Mohon tunggu...
Esang Suspranggono
Esang Suspranggono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Si Jhonny yang berusaha menepati Janjinya. Berharap kisahnya bisa menginspirasi bagi lainnya. Masih belajar mencintai kopi, dan berkeyakinan suatu saat akan dapat kontrak untuk menulis tentang museum di berbagai negara.ig@janjijhonny

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Secangkir KafeinIsme #6 200 ribu yang malang untuk 70 tahun Indonesia Merdeka

18 Desember 2015   19:31 Diperbarui: 18 Desember 2015   19:31 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

...Memang tidak sedingin malam Minggu kemarin, yang tidak bosan-bosanya hujan turun. Suasana Minggu malam (13/12) mendukung langkah kaki ini menyimak beragam cerita yang belum terpublish secara umum. Beragam kisah hidup perjuangan anak manusia yang telah melewati batasnya egonya demi negeri ini.

Bentara Budaya, Minggu kemarin malam pukul setengah 7.

Lumayanlah sekitar 20 kilometer dari Bantul, kendaraan hasil menang undian sampai di pelataran parkir. Hhmm, dari pintu masuk menghadap ke barat hanya terlihat  orang tiga di dalam ruangan. Seorang pria dan gandengannya tengah asyik mengamati koleksi buku yang disuguhkan oleh si mbak penunggu ruangan. Lengang, tak ada barang-barang yang berfungsi sebagai dekorasi ruangan. Hanya ada satu kursi kayu yang mirip dipan, sengaja dijadikan tempat transit  pengunjung menaruh pantat.  Jauh dari kata ramai namun atmosfer ruangan seperti khidmat dengan beragam koleksi foto.

Prolog dari ketua panita memaku langkah kaki ini untuk berjalan lebih jauh. Kritis, sesekali menyindir setiap rezim di negeri ini. Memang tidak akan pernah bisa setiap rezim memuaskan seluruh masyarakat negeri ini yang jumlahnya mencapai ratusan juta jiwa. Namun dibalik kritikannya selalu ada pelajaran untuk terus mengenang sejarah masa itu. Belajarlah dari para terdahulu, setidaknya itu yang menjadi sekapur sirih acara pameran foto 70 tahun Indonesia.

Foto di sebelah kanan kata pengantar, mata ini sudah disuguhi rekaman gambar dialog mesra tiga tokoh pejuang kemerdekaan. Siapa lagi kalau bukan Bung Hatta, Syahrir, dan presiden pertama negeri ini. Bung Hatta nampak elegan dengan setelah jas putih lengkap dengan dasi. Sedangkan Bung Syahrir sedang serius menjelaskan sesuatu kepada presiden RI. 

Bergerak ke arah kanan, tubuh ini dibawa ke medan perang sesungguhnya. Ya, jalanan adalah medan pertempuran sebenarnya. Bedhil, peluru, kendaraan perang, mayat  semua ada di sana. Kisah bagaimana para tentara Inggris yang kala itu berkonvoi dengan tank Stuart MK3 juga tak luput dari rekaman fotografer. Ada lagi yang menarik dari foto para agresor, sebuah tank pasukan KNIL dengan prajuritnya terlihat tersenyum ketika diabadikan fotonya. Yang menarik perhatian adalah poster Presiden RI sengaja dipajang di depan tank. Dari ceritanya, poster itu diperoleh tentara KNIL dari kediaman warga pribumi. Dan entah bagaimana idenya hingga mereka memajang poster tersebut di depan tank.

Dari beberapa buku referensi yang saya baca dan beberapa kali berkunjung ke museum perjuangan, baru kali ini mendengar kisah jika dulu para TKR kita sempat membakar pesawat milik Jepang. Kalau tak salah jenis pesawat tersebut  B-25 seperti  yang terpajang di hangar Museum Dirgantara Mandala Yogyakarta.

Perjuangan kemerdekaan negeri ini memang melibatkan semua elemen masyarakat. Semesta, kalau boleh mengutip ucapan presiden pertama bangsa Indonesia tatkala memberi wejangan kepada Pangsar Sudirman pada film Jendral Sudirman. Seperti cerita bagaimana kisah para perawat wanita yang heroik menggotong prajurit sedang terluka di atas tandu dari medan laga. Meskipun semua foto  berwarna hitam putih, namun saya yakin titik-titik di baju putih perawat tersebut bukanlah kotoran tanah, melainkan darah.

Hello it’s me. I was wondering if after all these year. You’d like to meet to go over everything......pas sekali dengan kisah malam ini. Alunan lagu  Adele kala itu semakin menambah kesyahduan kisah nostalgia ini.

Tadinya sempat terpikirkan hebat juga soundman disini hingga disetelkan lagu bernada galau. Namun setelah beberapa langkah berjalan dari foto para tentara KNIL rupanya ada radio tua yang sembunyi dibalik tekukan tembok. Ternyata lagu tersebut dari siaran radio yang kebetulan diputar.  Ya setidaknya radio klasik tersebut menjadi jembatan antara cerita tentara Belanda dengan tentara kebanggaan Indonesia. 

Foto setengah badan Pangsar Sudirman membuka babak pergerakan perlawanan terhadap Belanda. Pernah pula melihat foto yang sama di Museum Dharma Wiratama yang berada di Jalan Jendral Sudirman. Melihat pose beliau, hanya kagum yang tak ada habisnya. Salah satu putra terbaik negeri ini yang berjuang dengan caranya sendiri demi memberi pesan bahwa Tentara Indonesia bukanlah pembelot seperti yang dikoar-koarkan Belanda. Satu paru-paru, bergerilya dengan prajurit dan perbekalan yang seadanya, berpindah dari lembah satu ke gunung yang satunya sambil menyusun strategi  untuk memukul mental agresor. Semangat patriotik yang kini sudah diujung tanduk . 

Berjalan menuju ke sudut ruangan yang lain, saya menemukan lagi bagian the untold story. Foto antara Kyai Haji Agus Salim dengan Presiden RI pertama. Berpakaian safari serba putih, dengan tongkat di tangan kanan menyangga tubuhnya yang sudah tua, sedangkan tangan kirinya sibuk  menenteng sebuah jas tampak tengah asyik berbincang. Tubuhnya memang tak tinggi, namun apa yang ada di kepalanya melebihi tingginya gedung pencakar langit. Kemampuan menguasai beragam bahasa asing membuat rakyat Indonesia mengamanahkan kepadanya jabatan sebagai menteri luar negeri. 

Sayang, negeri ini terlalu sibuk mengekspose sekelumit tokoh saja, padahal masih banyak sumbangsih para tokoh lain demi berdirinya Indonesia. Seperti kisah Kyai Haji Agus Salim misalnya, sangat susah sekali mendapatkan kisahnya. 

Saking banyaknya karya foto yang dipamerkan,ruang utama pameran yang sejatinya cukup luas tak mampu menampungnya. Sebuah kamar kecil  menjadi solusi untuk menyambung kisah heroik negeri ini. Jika biasanya ketika mengetik nama Bung Tomo pada halaman pencari daring yang keluar berupa wajah garangnya, tidak dengan di sini. Masih setia dengan peci sebagai ciri khasnya terlihat ia telah meminang gadis pujaan hati. Sebuah senyum kecil pertanda hatinya sedang bahagia. 

Ini juga menjadi bagian dari  the untold story kemerdekaan bangsa ini. Perangko. Saya tak pernah menyangka sebelumnya jika dulu perangko dijadikan sebagai salah satu alat untuk menggalang dana. Kehidupan ekonomi di usia Indonesia yang serumur jagung tentulah belum mapan. Sedangkan saat itu selain berbenah, Indonesia juga melakukan perlawanan terhadap agresor. Butuh banyak sekali dana. Dan saya pikir pemimpin bangsa ini juga pekewuh bila harus memungut dana melalui pajak pada warganya. Dari hasil penjualan perangko inilah pendiri bangsa dan pejuang terus melanjutkan perjuangan.

Foto Mohammad Hatta yang duduk bersebelahan dengan Sultan Hamid II di sebelah kanan sedangkan di kirinya Ratu Julia pada Konferensi Meja Bundar menutup perjalanan perjuangan negeri ini. Ya, dari hasil  KMB inilah akhir semua agresi militer Belanda di Indonesia. Hingga akhirnya negeri ini berdiri sendiri menentukan nasibnya.

200 ribu yang malang

“Fat, ini foto mas beberapa hari di pengasingan. Bagaimana mas terlihat kurus atau sudah gendut?” Begitu kira-kira kalimat dalam foto kiriman  Presiden RIS kepada istrinya .

Hhhhhhaaa…sedih rasanya ketika hanya bisa melihat buku dengan tiga jilid tersebut tanpa bisa membawanya pulang. Padahal foto-foto yang dipajang di sini hanya beberapa saja dari total foto yang dicetak dalam buku tersebut. Banyak foto-foto langka yang tidak pernah saya temui sebelumnya. Seperti foto Presiden pertama yang beberapa hari di pengasingan. Kurus memang, meskipun tubuhnya berbalut jas. 

Apa mau dikata, uang yang saya miliki  tidak lebih dari 30 ribu. Sedangkan untuk membeli ketiga jilid buku tersebut harus Down Payment 50% yaitu 100 ribu. Sayang rasanya ketika tidak mampu  membeli sebuah buku kisah perjuangan para pahlawan. Sekalipun itu hanya sebuah kumpulan foto, namun bagi saya itu juga memiliki cerita dan makna tersendiri. 200 ribu untuk kisah 70 tahun yang lalu tak mampu saya beli. Dan mungkin ketika saya memiliki penghasilan lebih di masa depan belum tentu pula dapat saya lemarikan. 

Terkadang saya berpikir kenapa para pendahulu kita tidak bisa menurunkan semangat patriotismenya kepada golongan muda sekarang?  Gagasan-gagasan hebat mereka ikut  sirna dengan kepergiannya dari dunia. UUD 1945, Pancasila hanya itu yang tersisa, namun itupun juga mati suri. Apa yang salah dari negeri ini? Jas Merah, hanya menjadi jargon saat kemerdekaan saja. Selepas itu kembali masuk dalam peti dan tidak terdengar gaungnya.  

...Tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa yang besar jika tidak bisa menghargai pahlawan dan sejarahnya. Sedangkan untuk mencetak sejarah baru kita harus belajar pada sejarah terdahulu…

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun