Entah apa yang melintas di benak Joshep Geobbels. Pria yang mengemban tugas mendisain propaganda politik Nazi Jerman ini sengaja memilih "kebohongan" sebagai instrumen propaganda. Untuk mengangkat popularitas Nazi, kebohongan dikemasnya dalam teknik argentum ad nausem atau disampaikan berulang-ulang.
Geobbels sangat meyakini kebohongan yang disampaikan berulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran. Nyatanya benar, dibawah propaganda yang dikenal dengan julukan "The Big Lie", Hitler sejak 1930 hingga Perang Dunia II, semakin gemilang di Jerman dan semakin leluasa melebarkan sayap Nazi ke seluruh Eropah.
Kebohongan dalam politik, sebenarnya bukan baru terjadi di abad ini. Sejak zaman Yunani Kuno, sekitar 500 SM, kebohongan sudah dijadikan senjata politik. Kaum sofisme yang mendapat bayaran dari pihak tertentu, dalam perdebatan di depan publik selalu memanfaatkan kebohongan untuk memenangkan argumentasinya.
Di awal abad 21 ini muncul lagi trend baru, sehingga abad ini disebut era post-truth. Fenomena post-truth menampilkan keriuhan orang-orang yang saling bersaing mengklaim kebenaran. Sedihnya, setiap orang atau kelompok tanpa sungkan atau tanpa merasa kehilangan harga diri sengaja mengkonstruksi kebenaran dengan cara menyembunyikan fakta atau berbohong.
Kritikus The New York Time yang pernah meraih penghargaan tertinggi jurnalistik Pulitzer, Michiko Kakutani mengungkapkan bahwa era post-truth saat ini adalah era matinya kebenaran. Kebenaran dibunuh dengan cara menyembunyikan atau menenggelamkan fakta. Kini kebohongan yang bertengger di singgasana, kebohongan dikemas untuk pembenaran
Tapi yang paling mencemaskan, suara kebohongan kini tidak saja bersumber dari akar rumput, tapi juga dari mulut presiden. Misalnya di Amerika, presiden Trump menerima penghargaan satire Lie of The Years 2017 yang diberikan organisasi nirlaba non-partisan Politifact atas segala kebohongan-kebohongan yang diumbarnya.
Michiko Kakutani dalam buku  terbitan 2018 dengan judul " The Death of Truth" yaitu sebuah catatan kepalsuan di era Trump mengulas kebohongan presiden Amerika dari partai Republik ini.  Dalam buku setebal 208 halaman itu, Michiko mengungkapkan bagaimana Trump memanfaatkan kebohongan sebagai instrumen propaganda untuk meraih kursi kepresidenan.
Di negeri kita ini, skandal besar kebohongan juga terjadi baru-baru ini. Aktivis Ratna Sarumpaet mengemas kebohongan yang berdampak pada meruncingnya perseteruan kubu Pilpres. Â Ratna yang seyogyanya baru saja selesai menjalani operasi wajah, mengaku dianiaya sejumlah orang tak dikenal. Pengakuan Ratna Sarumpaet ini telah menyeret sejumlah elit ikut mengumbar kebohongan ke ruang publik.
Kian hari kebohongan semakin tak mampu dihentikan. Penyebaran kebohongan kini semakin menjangkau puncak setelah didukung teknologi digitalisasi. Kebohongan begitu cepat menyebar ketika diumbar di media sosial. Isu kebohongan begitu mudah menemukan ruang-ruang "echo chamber", menemukan orang-orang yang memiliki preferensi sama. Ini tidak lain karena algoritma media sosial seperti facebook, twitter dan lainnya telah dirancang untuk mengelompokkan pengguna melalui efek "filter bubble".
Seorang profesor media dari Massachusetts Institute of Technology, Sinan Aral membeberkan bahwa kebohongan di media sosial lebih mudah, lebih luas, dan lebih cepat menyebar dibanding kebenaran. Berita bohong menyebar enam kali lebih cepat untuk mencapai 1500 orang dibanding berita yang didukung fakta. Kebohongan politik ternyata lebih dipercaya dan berdampak lebih besar ketimbang hoaks-hoaks yang lain.
Sepertinya, ini pula yang dimanfaatkan para konsultan politik dalam kontestasi pemilu di banyak negara. Di Amerika misalnya, konsultan politik Trump menerapkan kebohongan dalam propaganda ala Rusia yang lebih dikenal dengan julukan "Firehose of Falsehood". Ini sangat berbeda dengan kebohongan "The Big Lie" yang diterapkan Joshep Geobbels dalam mendongkrak popularitas Nazi.