Mohon tunggu...
Esdras Idialfero Ginting
Esdras Idialfero Ginting Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penggila Pantai

Hidup Sehat Tanpa Narkoba

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tantangan Mendidik Anak di Era Gen Z

15 Agustus 2019   14:20 Diperbarui: 15 Agustus 2019   14:19 750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampanye Stop Narkoba

Keluarga memiliki peran yang vital dalam pembentukan karakter, tumbuh kembang, maupun pendidikan anak. Orang tua sebagai guru pertama dan utama di dalam keluarga seyogyanya mencurahkan kasih sayang dan perhatian yang utuh kepada buah hatinya. Tujuannya agar si anak bisa berbakti dan berprestasi sehingga kelak bisa menjadi sosok yang membanggakan.

Permasalahan yang sering timbul adalah orang tua terlalu sibuk dengan rutinitasnya sehingga anak tak mendapatkan hak secara optimal. Para orang tua sebenarnya sadar bahwa mereka bekerja keras demi masa depan anak. Hanya saja mereka kerap lupa bahwa materi yang berlimpah tak bisa memenuhi kebutuhan kasih sayang anak secara utuh.

Di era generasi Z (Gen Z) yang menurut Akhmad Sudrajat (2012) adalah generasi yang lahir antara tahun 1995-2012, tantangan para orang tua semakin berat. Anak-anak Gen Z yang lahir dan dibesarkan di era digital akrab aneka teknologi yang canggih. Sejak kecil, mereka sudah mengenal berbagai gadget canggih yang secara langsung atau pun tidak berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya.

Ekses negatif teknologi canggih yang menerpa sang anak kerap tak disadari orang tua. Salah satu yang paling menghawatirkan adalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Peredaran narkotika akhir-akhir ini memang marak melalui media sosial. Modusnya sangat sederhana yakni calon pembeli tinggal pilih jenis dan kuantitas narkoba yang diinginkan melalui media sosial, transfer uang secara elektronik, dan barang diterima melalui kurir.

Perlu diketahui, belakangan ini para penjahat narkoba berusaha memperluas pangsa pasar dengan menjaring konsumen dari kalangan anak-anak dan remaja. Alasan logisnya, pecandu belia bisa menjadi konsumen dalam tempo yang lebih lama. Mereka juga lebih gampang dikelabui karena pemahaman tentang bahaya narkoba masih minim.

Survei Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba pada Kelompok Pelajar dan Mahasiswa Tahun 2016 hasil kerja sama Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPKUI) menyebutkan dari 100 pelajar/mahasiswa, 4 orang di antaranya pernah pakai narkoba dan 2 orang hingga saat ini masih aktif menyalahgunakannya.

Tantangan tidak berhenti sampai di situ saja. Penyalahgunaan narkoba pada anak ternyata juga memengaruhi prestasi belajar mereka. Menurut survei BNN, hanya 24% dari penyalahguna yang nilainya di atas rata-rata kelas, bandingkan yang bukan pecandu yang mencapai 37%. Sebanyak 11% penyalahguna nilainya di bawah rata-rata kelas, bandingkan yang bukan pecandu hanya 5%. Temuan yang lain adalah 1 dari 4 penyalahguna pernah tidak naik kelas (24%), sedangkan yang bukan pecandu hanya 10%.

Anak yang sudah kecanduan narkoba memang tak peduli lagi pendidikan ataupun masa depan. Kehidupan sehari-harinya hanya berkutat pada pemenuhan dahaga adiksi. Segala cara akan dipakai untuk mendapatkan narkoba.

Penerapan Pola Asuh

Upaya pencegahan perlu diterapkan para orang tua sejak dini untuk memastikan si anak tidak terjerat narkoba. Membebankan semuanya kepada sekolah bukanlah tindakan bijak. Sekolah tidak sepenuhnya bisa memproteksi si anak karena tak bisa menjangkau dan mengawasi pergaulan mereka di luar jam belajar. Lagipula, teknologi dan internet membuat dunia si anak jadi tak terbatas.

Kunci utamanya adalah penerapan pola asuh yang tepat. Menurut Thoha (1996), pola asuh orang tua berarti cara yang dilakukan orang tua dalam mendidik anaknya sebagai bentuk tanggung jawabnya kepada anak. Pola asuh tersebut dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu, permisif, otoriter dan otoritatif (Sugiharto, 2007).

Pola asuh otoriter ditandai dengan kontrol yang kuat dan penilaian yang kritis terhadap perilaku anak, sedikit dialog, serta kurang terjalinnya hubungan secara emosional. Kecenderungan pola asuh otoriter adalah anak menjadi kurang inisiatif, cenderung ragu, dan mudah gugup.

Adapun pola asuh permisif mencirikan orang tua yang memberikan kebebasan yang berlebihan kepada anak. Akibatnya anak kurang memiliki tanggung jawab dan berbuat sekehendak hatinya tanpa kontrol orang tua.

Terakhir, pola asuh otoritatif yang menekankan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban orang tua dan anak. Anak dilatih untuk bertanggung jawab dan menentukan perilakunya sendiri agar disiplin.

Dari ketiga jenis pola asuh tersebut terlihat bahwa kekangan atau kebebasan berlebihan justru berdampak negatif terhadap tumbuh kembang mereka. Anak yang terlalu dikekang akan merasa tersiksa sehingga dia merasa lebih nyaman di luar rumah atau berinteraksi dengan dunia maya yang justru bisa menjerumuskannya.

Di sisi lain, kepercayaan diri yang rendah membuat mereka gampang dipengaruhi oleh orang lain. Ketergantungan terhadap teman sebaya maupun di media sosial menjadi sangat tinggi karena bagi mereka orang tua tidak bisa memberi solusi permasalahannya.

Sebaliknya, anak yang diberi kebebasan terlalu berlebihan justru akan menjadi keras kepala dan susah diatur. Nasihat-nasihat orang tua cenderung disepelekan dan anak bertransformasi menjadi sosok pembangkang. Biasanya mereka lebih menjadikan informasi-informasi dari dunia maya sebagai rujukan, bukan nasihat orang tua.

Kedua tipikal anak seperti inilah yang rawan menjadi penyalahguna narkoba. Kepribadian anak seperti itu sebenarnya sangat rapuh karena mereka tidak memiliki mekanisme pertahanan diri yang kokoh saat menghadapi masalah. Penyalahgunaan narkoba di kalangan anak dan remaja umumnya berawal dari percaya diri yang rendah. Kondisi akan bertambah parah jika mereka tidak bijak memanfaatkan teknologi.

Solusinya adalah memberikan tanggung jawab sekaligus otoritas yang seimbang kepada si anak sehingga menempa mereka jadi figur yang mandiri. Kemandirian tersebut terlihat dari cara mereka memanfaatkan teknologi untuk mengerjakan tugas-tugas di sekolah yang tak bisa dibantu oleh orang tua. Dengan teknologi pula mereka juga mengetahui dampak buruk penyalahgunaan narkoba sehingga bisa menghindarinya.

Anak membutuhkan orang tua tidak hanya sebagai tempat bernaung tetapi juga sebagai guru dan teman. Keseimbangan antara tuntutan dan kontrol orang tua membuat mereka lebih nyaman sehingga terhindar dari godaan-godaan negatif.

Mendidik anak memang bukan perkara mudah. Menjauhkan anak dari narkoba sekaligus menuntun mereka fokus pada pencapaian prestasi merupakan tugas berat. Apalagi di era Gen Z ini, terkadang anak lebih pintar dari orang tua. Namun dengan pola asuh yang tepat anak akan lebih merasa percaya diri, nyaman, optimistis, dan penuh kemandirian dalam meraih mimpi dan cita-citanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun