Mohon tunggu...
Said Mustafa Husin
Said Mustafa Husin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Freelance, pemerhati kebijakan dan wacana sosial, penulis profil tokoh dan daerah, environmental activists.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pers Myanmar dan Penahanan Dua Wartawan Reuters

30 Desember 2017   19:59 Diperbarui: 2 Januari 2018   15:33 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto : Reuters/Antoni Slodkowski)

Bagi wartawan, menggali informasi di negara yang stabilitas keamanannya relatif tidak kondusif memang penuh resiko. Setidaknya itulah yang dialami dua wartawan Reuters di Myanmar.

Wa Lone (31) dan Kyaw Soe Oo (27) yang bekerja untuk kantor berita Reuters ditahan Otoritas Myanmar sejak Selasa (12/12/2017) lalu. Mereka ditahan dalam sel tahanan di Markas Polisi Yangoon.

Keduanya baru diberi kesempatan bertemu keluarga dan pengacara saat menghadiri persidangan pada Rabu (27/12/2017). Ketika persidangan berlangsung puluhan wartawan dari berbagai negara berkumpul di luar ruang pengadilan di Distrik Yangoon.

Berdasarkan informasi yang dirangkum dari berbagai sumber, kedua wartawan Reuters ini ditahan karena memberitakan secara global eksodus 655 ribu Muslim di Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

Muslim Rohingya ini melarikan diri karena ketakutan terhadap tindakan militer yang memburu kelompok bersenjata. Apalagi selama ini, tindakan terhadap Muslim Rohingya memang sangat kejam. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut tindakan itu sesuai dengan ciri-ciri pembersihan etnis atau genosida.

CNN Indonesia melaporkan kedua wartawan ini ditangkap saat makan malam bersama dua orang polisi Myanmar, Selasa (12/12/2017). Otoritas Myanmar menuding kedua wartawan ini telah melanggar Akta Rahasia Negara Myanmar.

Selain kedua wartawan itu, polisi yang terlibat dalam kasus itu juga ikut ditahan. "Kami akan mengambil langkah terhadap para polisi dan wartawan itu." kata juru bicara Aung San Suu Kyi, Zaw Htay seperti dikutip CNN Indonesia 

Bahkan Kementrian Informasi Myanmar ikut melontarkan pernyataan bahwa penahanan itu dilakukan karena para wartawan itu mendapatkan informasi ilegal, bahkan membagikan informasi itu kepada media asing.

" Wartawan itu secara ilegal mendapatkan informasi untuk membagikannya dengan media asing," bunyi pernyataan Kementrian Informasi Myanmar seraya menyertakan foto kedua wartawan yang sedang diborgol.

Namun kedua wartawan ini bersikukuh bahwa mereka tidak melanggar hukum dan kode etik. " Kami akan menghadapi ini sebaik mungkin karena kami tidak melakukan kesalahan," kata wartawan itu 

Pernyataan wartawan ini juga dipertegas oleh pengacara mereka Than Zaw Aung. Than memandang tidak ada pelanggaran yang dilakukan kedua wartawan ini. Ia mengatakan kliennya hanya menjalankan tugas jurnalistik.

Penahanan kedua wartawan ini banyak mengundang kecaman. Seperti dilaporkan Reuters, sikap pemerintah Myanmar yang menahan kedua wartawan ini mendapat kecaman keras dari Sekjen PBB, Antonio Guterres.

Guterres menilai penangkapan kedua wartawan Reuters itu mengindikasikan merosotnya kebebasan demokrasi di Myanmar ditengah pelanggaran hak asasi manusia yang dramatis terhadap etnis Rohingya.

Apa yang tengah terjadi terhadap dunia jurnalistik di Myanmar saat ini, benar-benar membuat Guterres merasa sangat prihatin. Ia mengatakan kebebasan pers sudah sangat tergerus di Myanmar.

"Ini jelas memprihatinkan. Kebebasan pers tergerus di Myanmar," kata Guterres saat berkunjung ke Tokyo, Jepang, sehari setelah kedua wartawan ini ditahan seperti dilaporkan Reuters.

Karena itu, tanpa berbasa-basi, mantan Perdana Menteri Portugal ini mendesak Otoritas Myanmar untuk segera membebaskan dua wartawan Reuters yang ditahan di Markas Polisi Yangoon.

Antonio Guterres mensinyalir penangkapan itu bisa jadi dilakukan karena kedua wartawan itu melaporkan apa yang mereka lihat dalam tragedi kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Myanmar.

Hal itu juga dibenarkan presiden sekaligus Pemimpin Redaksi Reuters, J Adler. Ia mengatakan bahwa Wa Lone dan Kyaw Soe Oo memang melaporkan peristiwa yang penting secara global di Myanmar. Namun Ia memandang itu hal biasa dalam tugas jurnalistik

Karena itu, penahanan terhadap kedua wartawan itu membuat Stephen J Adler sangat marah. Ia mengatakan penahanan itu merupakan serangan terhadap kebebasan pers. Ia juga mendesak Otoritas Myanmar segera membebaskan kedua wartawan yang ditahan.

"Kami sangat marah dengan serangan blak-blakan terhadap kebebasan pers ini. Kami meminta otoritas membebaskan mereka secepatnya." Kata J Adler

Lantas seperti apakah sebenarnya wajah pers Myanmar. Apakah pemerintah Myanmar enggan menegakkan kebebasan pers seraya mengekang pers dalam menjalankan tugas jurnalistik.

Editor Senior Koran Harian Korat , Nakornratchasima, Thailand, yang juga dosen Jurnalistik, Universitas Maejo, Chiangmai, Thailand, Kannikar Petchkaew pernah mengulas tentang ini. 

Ia membeberkan berbagai kekejaman yang terjadi terhadap pers saat melakukan tugas jurnalistik di Myanmar.

Lewat tulisannya yang dilansir Kantor Berita Radio, Kannikar Petchkaew memaparkan ketika partai Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu bersejarah pada 2015 lalu, tertumpang harapan besar terhadap masa depan Myanmar.

Kemenangan Aung San Suu Kyi saat itu diharapkan akan bisa mendorong Myanmar semakin peduli terhadap kemanusiaan setelah menghirup udara demokrasi. Bahkan sudah dibayangkan pers yang kuat dan independen akan tumbuh di Myanmar.

Namun peristiwa demi peristiwa yang memprihatinkan tetap saja terjadi terhadap dunia pers Myanmar, sama seperti beberapa dekade sebelumnya. Misalnya seorang jurnalis Eleven Media Group yang berusia 35 tahun dipukuli sampai mati.

Jurnalis yang bekerja di media swasta terbesar di Myanmar ini dipukuli saat mengerjakan laporan tentang pembalakan liar. Namun media yang berkantor di pusat kota Yangoon dan didukung lebih dari 100 reporter ini tetap tidak berkutik.

Bahkan pendiri Eleven Media sendiri pernah dijebloskan ke penjara selama dua bulan. Dia dituduh melakukan pencemaran nama baik secara online, setelah menulis seorang menteri melakukan korupsi.

Di Myanmar ada UU Telekomunikasi yang dibuat di masa pemerintahan Presiden U Thein Sein, yang saat itu didukung militer. Sehingga setiap media sangat berhati-hati dan sering melakukan sensor sendiri.

Pers di Myanmar sangat takut dengan pasal elektronika, terutama pasal 66 (d). Pasal ini mengatur ancaman penjara tiga tahun untuk siapa pun yang dinyatakan bersalah menggunakan 'jaringan telekomunikasi untuk memeras, mengancam, menghalangi, mencemarkan nama baik, mengganggu, menyebar pengaruh yang tidak pantas atau mengintimidasi.

Sejak April tahun lalu, pasal ini telah digunakan sebanyak 38 kali terhadap jurnalis, politisi dan pengguna media sosial. Dan kasus pencemaran nama baik juga semakin meningkat.

Di Myanmar penangkapan jurnalis hal yang lumrah. Di penjara Insein yang terkenal banyak sekali jurnalis ditahan  selama tahun-tahun militer berkuasa. Kini, hampir semua jurnalis itu telah dibebaskan. Namun sampai kini masih ada beberapa hal yang belum berubah. Kebebasan pers masih belum mendapatkan ruang selayaknya.

Ini bisa terlihat dari bentuk tekanan terhadap pers, Kannikar Patchkaew memberikan ilustrasi tentang peristiwa Myanmar Times. Myanmar Times baru-baru ini memecat seorang jurnalis asing.

Jurnalis itu dipecat karena melaporkan pelanggaran HAM terhadap etnis minoritas Rohingya. Ternyata pemecatan Myanmar Time terhadap jurnalis itu dilakukan dibawah tekanan pemerintah.

Dalam tulisannya, Kannikar Petchkaew juga menampilkan sosok jurnalis veteran Mei Thingyan Hein yang selama 30 tahun telah malang melintang melawan rezim militer. Di masa rezim militer May ditangkap, artikelnya dilarang beredar

Kannikar menulis bahwa dalam pandangan May, di bawah pemerintahan sipil, media Myanmar masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu tantangannya adalah pembaca yang dibentuk oleh media pemerintah yang sangat menguasai pasar. 

" Kini prilaku pembaca Myanmar sudah berubah karena dibentuk oleh media pemerintah yang punya pasar luas. Ini tantangan besar bagi media Myanmar," kata May

Kendati dibawah tekanan dan punya banyak tantangan, pers Myanmar nyatanya tetap berjuang menegakkan demokrasi dan kebebasan pers. Lantas apa kabar dengan pers kita, pers Indonesia. (Said Mustafa Husin)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun