Sebuah Jurnal MWCC (Media Watch & Consumer Center), edisi April 2000 seperti dikutip Alex Sobur dalam Pers, Hak Privasi dan Hak Publik, menulis "Kalaulah ada media massa yang mensyukuri kenestapaan orang, TabloidAKSI adalah salah satu contohnya,"
Konon, tabloid populer tersebut, dalam edisi 24-27 Maret, di halaman mukanya, menulis judul dengan huruf ukuran besar: "HOREE ... DESY JADI JANDA". Selain dengan judul besar, Tabloid AKSI memuat pula foto pernikahan Desy, sebesar setengah halaman muka.
Menyikapi tabloid AKSI, MWCC, menulis, "Gaya jurnalisme semacam ini tentu saja tidak etis. Desy memang seorang public figure. karena itu, peristiwa sesederhana apapun, sepanjang menyangkut dirinya, lazim ingin diketahui pembaca. Namun, di sisi lain, orang seterkenal Desy pun punya hak atas kehidupan pribadinya".
Dalam kasus AKSI, media bukan saja sudah melanggar wilayah kehidupan pribadi Desy, bahkan lebih dari itu, tega-teganya melecehkan kesusahan hidup yang mungkin dialami sang artis tersebut. Padahal dalam pasal 8 kode etik jurnalistik disebutkan wartawan Indonesia tidak merendahkan martabat orang lemah.
Kenapa ini bisa terjadi. Bisa jadi semua ini karena seperti dipaparkan Walter Lippman dalam bukunya yang terkenal Public Opinion. Lippman menulis sejarah tentang perlindungan hak-hak privasi adalah kisah yang menarik untuk dikaji karena kadang-kadang pengertian dan batas-batasnya jadi tidak jelas. Dalam pandangan Lippmann, pengertian tentang masalah privasi sangat elastis.
Kendati belum jelas batasannya, kehidupan pribadi dalam lingkup hak privasi seringkali sangat menarik bagi pemberitaan media massa, namun belum begitu disadari tentang konsekwensinya, sehingga pemberitaan sering melakukan invasion of privacy seperti pelanggaran atau penyerangan hak privasi. Untung saja, pelanggaran ini sering terabaikan karena masyarakat kita pada umumnya tidak begitu suka memperkarakan orang terkait delik pers.
Padahal, Alex Sobur menulis, di Amerika, seperti dikatakan Marbangun Hardjowirogo (1984) publik umumnya peka sekali akan pelanggaran hak atas kehidupan pribadi dalam wilayah privasi. Kepekaan publik itu dengan sendirinya menyebabkan media massa di Amerika sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas mereka.
Bagaimana tidak, terlibatnya sebuah penerbitan pers bermodal kecil dalam suatu kasus pelanggaran atas hak pribadi dalam wilayah privasi bisa mengakibatkan matinya penerbitan pers itu karena keputusan pembayaran ganti-rugi yang dijatuhkan pengadilan atas mereka sangat tinggi. Â
Maka, bagi media massa di Amerika Serikat, berlaku semboyan lebih baik bersikap hati-hati daripada secara sengaja atau tak sengaja melibatkan diri ke dalam kasus pelanggaran terhadap hak pribadi dalam wilayah privasi yang bisa mengakibatkan ganti-rugi yang tinggi.
Banyaknya pelanggaran terhadap hak pribadi oleh media juga dikemukakan Uskup Agung Canterbury, Dr. George Carey. Sebagaimana dikutip Marcel Beding (Kompas, 1 September 1992), Uskup Agung menyatakan, dia memandang dengan keprihatinan yang semakin meningkat akan makin bertumbuhnya kecenderungan beberapa bagian media untuk "memaksakan ketidakpekaan" atas kehidupan pribadi orang-orang di mata publik.
Untuk pers negeri kita, ke depan tentu sangat diharapkan peran Dewan Pers untuk bisa mempertegas batasan wilayah privasi dan wilayah publik dalam bentuk regulasi. Sehingga pemberitaan yang seyogyanya untuk konsumsi publik tidak lagi menyajikan menu berupa hak-hak pribadi yang berada dalam wilayah privasi.