Aksi unjuk rasa 4 November lalu, membuat banyak orang tampil berani dan semakin berani. Keberanian bukan saja dari tindak-tanduk tapi juga dari perkataan. Begitulah,musisi Ahmad Dhani juga terkesan tampil sangat berani. Ia bersuara lantang dalam orasinya di depan massa yang berjejal di kawasan istana Kepresidenan.
Saking beraninya,Ahmad Dhani dilaporkan ke polisi karena diduga telah mengeluarkan perkataan yang sangat-sangat menghina presiden. Ahmad Dhani diduga melakukan penghinaan terhadap presiden saat berorasi dalam aksi demo 4 November lalu. Laskar Rakyat Jokowi (LRJ) dan Projo adalah dua komunitas yang melaporkan Ahamd Dhani ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya.
Bisakah Ahmad Dhani terjerat hukum ?. Jawabnya tentu saja bisa. Namun pasal yang akan menjerat Ahmad Dhani tentulah bukan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden. Pasal penghinaan presiden atau wakil presiden yang dulu dimuat dalam pasal 134, pasal 136 bis dan pasal 137 KUHP sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi.
Putusan Mahkamah Kontitusi nomor 013 dan 022 tahun 2006, telah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dalam KUHP. Artinya ketiga pasal penghinaan presiden atau wakil presiden seperti pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UU Dasar 1945.
Kala itu, Mahkamah Konstitusi menimbang bahwa pasal 134, pasal 136 bis dan pasal 137 KUHP bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan pada tafsir. Dalam pasal ini tidak jelas, apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden.
Selain itu, ketiga pasal ini dianggap secara konstitusional bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945, bahkan bisa menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang djamin pasal 28F UU Dasar 1945. Ketiga pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden itu juga dianggap tidak sinkron dengan ketentuan Pasal 7A UU Dasar 1945.
Berdasarkan pasal 7A UU Dasar 1945, Presiden bisa didakwa untuk proses pemakzulan jika melakukan pelanggaran hukum berupa penyuapan, korupsi, pengkhianatan terhadap negara,melakukan tindak pidana berat, dan perbuatan tercela. Namun proses ini harus melalui pernyataan pendapat oleh DPR.  Dari sini jelas  presiden maupun rakyat biasa sama kedudukannya di depan hukum.
Martabat presiden dan wakil presiden berhak dihormati secara protokoler, namun presiden dan wakil presiden tidaklah harus mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedudukan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi. Karena itu pasal penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden dihapus dari KUHP.
Pasal 134, pasal 136 bis dan pasal 137 dihapus dari KUHP dengan maksud agar rakyat Indonesia lebih merdeka dalam menyampaikan pendapatnya sesuai dengan amanat konstitusi. Rakyat pun tanpa rasa takut bisa melontarkan kritik terhadap presiden dan wakil presiden. Apalagi pemerintahan memang butuh kritik, presiden dan wakil presiden bisa pula mendengar rakyatnya dan memperbaiki kesalahannya.Â
Namun demikian, maksud dari penghapusan pasal-pasal ini tentu sangat berbeda dengan apa yang diduga diucapkan musisi Ahmad Dhani tentang presiden Jokowi. Hanya saja, Ahmad Dhani tetap tidak bisa dijerat dengan pasal penghinaan presiden atau wakil presiden.Ketiga pasal yang dulunya dijadikan penjajah Belanda untuk bisa semena-mena menghukum rakyat jajahannya, kini sudah dihapus dengan putusan MK nomor 013 dan022 tahun 2006.
Memang beberapa waktu lalu, pemerintah mencoba memasukkan kembali ketiga pasal ini di dalam RUU KUHP. Isinya bukan saja memuat substansi yang sama dengan ketiga pasal yang dibatalkan Mahkamah Kostitusi, bahkan lebih dari itu, isinya memuat cakupan bentuk penghinaan secara lebih luas lagi. Jika pasal-pasal penghinaan presiden atau wakil presiden yang diusulkan itu disetujui, rakyat tidak akan bisa lagi melontarkan kritik kepada presiden.Â