Mohon tunggu...
Esang Suspranggono
Esang Suspranggono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Si Jhonny yang berusaha menepati Janjinya. Berharap kisahnya bisa menginspirasi bagi lainnya. Masih belajar mencintai kopi, dan berkeyakinan suatu saat akan dapat kontrak untuk menulis tentang museum di berbagai negara.ig@janjijhonny

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Monolog Aspal dan Sawah “Perbincangan Ningrat dan Jelata”

10 Januari 2014   07:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:58 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak sekali fenomena kehidupan yang saya temui di sini. Entah apa ini salah manusia mendidik manusia, atau negara, atau bahkan ajaran agama yang sudah perlahan luntur. Semua bercerita dengan begitu asyiknya.

Seperti dengan hadiah kejutan awal tahun dari salah satu perusahaan negara ini. Harga gas dinaikkan dengan begitu seenaknya. Tanpa tanggung – tanggung kenaikannya lebih dari 50 persen. Membuat semua warga merasa terkejut dengan naiknya si gas. Saya pun menyaksikan kekagetan yang dialamai rakyat bawah. Mereka berbondong – bondong transmigrasi dari yang semula bergolongan darah biru menjadi hijau. Mungkin jika diibaratkan biru adalah ningrat dan hijau adalah jelata. Ya tapi itu yang terjadi.

Seperti penjual tahu pong di daerah saya. Biasanya ketika menyambangi lapak gedhegnya saya selalu melihat si ningrat bergerombol 3 atau 4 buah. Tapi ketika tahun berganti menjadi ekor genap si ningrat pun harus di usir dari warung mungilnya. Alasannya adalah harga yang terlalu mahal. Saya paham maksudnya, jelas saja keuntungan yang diperoleh si penjual tahu akan berkurang drastis terlebih setiap harinya ia butuh minimal 3 buah. Sedangkan omzet pendapatannya tentu tidak sebanding dengan warung – warung besar. Asal bisa menyambung hidup serta bisa mensekolahkan anaknya saja sudah cukup. Syukur – syukur jika ada sisa bisa untuk menjadi tabungan. Saya menjadi bertambah prihatin, terlebih jika saat ini adalah musim hujan. Bisa dibayangkan, sudah harga gas naik musim hujan pula. Pendapatan si penjual tahu bisa berkurang tajam. Seperti pesawat tempur yang jatuh tanpa bertanding. Bukannya tidak bersyukur pada Sang Pencipta namun tahu sendiri lah rumah menjadi tempat berteduh paling nyaman saat hujan.

Alasan si perusahaan itu yang  klasik namun menggelitik. Laporan kerugian yang sangat besar yang harus ditanggungnya. Aneh to...jelas akumulasi kerugian didapat tidak hanya satu tahun melainkan sudah sejak beberapa tahun, kok ya le munggahke harga baru sekarang. Kenapa evaluasi tidak sejak dulu waktu mengalami kerugian pertama kali. Menurut cerita di televisi hal itu disebabkan karena gasnya harus impor. Kalau di buku pelajaran disebutkan kalau negara ini adalah negara yang kaya raya. Gas bukan masalah seharusnya, karena sumber daya alam  yang mbludak. Bahkan kotoran pun bisa menjadi gas alternatif. Kok ya harus impor segala???

Katanya salah satu perusahaan top dunia, tapi kenapa konsumennya hanya warganya sendiri. Kalau ingin berdagang seharusnya ia berdagang di kancah dunia agar konsumenya dari negara lain. Mengeruk untuk di luar untuk membangun di dalam. Bukan sebaliknya kan ??? salah siapa ini. Mungkin salah saya yang memiliki keterbatasan otak sehingga untuk hal rumit saya hanya bisa senyum sambil geleng – geleng. Bahkan mungkin masyarakat kalangan bawah pun juga sama seerti saya hanya bisa tersenyum sambil geleng – geleng. Karena sudah tidak bisa lagi merasakan beban hidup yang terlalu lucu.

Lucu negeri ini. Banyak sekali orang yang konon pinter, bertitle luar negeri namun kok ya masih saja nyleneh. Saya tidak habis pikir bagaimana pola pikir mereka. Logikanya kalau ingin kaya maka kita berusaha, Benar.  Tapi bukan rakyatnya  sendiri kan yang dijadikan konsumen pengeruk untung. Di undang – undang dasar yang saya pelajari lagi sewaktu tes cpns dikatakan seluruh hajat hidup masyarakat dikuasai negara. Kalau saya menafsirkan sih begini biar tidak ada persaingan antara si A dan si B yang berebut konsumen demi keuntungan sebuah pihak makanya dikuasai negara. Selain harga nya murah ,juga uang tersebut bisa untuk membangun negara. Lhah tapi kalau sekarang, saya bingung kenapa pandangannya berubah. Yang dulunya dari rakyat untuk rakyat kini dari rakyat untuk kepentingan yang tidak tahu saya.

Saya jadi teringat beberapa waktu kemarin, di tv saya melihat sebuah acara dimana mantan menteri Orde Baru bercerita bagaimana jaman ORBA yang katanya di stiker truk berbunyi isih penak jaman ku to le ?. Harga kebutuhan pokok dari Sabang sampai Merauke bisa satu warna. Tidak perduli berapa jauhnya yang penting harga sema sama. Mungkin gengsi untuk meniru sesutau yang baik di masa lalu sehingga kini sistemnya berbeda. Atau takut dibilang tidak  move on jika harus meniru.

Ya ini hanya obrolan diri saya ketika jenuh di dalam rumah dan berkeliling di daerah saya. Dari satu sawah ke sawah lainya melalui perantara aspal. Cengar – cengir melihat keadaan ekonomi yang semakin mbundet. Saya tidak habis pikir bagaimana ya rasanya si ibuk – ibuk penanam padi yang jam 12 siang masih menanam benih. Panas lhoo bekerja di bawah terik matahari, apalagi saat menanam benih padi, masih harus berjalan mundur pula. Mending kalau itu sawahnya tiap panen bisa sedikit lega dengan tumpukan gabahnya. Lha kebanyakan mereka menanam padi bukan di sawahnya. Mereka hanya buruh padi yang hanya mendapat secuil bagian penjualan dari gabahnya. Perbandingannya sangat jauh sekali.

Tetap saya masih bisa lho melihat sedikit senyum ketika saya hanya menundukan kepala sewaktu lewat di depannya.  Mungkin sisa peninggalan budaya lah yang menyebabkan ia masih sumeh kepada orang lain. Sisa peninggalan pelajaran budi pekerti yang masih nempel, jadi apapun yang terjadi harus bisa senyum ketika menghadapi orang lain. Padahal mungkin saja ia sedang memikirkan mau njangan apa besok pagi, atau mikir bagaimana cara ngutang gas di tetangga. Coba ya seandainya para penguasa itu merubah pendangannya dari yang berkepentingan menjadi kepedulian pasti kehidupan kita bisa lebih baik dari sebelumnya.

...Ya namanya juga monolog. Ngomong sendiri , jengkel sendiri, ketawa sendiri. Tanya sendiri dan harus dijawab sendiri.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun