Kadang bukan suasanya yang harus diganti, tetapi rasa yang harus kita perbaiki
Sebuah kalimat dalam majalah Tarbawi itu begitu menggugah imajinasi saya, dengan berlatarkan gambar alam nan hijau, sungguh merupakan perpaduan yang indah untuk dinikmati dan direnungkan makna didalamnya.
Rasa, orang sering menyebutnya sebagai mood atau feel, dan suasanya yang ada diluar kendali manusia sering menjadi bagian tak terpisahkan tetapi tak jarang juga saling bertentangan. Boleh jadi kita berada dalam suasanya yang sama sekali tidak menyentuh rasa kita, seringkali pula kita memaksakan apa yang kita rasa untuk mengubah suasana yang tak jarang justru merusak segalanya.
Ada orang yang bisa bertindak layaknya ‘spongebob' yang selalu ceria dalam segala suasanya, mengambil hikmah-hikmah kecil yang berserak diantara keadaan dan kejadian yang dialaminya. Mengubah keterbatasan sebagai sesuatu yang indah dan kejadian bodoh sekalipun sebagai bagian dari pembelajaran baginya.
Sebaliknya, ada orang yang terpaksa membeli suasana dengan dalih untuk mengembalikan rasa. Menghambur-hamburkan sejumlah uang untuk sekedar menikmati ‘suasana baik' yang menurutnya bisa mengembalikan rasa. Merogoh kantong untuk sekedar menikmati hingar-bingar diskotek dan sebangsanya lengkap dengan minuman yang berbau alcohol yang katanya bisa menghilangkan ‘rasa tak enak dalam dirinya'. Menghamburkan sejumlah uang untuk sekedar tidur di tempat mewah, agar ‘rasa' yang dikehendaki akan muncul dalam suasana yang ada di tempat mewah tersebut. Lalu, apakah rasa akan tetap hadir ketika kembali ke tempat semula, yang sudah pasti ditemui dalam porsi terbesar dari seluruh hari yang dilalui dalam hidupnya?
Dengan dalih rasa orang rela merogoh sejumlah uang untuk memenuhi hasrat mendapatkan suasana yang diinginkannya. Kalau yang dirogoh tidak ada, jalan haram pun dilakukan, korupsi bagi yang punya kewenangan, penggelapan bagi yang ada di perusahaan milik pribadi, menipu bagi yang bermulut manis dan sebagainya. Wajarkah ini, demi sebuah rasa? Jawabnya tentu saja tidak, sama sekali tidak. Bahkan memaksakan kehendak atas nama jabatan kepada orang dibawah kita dengan dalih demi memperbaiki suasana agar rasa bisa tumbuh dan menjadikannya sebagai prestasi pun bukan merupakan sebuah jalan keluar dalam pencarian ‘rasa'. Hal demikian justru menghilangkan rasa dalam segala suasana.
Suasana bisa dibeli, juga bisa dipaksakan, tetapi rasa adalah kesejatian yang timbul dalam segala suasana, dan kesejatian itu hanya ada dalam diri. Diri kitalah yang bisa mengubah suasana dan mengelola rasa. Suasana boleh berubah sesuai guliran waktu, tetapi tidak demikian halnya dengan rasa. Rasa benar-benar menjadi kesejatian dan keabadian jika dikelola dengan baik dan akan selalu tumbuh apabila diasah melalui serangkaian pengamatan dalam diri kita, seperti kallimat bijak yang saya temui dalam tulisan Sri Sultan HB X dalam kata sambutan sebuah buku " amatilah pikiranmu, karena akan menjadi ucapanmu, amatilah ucapanmu karena akan menjadi tindakanmu, amatikah tindakanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu, amatilah kebiasaanmu, karena akan menjadi karaktermu, amatilah karaktermu, karena akan menjadi nasibmu".
Hanya yang mampu mengenali dirinyalah yang mampu mengenali kebutuhannya dan mampu mengelola rasa untuk ketenangan jiwa dan kesiapan untuk menghadapi setiap perubahan suasana. Dengan kalimat lain, pengenalan diri diikuti dengan pengelolaan rasa dan memadukan dengan suasana-lah yang membuat seseorang mampu menggapai tujuan hidup tanpa banyak terpengaruh gejolak suasana yang muncul. Gejolak suasana adalah warna, sedangkan rasa adalah kuas yang siap diayunkan oleh seseorang untuk menghasilkan lukisan indah kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H