Topik "MOS" di diskusi grup WA komunitasku beragam warnanya. Sebagian besar golongan tua merasa indah ketika menceritakan saat menjalani MOS, meskipun kekejaman kakak senior tetap menghiasi diskusi itu. Para kakak senior juga sebagai besar sudah menjadi teman mereka saat ini, sedangkan golongan lebih muda lebih ganas menganggap MOS jaman sekarang adalah ajang kekerasan dengan selubung pendidikan. Aku sendiri malah bercerita tentang ketika aku menjadi senior teladan saat MOS.
Beberapa foto maupun cuplikan video kekerasan saat MOS memang beredar begitu deras di media sosial yang kuikuti. Sebagian cuplikan video beneran dan sebagian lagi terindikasi sebagai hoax. Aku justru sebal dengan video yang begitu deras dikirim ke akun media sosialku. Sebal dengan video itu dan sebal juga dengan masih adanya MOS di jaman ini, sementara isinya sudah tidak mencerminkan tujuan MOS yang benar.
Tahun 1978, saat panser masuk UGM, adalah saat yang cukup bersejarah. Rentetan peluru ditembakan ke Gelanggang Mahasiswa UGM dan sampai bertahun-tahun bekas peluru itu sengaja tidak diganggu gugat untuk menunjukkan betapa hebatnya kaum militer melawan mahasiswa. Padahal beberapa mahasiswa yang ikut berhadapan dengan aparat adalah putra dari aparat juga. Suasana benar-benar ricuh di Kampus UGM, kecuali di Jurusan Teknik Sipil Pogung UGM.Â
Lokasi fakultas yang berada di pojok barat utara kampus membuat rentetan tembakan terdengar tidak terlalu keras dan tidak membuat para doisen menghentikan pelajaran.
"Biarkan mereka yang sedang berdemo, biarkan aparat yang akan menertibkan demo, kita tetap saja belajar disini", kata dosenku tenang, seperti tidak terjadi apa-apa.
Bulan Maret tahun 1978, kejadian itu masih membekas di ingatanku. Tahun itupun tidak ada lagi yang namanya MOS atau OSPEK atau Plonco di UGM. Akupun menjadi mahasiswa tanpa melalui proses itu. Tahun-tahun selanjutnya barulah diadakan lagi yang namanya plonco mahasiswa, dengan sebutan masing-masing.
Tahun 1983, akhirnya kegiatan perploncoan dilarang diadakan di lingkungan Kampus UGM. Aku sendiri tidak tahu apakah semua fakultas mentaati pernyataan itu, yang jelas pada beberapa bulan setelah mahasiswa baru masuk di bangku kuliah, ada seorang dosen yang menganggap bahwa mahasiswa tanpa diplonco akan bandel, sehingga diperlukan proses perploncoan lagi di kampus.
Jadilah akhirnya tetap diadakan proses plonco dengan mengambil tempat di Bebeng Kaliurang agar kegiatan plonco itu tidak terekpose keluar kampus. Mahasiswa baru yang diawal perjalanan merasa akan pergi piknik kecele, karena di awal perjalanan sudah mulai dibentak-bentak oleh para senior. Mahasiswa baru yang begitu kuat pertemanannya diobrak-abrik agar menjadi mahasiswa yang tunduk dan patuh pada para senior.
Aku terjebak dalam situasi seperti itu. Modal sangar tidak punya, wajah welas asih juga tidak punya, jadilah aku senior yang tidak jelas posisinya. Menolong mahasiswa dikira ada maunya, ikut menghukum juga tidak tega. Apalagi aku diperkenalkan sebagai "simbah senior", tokoh yang paling dituakan dan harus paling dihormati. Berdua dengan saudaraku yang kebetulan satu angkatan, aku ditempatkan pada posisi "simbah senior".
Aku harus melayani para mahasiswa baru yang minta tanda tangan dan harus memberi perintah yang setimpal agar mereka mendapat tanda tangan. Satu tanda tangan harus melalui perjuangan yang berat, karena semua mahasiswa harus mempunyai puluhan tanda tangan dan salah satu tanda tangan itu harus seorang "simbah senior".
Akupun luntang lantung di kegiatan itu, karena semua tugas senior dan panitia sudah ditangani oleh seksi masing-masing atau sudah dikerjakan oleh mahasiswa baru. Akhirnya aku hanya bisa mengawasi kegiatan plonco itu dan menonton para mahasiswa baru diplonco. Satu kesalahan bisa berbagai macam hukuman yang diterima, mulai dari push-up. squat jump, lari keliling tenda sampai menyanyi atau menari. Semua tergantung keinginan sang senior.
Karena tidak ada kerjaan, akhirnya aku mengikuti para mahasiswa baru yang dihukum. Kutemani mereka menerima hukuman, sampai mereka tidak sanggup melakukan push-up atau hukuman yang lainnya. Saat itu, aku memang aktifis pencak silat Tapak Suci, sehingga apapun hukuman yang diberikan kujadikan latihan olah raga saja.
Untuk mereka yang beragama muslim kusuruh mereka membaca surat al Quran ataui adzan, setelah itu langsung keburi mereka tanda tangan. Untuk non muslim aku tanya dimana mereka beribadah secara rutin dan apapun jawabannya, tetap kuberi tanda tangan.
Ketika hal ini kuceritakan pada anak-anakku, mereka hanya tersenyum tanpa berkomentar, tapoi aku tahu dari senyman itu, bahwa MOS sekarang sangat jauh berbeda dengan MOS jamanku dulu, atau minimal berbeda dengan caraku menjadi senior. Dari berita di mass media, akupun sudah mendengar bahwa ada kasus yunior yang ikut MOS sampai meninggal dan kasusnya tidak hanya sekali dua kali, tapi berkali-kali dan bertahun tahun.
Artikel tulisan tentang MOS mas IsJet di Kompasiana sempat kubaca dan akupun salut dengan Mas Anis Baswedan yang melakukan sidak pelaksanaan MOS dan juga usulan mas Isjet untuk pelaksanaan MOS yang ideal.
Seharusnya MOS memang urusan penyelenggara pendidikan, urusan sekolah, sehingga panitianya memang pengurus sekolah bukan para senior. Pelibatan senior dalam acara adalah sebagai pelaksana pendukung terselenggaranya MOS.
Di perusahaan tempat aku bekerja, orientasi pekerja baru adalah dengan melibatkan semua manajer perusahaan untuk menjelaskan tentang pekerjaan mereka, ruang lingkup maupun hak dan kewajiban. Pegawai yang kita anggap berprestasi kita beri slot waktu untuk bercerita tentang keberhasilan mereka, bagaimana mereka bisa berhasil dan bagaimana rasanya berhasil dalam sebuah pekerjaan.
Di lingkungan sekolah, hal ini bisa dilakukan dengan cara, misalnya sebagai berikut :
1. Dipilih guru yang berdedikasi, berprestasi dan lain-lain untuk bercerita tentang sekolah dan seluk beluknya. Diceritakan juga pengalaman dia sebagai pelaku pendidikan di sekolah tersebut.
2. Dipilih siswa yang berprestasi mewakili senior umtuk menceritakan tentang seluk beluk sekolah dengan kemasan non formal.
3. Diadakan game, permainan yang pada mulanya menunjukkan kekompakan kelompok dan pada akhirnya menunjukkan kekompakan semua siswa baru.
4. Dibuat workshop atau presentasi dari masing-masing kelompok siswa tentang sekolah baru mereka. Mereka bisa cerita tentang kantin sekolah, lapangan olah raga atau apa saja tentang sekolah mereka dan dihadiri oleh guru plus senior mereka yang akan membenarlkan bila presentasi mereka ada kesalahan.
Masih banyak hal yang bisa dilakukan untuk membuat siswa baru lebih kompak, lebih mengenal sekolah baru dibanding hal-hal yang menonjolkan kekerasan. Kasih sayang lebih bermakna dibanding kekerasan.
Semoga Indonesia lebih baik dari yang kemarin. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H