Tren adopsi boneka arwah tentu menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang beranggapan bahwa bermain spirit doll sebenarnya tidak berbeda dengan anak kecil yang bermain dengan berbagai bentuk boneka. Selama Anda bisa membedakan antara kenyataan dan halusinasi, itu tidak masalah.
Sementara itu, sejumlah pemuka agama mengatakan bahwa adopsi spirit doll tidak bisa dibenarkan oleh agama khususnya jika menyangkut kepercayaan terkait spirit doll yang bisa membawa keberuntungan. Ini tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang agama.
Perspektif atau analisis Sosiologi tentang perilaku memperlakukan boneka
Umumnya masyarakat menilai perilaku memperlakukan boneka itu tindakan halu, kurang kerjaan, dan kurang waras. Namun, apabila ditinjau secara sosiologis dengan perspektif interaksionisme simbolis, apa yang dilakukan pemiliknya sendiri merupakan sebuah perilaku yang wajar, unik, dan menarik karena melakukannya dalam keadaan sadar dan tidak lepas dari faktor sosialisasi, penafsiran simbol dan makna serta keputusan merespon.
1. Faktor sosialisasi kemungkinan berupa faktor pengalaman sang pemilik dengan anak-anak yang penuh dengan suka dan duka di mana dia diajarkan oleh orang-orang terdekatnya untuk peduli dan menyayangi anak-anak dan membersamai mereka dalam menghadapi realitas kehidupan.
Hal itu dikonstruksi dan direfleksikan dalam kehidupannya, karena sejatinya individu masyarakat manusia memiliki naluri merespon dan memproses apa-apa yang diterimanya.
2. Pemaknaan simbol boneka dan maknanya tidak sekadar ditafsirkan secara individual, namun yang lebih penting ialah menafsirkan makna dan simbol tersebut dalam proses interaksi sosial.Â
Dalam hal ini, pemilik boneka tersebut memasuki proses belajar sosial dengan memperlakukan  simbol boneka bayi seperti anak sungguhan, dalam arti dia menunjukkan dan mengkomunikasikan kepada orang-orang terdekatnya dan kepada publik bahwa dia mengaktualisasikan dan memenuhi kebutuhan afeksi dengan cara memainkan peran seolah-olah sebagai orang tua yang  penyayang anak.
Proses mengkomunikasikan apa yang dilakukannya untuk menciptakan interaksi timbal alik dimana dia menanggapi respon masyarakat yang cenderung negatif terhadap dirinya, dimana dia memperlakukan dua boneka bayi seperti anak sendiri juga karena kemampuannya dalam memodifikasi tindakan berdasarkan proses berpikir yang tidak lepas dari faktor sosialisasi di masa lalu, mempengaruhinya untuk menetapkan keputusan memperlakukan boneka bayi layaknya bayi sungguhan.Â
Hal itu menandakan ekspresi kebebasan untuk leluasa memperlakukan boneka bayi secara afeksi dibandingkan harus memperlakukan bayi sungguhan yang proses dan tindakannya lebih repot dan tidak mudah.
Sekali lagi karena faktor interaksionisme simbolis berupa sosialisasi, penafsiran terhadap simbol dalam proses interaksi sosial, serta keputusan memodifikasi tindakan karena pengaruh peran dan identitas sosial yang dimiliki.Â