Mohon tunggu...
Esa Jati Manunggal Sukma Adhi
Esa Jati Manunggal Sukma Adhi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S-1 Sosiologi UNS

Mengisi waktu luang dengan menulis. Suka mengamati isu sosbud, gender, dan ilmu sosial lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mencoba Memahami Klitih, Kekerasan Geng Acak di Yogyakarta

18 Februari 2022   20:40 Diperbarui: 18 Februari 2022   20:45 1006
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta dapat menjadi kota yang nyaman, tempat yang aman baik bagi pengunjung maupun penduduknya. Namun seperti kota-kota besar lainnya, pada malam hari, jalanannya bisa menjadi tempat kekerasan yang tak terduga. 

Kejadian ini sering disebut sebagai klitih, istilah yang digunakan untuk menggambarkan aksi kekerasan jalanan di Yogyakarta yang terkesan acak-acakan, hampir selalu dilakukan pada malam hari. Kenakalan remaja ini dengan melakukan tindakan tawuran, lempar batu, pembacokan bahkan membunuh korbannya. 

Para pelaku klithih adalah para remaja yang sebagian besar adalah pelajar.  Pelaku klitih yang biasanya masih berusia SMA melakukan kekerasan ini tanpa motif yang jelas. Korban jarang memiliki sesuatu yang dicuri dari mereka; tampaknya hanya untuk menimbulkan luka serius. Keacakan itu menakutkan bagi para korban.

Istilah klitih berasal dari bahasa Jawa yang sebelumnya memiliki arti tidak berbahaya, yaitu berkeliaran di malam hari untuk mencari udara segar. Istilah tersebut kemudian bergeser untuk menunjukkan kekerasan jalanan yang dilakukan oleh siswa sekolah menengah untuk membuktikan diri, biasanya kepada geng yang ingin mereka ikuti. 

Hampir setiap SMA di Yogyakarta memiliki geng, seperti Organisasi Siswa Taat Beribadah (OESTAD) dari SMA Negeri 1 Muhamadiyah, HAMMER dari SMA Pangudi Luhur, Persatuan Pemuda Gama (Regazt) dari SMA Tiga Maret dan masih banyak lagi. Geng SMA juga ada di sejumlah kota lain di Indonesia, termasuk Jakarta.

Geng-geng Yogyakarta secara rutin mempertahankan gengsi melalui tawuran. Awalnya, klitih berfungsi sebagai cara mereka untuk saling menantang. Tapi situasinya dulu dan sekarang berbeda. Dulu, korbannya hanya siswa sekolah menengah saingan. Senjata itu juga tidak digunakan untuk melukai lawan secara serius. 

Sekarang, korbannya acak-acakan, dan [klitih] bahkan bisa digunakan untuk membunuh orang. Dari 2019 hingga 2020, tercatat 40 kasus klitih di Yogyakarta. Pada bulan Januari tahun ini, lima remaja ditangkap oleh Polres Yogyakarta karena diduga terlibat dalam kekerasan tersebut. Tagar #DIYDaruratKlitih sering menjadi tren di Twitter.

Bagi masyarakat kejahatan merupakan sesuatu yang meresahkan dan perlu ditanggulangi. Namun, bagi sebuah geng, tujuan melakukan kejahatan adalah untuk mendapatkan kebanggaan dan kepuasan. Semakin banyak kejahatan yang dilakukan, seseorang akan semakin bangga dan puas. Ada apresiasi khusus dari anggota geng dan meningkatkan posisi mereka dalam kelompok. Akibatnya, kelompok lain akan merasa takut dengan kelompok yang memiliki gengsi tinggi.

Strategi klitih dalam melakukan aksinya untuk menghindari penangkapan polisi adalah bertindak pada malam hari, mencari tempat yang tenang, menggunakan aksesoris, melepas plat nomor pada sepeda motor untuk menghindari penangkapan cctv, menghafal medan dan membangun solidaritas.

Orang umumnya mengira pelaku klitih hanyalah remaja yang memiliki terlalu banyak waktu luang, tapi penulis yakin ada alasan yang lebih kompleks di baliknya. Untuk mengupas klitih secara tuntas, tim Jakarta Post melakukan penelitian mulai Agustus 2020. Mereka bertemu dengan 10 mantan pelaku klitih. 

Mereka mengatakan bahwa pada tingkat tertentu, para pelaku klitih muda menjadi korban kekerasan struktural yang kompleks. Studi mereka tentang kekerasan jalanan kota membawa mereka pada dua kesimpulan tentang alasan di balik klitih. Yang pertama adalah hilangnya ruang bagi anak muda untuk berekspresi, seperti taman, yang sebagian besar diakibatkan oleh pembangunan kota yang tidak ramah terhadap publik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun