Berjalan menuju ke sudut ruangan yang lain, saya menemukan lagi bagian the untold story. Foto antara Kyai Haji Agus Salim dengan Presiden RI pertama. Berpakaian safari serba putih, dengan tongkat di tangan kanan menyangga tubuhnya yang sudah tua, sedangkan tangan kirinya sibuk menenteng sebuah jas tampak tengah asyik berbincang. Tubuhnya memang tak tinggi, namun apa yang ada di kepalanya melebihi tingginya gedung pencakar langit. Kemampuan menguasai beragam bahasa asing membuat rakyat Indonesia mengamanahkan kepadanya jabatan sebagai menteri luar negeri.
Sayang, negeri ini terlalu sibuk mengekspose sekelumit tokoh saja, padahal masih banyak sumbangsih para tokoh lain demi berdirinya Indonesia. Seperti kisah Kyai Haji Agus Salim misalnya, sangat susah sekali mendapatkan kisahnya.
Saking banyaknya karya foto yang dipamerkan,ruang utama pameran yang sejatinya cukup luas tak mampu menampungnya. Sebuah kamar kecil menjadi solusi untuk menyambung kisah heroik negeri ini. Jika biasanya ketika mengetik nama Bung Tomo pada halaman pencari daring yang keluar berupa wajah garangnya, tidak dengan di sini. Masih setia dengan peci sebagai ciri khasnya terlihat ia telah meminang gadis pujaan hati. Sebuah senyum kecil pertanda hatinya sedang bahagia.
Ini juga menjadi bagian dari the untold story kemerdekaan bangsa ini. Perangko. Saya tak pernah menyangka sebelumnya jika dulu perangko dijadikan sebagai salah satu alat untuk menggalang dana. Kehidupan ekonomi di usia Indonesia yang serumur jagung tentulah belum mapan. Sedangkan saat itu selain berbenah, Indonesia juga melakukan perlawanan terhadap agresor. Butuh banyak sekali dana. Dan saya pikir pemimpin bangsa ini juga pekewuh bila harus memungut dana melalui pajak pada warganya. Dari hasil penjualan perangko inilah pendiri bangsa dan pejuang terus melanjutkan perjuangan.
Foto Mohammad Hatta yang duduk bersebelahan dengan Sultan Hamid II di sebelah kanan sedangkan di kirinya Ratu Julia pada Konferensi Meja Bundar menutup perjalanan perjuangan negeri ini. Ya, dari hasil KMB inilah akhir semua agresi militer Belanda di Indonesia. Hingga akhirnya negeri ini berdiri sendiri menentukan nasibnya.
200 ribu yang malang
“Fat, ini foto mas beberapa hari di pengasingan. Bagaimana mas terlihat kurus atau sudah gendut?” Begitu kira-kira kalimat dalam foto kiriman Presiden RIS kepada istrinya .
Hhhhhhaaa…sedih rasanya ketika hanya bisa melihat buku dengan tiga jilid tersebut tanpa bisa membawanya pulang. Padahal foto-foto yang dipajang di sini hanya beberapa saja dari total foto yang dicetak dalam buku tersebut. Banyak foto-foto langka yang tidak pernah saya temui sebelumnya. Seperti foto Presiden pertama yang beberapa hari di pengasingan. Kurus memang, meskipun tubuhnya berbalut jas.
Apa mau dikata, uang yang saya miliki tidak lebih dari 30 ribu. Sedangkan untuk membeli ketiga jilid buku tersebut harus Down Payment 50% yaitu 100 ribu. Sayang rasanya ketika tidak mampu membeli sebuah buku kisah perjuangan para pahlawan. Sekalipun itu hanya sebuah kumpulan foto, namun bagi saya itu juga memiliki cerita dan makna tersendiri. 200 ribu untuk kisah 70 tahun yang lalu tak mampu saya beli. Dan mungkin ketika saya memiliki penghasilan lebih di masa depan belum tentu pula dapat saya lemarikan.
Terkadang saya berpikir kenapa para pendahulu kita tidak bisa menurunkan semangat patriotismenya kepada golongan muda sekarang? Gagasan-gagasan hebat mereka ikut sirna dengan kepergiannya dari dunia. UUD 1945, Pancasila hanya itu yang tersisa, namun itupun juga mati suri. Apa yang salah dari negeri ini? Jas Merah, hanya menjadi jargon saat kemerdekaan saja. Selepas itu kembali masuk dalam peti dan tidak terdengar gaungnya.
...Tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa yang besar jika tidak bisa menghargai pahlawan dan sejarahnya. Sedangkan untuk mencetak sejarah baru kita harus belajar pada sejarah terdahulu…