“Karya Ungki itu terbilang cukup unik, bahkan di angkatannya ia menjadi yang pertama bisa menjual lukisannya,”kata Yuki.
Bagi orang awam seperti saya ungkapan pertama kali ketika melihat hasil karyanya adalah aneh. Begitukah hasil gemblengan institut yang namanya sudah mendunia? Gambarannya tak lebih seperti seorang bocah umur 4 tahun. Garis yang tidak beraturan, objek yang tidak tergambar dengan rapi, bahkan temanya pun entahlah. Ibaratnya nggak perlu susah payah belajar kalau hanya menggambar seperti itu. Namun rupanya apa yang ia gambar memiliki aliran tersendiri, yang itu diakui dalam seni rupa. Karya-karya tersebut memiliki nilai jual yang tinggi.
Pop art dan ekspresionis telah menjadi kiblatnya dalam melukis. Tema lukisannya pun berbau dengan apa yang sedang hangat terjadi saat itu. Seperti akhir-akhir ini misalnya, lukisannya banyak bercerita tentang bertani, tumbuhan, dan hewan. Semua itu tidak lahir dengan tiba-tiba. Latar belakang keluarganya ikut memberinya inspirasi dalam melukis. Si bapak yang bermata pencaharian petani, sering membawa pulang tumbuhan polowijo untuk dimasak. Rutinitas inilah yang membekas dalam memorinya, sehingga ia tuangkan melalui gambaran.
“Wuuu ra payu wae gambarane (tidak laku gambarannya),” sebuah perkataan dari sang bapak yang tidak pernah ia lupakan.
Mendengar kalimat tersebut saat itu pula ia merasakan semangatnya hancur. Bukan kalimat pahit yang seharusnya ia harapkan saat itu. Terlebih saat itu ia sedang butuh banyak dukungan untuk eksis di dunia seni. Berat untuk menjadi seorang seniman. Perjuangan untuk diakui membutuhkan banyak pengorbanan. Sudah ratusan karya semenjak ia mengenyam perguruan tinggi ia ciptakan, namun masih belum sesuai harapannya. Berbagai undangan untuk mengisi pameran lukisan pun hampir tak pernah ia tolak. Sambil berharap ada orang yang bisa membuat karyanya meledak.
Pernah suatu saat saya berkesempatan melihat bagaimana ia berproses. Tak semurah dan semudah yang dibayangkan ternyata. Untuk membuat dan melapisi sebuah kanvas saja sudah harus mengeluarkan rupiah bergambar Dwi Tunggal RI. Belum untuk membeli cat warna yang harga per buahnya menjenggit rambut.
“Terus nek ra payu piye Ung (terus kalau tidak laku gimana) ,” tanya saya saat itu.
“Yowis disimpen wae (ya sudah disimpan saja),” jawabnya sederhana sambil cengengesan.
Tidak ada kompromi baginya ketika berkarya. Sekalipun kepepet dengan urusan ekonomi, setiap kali ikut pameran ia hadir dengan karya terakhirnya. Padahal jika mau bisa saja ia mengeluarkan lukisan-lukisannya yang tersimpan di almari untuk ditampilkan.
Idealisme untuk hidup dari coretan tangannya pun pernah mengalami pasang surut. Putus asa ketika seringnya mengikuti eksebisi namun tidak berbuah hasil. Kemudian saat melihat beberapa temannya yang sudah menjadi terkenal kadang harapan itu muncul lagi. Namun ujian waktu juga membuatnya sempat melunturkan semangatnya. Pernah suatu kali ia mendapat tawaran untuk mengajar seni di sekolah atas. Kendala waktu yang akhirnya mengembalikan ia ke jalur melukis.
Ketika lukisan belum bisa menjadi tumpuan hidup, ia melakukan hal lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Beruntung saat kuliah dulu ia sudah merintis usaha sablon kaos dan membuat tote bag. Sehingga masih menjadi pegangan hidupnya.