kepada anak, misalnya orangtua sendiri harus dapat mempertahankan nilai-nilai budaya.

Dengan demikian orangtua dapat berharap agar selain anak dapat beradaptasi dengan lingkungan dan budaya lain, dia tetap memiliki nilai-nilai budayanya sebagai salah satu pedoman dalam hidupnya. Ketika mereka dewasa, dasar-dasar itu akan menjadi salah satu patokan dalam hidup mereka.

Bagaimana memilah-milah dalam mengajarkan cinta, tanggung jawab dan disiplin kepada anak? Tentunya rasa cinta tercurah dalam keseharian, misalnya dalam tegur sapa. Cinta merupakan nilai yang mengalir secara alami dalam hubungan keluarga. Namun, orangtua juga harus bertindak tegas kepada anak, dalam arti mendisiplin anak, karena anak adalah insan yang memerlukan bimbingan, didikan dan arahan dari orangtuanya. 

Angel de Indonesia karya Alejandro Rangel Hidalgo. Museo Universitario Alejandro Rangel Hidalgo, Meksiko.
Angel de Indonesia karya Alejandro Rangel Hidalgo. Museo Universitario Alejandro Rangel Hidalgo, Meksiko.

Seorang ayah harus bisa menetapkan waktu bagi anak kapan harus belajar, kapan harus bermain, dan kapan harus bersama-sama untuk berbagi rasa kasih. Itu perlu ditegakkan di dalam keluarga.

Dalam konteks cinta, tanggung jawab dan disiplin, komunikasi antara orangtua dan anak sangatlah penting. Orangtua harus dapat membangun sebuah komunikasi yang baik dengan anak. Memang ini tidak mudah dijalankan, karena kadang-kadang disiplin bertentangan dengan cinta kasih. Namun, anak harus diajarkan tanggung jawab dan disiplin. 

Mereka harus menaati aturan-aturan yang ada. Dalam hidup harus ada keseimbangan di antara tiga hal tersebut. Dengan demikian, akan tercipta keharmonisan. Ini sangat berguna bagi kehidupan anak, terutama untuk masa depannya nanti. Ini tugas orangtua untuk dapat menciptakan anak yang manusiawi, bukan robot.

Bagaimana perasaan pada saat anak harus berpisah jauh dari keluarga, misalnya karena harus sekolah, dan bagaimana strategi seorang ayah untuk yakin bahwa si anak dapat menjadi apa yang diharapkan? Ini memang memerlukan satu sikap yang hati-hati bagi orangtua yang ingin melepas anaknya ke luar negeri. 

Pertama, kita harus menyiapkan mental, spiritual, intelektual si anak. Ketiga hal tersebut harus dimiliki seorang anak ketika ia hendak pergi jauh dari keluarga. Tentu sebagai ayah sulit melepas anak pergi jauh. Merasa khawatir dan was-was, kalau-kalau jika si anak tidak disiplin dan tidak melakukan apa yg menjadi tujuan kepergiannya.

Kita sebagai orangtua tentu bisa memahami bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat dilakukan anak, karena anak memiliki hak untuk menciptakan kehidupannya sendiri, dan sebagai orangtua kita harus memberi kesempatan kepada mereka untuk membangun karakternya di perantauannya. Jika orangtua mampu menanamkan tiga hal tadi di atas, yang merupakan pegangan hidup, kemungkinan besar harapan kita agar anak bisa berhasil di dalam menempuh pendidikannya akan tercapai.

Dasar-dasar nilai tersebut sudah harus ditanamkan sejak dini. Sejak awal seorang ayah harus sudah mempunyai patokan-patokan tentang apa-apa saja yang harus ditanamkan kepada anak dan sampai umur berapa hal-hal tersebut harus sudah ditanam. Misalnya, batasnya sampai mereka duduk di bangku SMA. 

Para orangtua pasti tahu bahwa setelah mulai umur sekian, seorang akan mulai menciptakan karakter hidupnya sendiri. Orangtua tidak bisa memaksakan kehendaknya. Ketika mulai dewasa, orangtua lebih pada doa, meminta kepada Tuhan agar anak-anak menjadi orang-orang dewasa seperti yang diharapkan.

Sebagai seorang ayah, tentu saja khawatir melepas anaknya pergi jauh, apalagi ke luar negeri. Salah satu cara yang dapat dilakukan orangtua dalam "memonitor" anak adalah melalui komunikasi. Komunikasi yang baik dengan anak harus dibangun sejak dini, dan ini merupakan tugas antara ayah dan ibu (suami dan istri). Bersyukur sekarang teknologi sudah sangat baik. Ini sangat membantu kelancaran komunikasi antara orangtua dan anak. Dalam hal komunikasi, biasanya memang peran ibu lebih intens daripada ayah.

Namun demikian, ayah tetap harus berkomunikasi setiap hari dengan anak. Dengan demikian, kita tahu apa yang terjadi dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kalau memungkinkan, kita berkunjung menemuinya. Ini merupakan cara-cara yang cukup efektif untuk "mengontrol" kehidupan anak yang jauh dari kita. Kalau soal pertemanannya, memang sulit, karena kita tidak bisa tahu persisnya mereka berteman dengan siapa. Nah, di sinilah pentingnya menanamkan nilai-nilai mendasar yang disebutkan tadi sejak dini.

Bagaimana mengatur antara hak anak dan kewajiban ayah sebagai orangtua, apalagi jika anak yang berada jauh dari orangtua? Pertama tentu kita harus membangun komunikasi yang baik dengan anak. 

Sekali lagi komunikasi merupakan faktor yang penting. Kemudian, kita perlu membangun pengertian pada anak bahwa apa yang diberikan pada anak merupakan sesuatu yang ditujukan untuk menunjang hidupnya dan proses belajar mereka. Melalui komunikasi, kita dapat berdiskusi dengan mereka. Si anak tidak tahu bahwa ia sedang dikontrol.

Namun, sebagai orangtua kita harus sadar bahwa anak juga mempunyai hak untuk memiliki kehidupannya sendiri. Kita harus dapat memahami hal itu. Kita harus memberikan kebebasan kepada anak untuk membangun karakternya, tetapi orangtua tidak putus untuk memberikan saran dan nasehat agar mereka tetap berada pada jalurnya, misalnya untuk tidak boros, harus disiplin, tetapi pada waktu yang bersamaan mereka juga dapat menikmati hidup mereka, mengembangkan pribadi, dan keinginan yang positif. Jadi, sekali lagi, komunikasi merupakan faktor penting. Nah, sekarang teknologi sudah maju; ada Whatsapps, Skype, dll. Teknologi ini dapat membantu proses komunikasi.

Kalau mengikuti ego ayah, tentunya seorang ayah ingin anaknya selalu berada dekat dengannya. Namun, kita harus sadar bahwa pada akhirnya anak-anak akan mempunyai kehidupan sendiri. Kita hanya bisa mencoba dan melihat sampai sejauh mana mereka bisa survive dalam hidup sendiri. 

Kita harus bisa mendorong, misalnya agar mereka harus bisa terbuka dan harus bisa berteman dengan orang setempat. Ini kan juga menjadi tantangan untuk mereka, bahwa mereka harus keluar dari comfort-zone mereka.

Ketika seorang anak sudah mulai tumbuh sebagai orang dewasa sebenarnya orangtua hanya bisa pasrah. Pada saat mereka dewasa, kita sebagai orangtua hanya bisa mendukung, mengingatkan kembali nilai-nilai yang telah ditanamkan, misalnya untuk tidak hidup boros atau memiliki harga diri, melalui cerita-cerita yang pernah kita berikan, tetapi dalam versi sekarang. Orangtua juga harus menyadari bahwa jaman berubah dari waktu ke waktu.

Jadi, peran ayah terhadap anak apakah berbeda dalam setiap tahap kehidupan? Harus berbeda. Kita harus menyadari bahwa peran seorang ayah harus berbeda dari waktu ke waktu berdasarkan perkembangan dan umur anak, misalnya dalam cara berkomunikasi, dalam cara bersikap kepada si anak agar si anak punya penghargaan dan bisa merespon dengan positif sikap orangtuanya. 

Banyak orangtua yang lupa akan hal ini. Mungkin karena sibuk dan tidak mempunyai waktu yang cukup, atau mungkin juga orangtua mengabaikan hal ini dan menanggap bahwa anak itu sama saja dari waktu ke waktu, sehingga dimungkinkan terjadinya korsleting hubungan. Seorang ayah kan juga pernah menjadi anak dan memiliki pengalaman-pengalaman baik yang menyenangkan maupun tidak.

Mexico City, 2 Mei 2019

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun