Mohon tunggu...
Esang Suspranggono
Esang Suspranggono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Si Jhonny yang berusaha menepati Janjinya. Berharap kisahnya bisa menginspirasi bagi lainnya. Masih belajar mencintai kopi, dan berkeyakinan suatu saat akan dapat kontrak untuk menulis tentang museum di berbagai negara.ig@janjijhonny

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Rumah Kecil Inilah Indonesia Lahir

5 Maret 2014   01:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

…..Perjalanan saya kini sampai di sebuah rumah mungil di pinggir jalan. Sepintas rumah ini tidak jauh beda dengan rumah lainnya. Namun dari sinilah  lahir sebuah negeri yang bernama Indonesia….

Berawal dari informasi di televisi tentang sebuah koleksi benda sangat bersejarah bagi Indonesia ,  akhirnya membawa saya sampai di Jakarta. Siang itu (23/2) cuaca terlihat begitu cerah. Birunya langit berpadu dengan awan putih, dengan panas matahari yang sedikit menyengat.  Entah kenapa waktu itu perjalanan saya terasa begitu mudahnya. Terlebih saat menuju alamat Jl. Kramat Raya tempat Museum Sumpah Pemuda berada. Berbeda dengan hari sebelumnya, di mana saya kesasar di rute busway selama 3 jam lebih tanpa hasil. Bagi Anda yang ingin datang ke sini menggunakan bus Transjakarta, Anda dapat turun di halte Pal Putih arah menuju PGC jika Anda berangkat dari halte busway Harmoni.

[caption id="attachment_298515" align="aligncenter" width="655" caption="Sebuah rumah kos milik Si Kong Liang yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda, tempat dimana Indonesia lahir."][/caption]

Rumah kelahiran tanah air

Sebuah bangunan bergaya tempo dulu terlihat sepi. Langkah kaki ini disambut ramah oleh beberapa tokoh penting masa itu. Cukup dengan Rp 2000 saja saya sudah bisa berkeliling masuk ke dalam ruangan.

….Dulu ini adalah rumah kos bagi para pemuda  pemudi yang melanjutkan kuliah di Jakarta. Di sini dulu terdapat kurang lebih 20 pelajar dari berbagai daerah, ujar Mas Bakti.

Barisan foto masa perjuangan menghiasi dinding sebelah kiri dan kanan ruangan. Terdapat sepasang tokoh penting sumpah pemuda masa itu juga hadir di sini, W.R. Soepratman dan Mr. Sartono. Ketika melihat patung sosok Bung Soepratman muncul rasa kagum dalam benak saya. Seorang pahlawan, yang saya yakin banyak anak muda saat ini jasanya.

Setelah puas memandangi ruang tamu, Mas Bakti menganjak berjalan masuk ke dalam ruang berikut. Berjalan menuju kamar sebelah kiri terdapat sebuah kaca besar terdapat beberapa panji organisasi pemuda masa perjuangan. Sebuah panji Perhimpunan Indonesia nampak begitu gagahnya. Bendera merah putih dengan kepala banteng  menanduk, menarik perhatian saya. Pada masa dulu banteng dipilih sebagai simbol perjuangan. Dia adalah hewan dengan tenaga yang tak pernah habis, sama seperti tenaga bangsa ini yang tidak pernah habis menuntut haknya untuk merdeka.

Sambil mencermati bendera berbagai organisasi pemuda, sesekali mata ini mengalihkan pandangan ke foto para tokoh organisasi pemuda masa itu. Sepatu fantovel hitam berpadu manis dengan jas, kemudian pose duduk yang menyilangkan kaki menjadikannya ciri khas. Sebuah foto dengan gaya klasik dan flamboyan.

[caption id="attachment_298518" align="aligncenter" width="590" caption="Replika panji panji organisasi pemuda tempo dulu "]

13939305901678111203
13939305901678111203
[/caption]

Setelah melewati tiga ruang pembuka, tibalah langkah kaki saya di ruangan utama. Ruangan yang menjadi saksi lahirnya negeri ini. Di aula inilah dulu kongres pemuda kedua diadakan. Sewaktu kongres tidak semua pemuda dari berbagai daerah di Indonesia hadir. Melainkan hanyalah beberapa pemuda dari berbagai daerah yang saat itu sedang menimba ilmu di Jakarta menjadi perwakilannya. Waktu itu  terdapat sebelas orang tokoh pemuda duduk berjejer menghadap kurang lebih 60-an para pemuda. Mereka mengadakan rapat dan akhirnya melahirkan kesepakatan untuk bersatu melawan penjajah atau lebih dikenalnya dengan Sumpah Pemuda.

Di ruangan ini jugalah, seorang jurnalis bernama Wage Rudolf Soepratman mengarang lagu Indonesia Raya, dan berlatih memainkannya dengan biola. Saat menjelang kongres pemuda kedua 28 oktober 1928, W.R Soepratman semakin rajin berlatih di rumah kos para pemuda. Ia biasa berlatih di sudut kanan ruangan utama. Sambil menghadap ke kaca dan bersandar di kursi ia memainkan dawai biolanya. Menurut cerita, selama beberapa kali berlatih di rumah kos milik si Kong Liang seorang warga pribumi keturunan Tionghoa, ada banyak pemuda yang tidak tahu jika yang berlatih biola adalah W.R Soepratman. Semasa perjuangan memang banyak lagu kebangsaan yang tercipta. Namun lagu Indonesia Raya-lah yang pada akhirnya dipilih para pejuang masa dulu menjadi pembuka di setiap kongres. Dan akhirnya oleh tokoh pendiri bangsa ini Lagu Indonesia Raya ciptaan W.R Soepratman dijadikan lagu kebangsaan negara Indonesia.

[caption id="attachment_298519" align="aligncenter" width="590" caption="Ruang utama di mana kongres sumpah pemuda kedua diadakan "]

13939307481107424633
13939307481107424633
[/caption]

[caption id="attachment_298521" align="aligncenter" width="614" caption="Bunyi isi sumpah pemuda yang naskah aslinya telah diamankan oleh Belanda pada masa itu"]

13939308231398037437
13939308231398037437
[/caption]

Di tempat ini pula pertama kali lagu Indonesia raya berkumandang. Lahirnya lagu Indonesia raya tidak serta merta ketika ada sumpah pemuda. Namun jauh sebelum adanya sumpah pemuda, sebuah surat kabar di daerah Solo telah membikin sayembara. Yang isinya adalah tantangan bagi para putra-putri bangsa untuk bisa menciptakan lagu kebangsaan

Sayang, sebelum Indonesia merdeka Soepratman telah lebih dulu meninggal pada tahun 1938. Tekanan dan hukuman dari Belanda nampaknya menjadi beban pikiran bagi Sopratman muda. Ia akhirnya meninggal karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Setelah kongres kedua sumpah pemuda 1928, banyak pemuda yang oleh Belanda dianggap sebagai sosok yang membahayakan dan harus mengalami hukuman penjara, termasuk Soepratman.

Di rumah inilah terdapat sebuah benda bersejarah yang begitu ngototnya saya ingin lihat. Ya, setelah Anda berada di ruang utama berjalanlah ke kanan menuju ruang satunya. Di situ terdapat ruangan penyimpanan biola hidup sang pencipta lagu Indonesia Raya. Biola itulah yang menyanyikan nada-nada lagu Indonesia Raya untuk pertama kali. Selain biola terdapat sebuah piringan hitam di mana lagu tersebut direkam. Lagi-lagi sayang, hingga saat ini piringan hitam tersebut tidak bisa diputar. Bukan karena rusak melainkan tidak ada alatnya untuk membaca piringan hitam tersebut.

…Hingga sekarang kita belum bisa mendengarkan lagu asli dari piringan hitam tersebut karena tidak ada alatnya. Bahkan kita sudah cari ke pabrik aslinya yang ada di Perancis namun mereka juga tidak bisa lantaran pabriknya sudah ditutup, kata Mas Bakti….

Sayang, seandainya lagu dalam piringan tersebut bisa diperdengarkan kembali pasti akan menambah greget museum ini. Karena pasti ada perbedaan antara lagu pertama yang diciptakan dengan lagu sekarang yang menjadi lagu kebangsaan.

[caption id="attachment_298522" align="aligncenter" width="655" caption="Sedikit cerita tentang sang pencipta lagu Indonesia Raya"]

13939309621505333099
13939309621505333099
[/caption]

Banyak cerita di Jalan Kramat Raya no 106

Tidak hanya sebagai tempat lahirnya Sumpah Pemuda, namun banyak kisah menarik yang lahir dari rumah ini. Dari kongres inilah banyak tokoh hebat mendapatkan jodohnya. Mr. Soenaryo yang mendapatkan pasangan hidupnya dari rumah ini. Mr. Soenaryo adalah seorang tokoh yang pada masa KTT Asia Afrika di Bandung menjadi perwakilan Indonesia dalam gerakan Non Blok. Dan satu lagi cerita, salah satu keturunan dari Mr. Soenaryo saat ini masih hidup ada yang menjadi artis di Ibu Kota.

Semasa perjuangan tidak hanya gejolak politik melanda negeri ini. Gejolak ekonomi pun juga berimbas bagi masyarakat. Nah, saat terjadi krisis ekonomi banyak pelajar yang mengekos di rumah Kong Liang  tidak mampu membayar. Oleh si pemilik rumah akhirnya para pemuda ini diperkarakan ke persidangan. Kurang lebih sekitar 11 orang pelajar yang harus menghadapi persidangan. Namun saat persidangan, oleh Mr. Sartono para pelajar tidak disuruh berangkat dan akhirnya mereka pun terlepas dari tuntutan.

Tidak hanya cerita lucu itu saja. Di Kramat Raya No. 106 ini banyak sekali benda benda sejarah yang hilang. Seperti bendera–bendera organisasi,  yang awalnya tidak terawat kemudian hilang tanpa jejak. Kemudian banyak sekali ruangan yang sudah mengalami renovasi. Dulu di sini banyak sekali kamar kos dan juga sebuah kamar tempat menyimpan peralatan kongres. Lagi-lagi sayang banyak ruangan yang diubah dan kini hanya tinggal beberapa kamar saja yang masih utuh.

Puas sudah setelah satu jam lebih saya berkeliling ditemani Mas Bakti. Cita-cita saya melihat langsung biola milik sang Maestro W.R Soepratman sudah tercapai. Bahkan di museum yang terkecil di Jakarta ini saya mendapat hal–hal yang luar biasa. Banyak kisah sejarah negeri ini yang terkandung di rumah kecil ini. Benar apa yang dikatakan mas Bakti, Museum Sumpah Pemuda adalah museum terkecil di Jakarta namun museum ini menjadi terpenting karena di sinilah Indonesia kecil telah lahir. Perjalanan mengunjungi museum berikutnya pun sudah siap menanti saya.

….Aku hanya orang biasa yang bekerja untuk bangsa Indonesia dengan cara Indonesia ( Ki Hajar Dewantara ).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun