Pancasila adalah kode asas pertama dalam menaungi kehidupan masyarakat di negara kita tercinta Indonesia. Implementasi (penerapan) nilai-nilai Pancasila harus selalu ada dalam setiap gerak-gerik kehidupan sosial serta individual masyarakat Indonesia yang berdaulat sejak 1945 dahulu kala. Penetapan Pancasila sebagai asas dan dasar negara ini tidaklah asal adanya, melainkan memiliki sejarah panjang yang penuh peluk serta rintangan antara tokoh-tokoh yang terus bersiteru untuk menentukan dasar negara ini.
Perjuangan menemukan konsep dasar negara tersebut dianggap sangat penting karena akan memberikan efek yang sangat mendalam untuk perjalanan negara kedepannya. Sehingga wajar bila terdapat debat panjang antar tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan hingga sampailah pada asas yang lima, kita sebut Pancasila.
Penetepan Pancasila tidak mampu dilepaskan dari kaum santri yang sangat berpengaruh terhadap proses perjuangan hingga tiba sebuah kemerdekaan yang dicita-citakan. Bersama teriakan tauhid mereka gemakan yang seakan menyelimuti bambu-bambu runcing sehingga mampu mengalahkan bedil-bedil penjajah bahkan meriam mereka. Begitupun dengan Pancasila dengan rumusan yang cukup apik, sistematik dimulai dari suatu kalimat yang mencakup segalanya "Ketuhanan Yang Maha Esa" (sila pertama), yang merupakan dasar kehidupan bahwa negara ini didirikan atas seizin Tuhan Yang Maha Esa.
Kalimat tersebut memberikan cangkupan luas untuk mewakili sila-sila setelahnya, dimana "Kerakyatan yang adil dan beradab" tidak akan terjadi bila tidak dihiasi dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, seperti kenyataan yang terjadi saat ini. Saat nafsu membara melewati sebuah batas yang seharusnya, tidak lain karena hidupnya mulai lepas dari sila yang pertama. Mereka merasa tidak diamati, hidup seenaknya karena kekuasaan, lupa kalau ada kuasa diatas segala kuasa.
Sila ketiga "Persatuan Indonesian" dua kata pendek namun dalam maknanya. Sabang sampai merauke adalah suatu kesatuan yang luas sehingga sulit mempersatukannya. Belum lagi perbedaan ras, suku dan agama, seakan mempersulit terciptanya sebuah persatuan yang diharapkan. Saling tuduh tentang suatu kesalahan dan saling berlomba merebut kebenaran dengan jalan yang mengarah pada kesalahan bahkan kesesatan. Menaungi itu semua sila pertama adalah solusi utama untuk kemudian diambil langkah-langkah lainnya.
Kita beranjak pada sila keempat, "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat, kebijksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Sebuah sila yang jelas diambil dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa, dimana segala hal yang berkaitan dengan rakyat harus selalu diambil dengan jalan yang hikmat bukan grusah-grusuh (dalam bahasa jawa berarti acak-acakan) serta harus melalui jalan musyawarah bukan sekedar keputusan yang tidak berlandaskan kemashlahatan rakyat.
Sampai pada sila yang terakhir, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Berdiri sama rata, tidak saling tindas satu dan lainnya, kaya membantu miskin, penguasa menaungi rakyatnya itulah yang diinginkan dalam sila ini. Keadilan memang mutlak milik Tuhan, namun kita sebagai makhluk-Nya sedikitnya mampu mengaplikasikan sifat adil tersebut dengan meletakkan sesuatu pada tempatnya. Hingga setiap manusia akan mampu mendapatkan Hak-hak mereka dengan tidak melupakan kewajiban yang harus mereka kerjakan.
Begitulah kurang lebihnya peran Pancasila dalam kehidupan negara ini. Lantas bagaimana implementasi Pancasila dalam kehidupan pesantren? Apakah di sana diajarkan kehidupan ber-Pancasila?
Pancasila bukan lagi menjadi dasar kehidupan tapi sudah menjiwai santri di negara ini. Nilai-nilai Pancasila tidak lagi mereka hapalkan namun sudah sampai pada mereka rasakan bahkan praktekkan. Totalitas kehidupan dinaungi rasa khidmat pada Kuasa Allah Swt. adalah kunci utama dalam seluruh aspek kehidupan santri. Maka tidak perlu diragukan ketaatan pada sila pertama adalah sudah menjadi nafas perjalanan kehidupan pesantren dan santri-santrinya.
"Kemanusiaan yang adil dan beradab", tidak lagi menjadi motto semata. Di Gontor misalkan, jika anak pimpinan pondok membuat kesalahan maka akan ditindak seperti anak-anak lainnya, tidak ada keistimewaan dalam hal keadilan. Kemudian aspek adab, tidak diragukan lagi. Santri terbiasa patuh dan taat pada peraturan dengan tulus dan selalu menggunkan unggah-ungguh (dalam bahasa jawa berarti kesopanan) mereka untuk berinteraksi baik dengan senior mereka atau adek kelas mereka yang notabennya lebih muda dari mereka.
Sila selanjutnya, "Persatuan Indonesia" adalah sudah menjadi ciri khas bagi kehidupan pesantren. Dimana santri tidak canggung lagi untuk hidup berinteraksi dengan orang lain yang berbeda suku, daerah dan ras yang ada. Begitupula dengan sila keempat, santri telah dibiasakan hidup dalam organisasi kehidupan yang selalu berlandaskan musyawarah untuk mencapai kemashlahatan yang tetap dalam koridor ajaran agama yang benar.