Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beda-beda Tipis

30 Desember 2018   22:51 Diperbarui: 30 Desember 2018   22:58 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari kompas.com

Sembari menundukkan kepala, wajahnya tersenyum tipis disaat koreksi yang menyentil. Di hulu jalan setapak rumah sehat itu, mereka bercakap. Sesekali pesan itu terlewat seiring lalu lalang kaki handai taulan yang ingin menjenguk sanak saudaranya. Muara dari peran keduanya adalah sama. Hanya saja beda cara. Yang satu menjual pisang kepok rebus setengah matang. Yang satunya menjadi pengemis setengah menantang. Katakan beda beda tipis. Berikut sekelumit ceritanya.

Kali kesekian, entah keberapa, setiap ada kerumunan, selalu ada peluang untuk mereka. Inilah cara pandang sederhana bagi para penjual pisang rebus dan pengemis. Ada yang bilang karakternya mudah ditata. Ada juga yang komentar, cukup sulit di tata. Untuk cerita kali ini, anggap saja kita setuju mereka mudah ditata, asalkan syarat utamanya ada. Bagi yang tidak sepakat, anggap saja ini adalah moment untuk mewujudkan bahwa kita adalah mahluk sosial sepanjang masa. Semoga saja para satpam dan satpolpp tetap mengakui, bahwa mereka berdua adalah bagian dari keluarga kita.

Pisang kepok rebus setengah matang sore itu dipaksa rapi tatanannya. Montok dan berpasangan, ditambah uap hangat membuat terkesima bagi siapa saja yang meliriknya. Di atas tambir kecil sedikit melengkung, pisang itu dihadapkan. Sesekali penjualnya membolak balik punggung kepok, higga dirasa ideal untuk tampilan visual yang mempesona. Tepat disebelahnya, tas sulam berbahan plastik, stok pisang rebus itu tersedia.

Jika kita pernah mencicipinya, berasa kenyil kenyil, padat agak kenyal namun halus, dan nikmat sedikit manis hingga dipenghujung lidah kita. Inilah pemantik daya rasa yang mengikat. Seperti halnya iklan, soal rasa tak pernah bohong.

"Pintenan bu?"

Ibu ibu paruhbaya berkalung slendang batik sore menjelang magrib itu membelinya. Tanpa banyak tawar harga, lima pasang pisang kenyil kenyil itu kemudian di masukkan di tas plastik kecil transparan. Tampak beberapa lembar uang berlatar sogan pahlawan dari dombet berlogo komodo itu dikeluarkan. Begitu dengan pembeli lainnya. Sesekali ada juga yang menawar, namun karena posisi yang memaksa untuk segera membayar, karena tepat lima kaki pintu masuk pedagang  pisang itu berjualan. Sesekali pengemis yang tepat di depannya melirik. Entah apa yang dipikirkannya.

Pisang kepok sore itu berkali ulang dipromosikan. Mungkin saja pedagang itu paham betul tentang apa makna membawa oleh oleh saat menjenguk keluarga dan handai taulan. Berulang pula pengemis tua itu mengangkat telapak tangannya, tepat di depan para pejalan kaki yang ada.

Semakin larut, area parkir itu penuh dengan deretan kendaraan. Sebelah kiri jauh adalah deretan sepeda motor. Sedangkan sebelah kanan agak mendekat pintu masuk, adalah deretan mobil pribadi plat hitam, dan tidak jauh di ujung depan sebelah kirinya, berjajar bus bus kecil dan mobil bak terbuka. Tampaknya area parkir juga telah tertata sedemikian rupa sesuai dengan kelas sosialnya, seperti halnya bangsal bangsal di rumah sehat pada umumnya. Persis apa yang dirasakan pemangku jasa parkir, semakin banyak pengendara di area parkir, maka semakin banyak peluang untuk mereka berdua.

Jalan setapak berlebar dua meteran berpaving padat itu telah dilengkapi lampu penerang. Dari area parkir, dari kejauhan, keduanya terlihat dengan jelas. Petang itu, tergopoh gopoh. Tiga orang penjenguk tampak tergesa dengan harap seakan mendahului lomba, jalannya setengah berlari. Satu laki laki, dua perempuan. Tikar panjang bergulung itu seakan menjadi pembuka jalan yang padat. 

Tampak beberapa penjenguk mendahulukan mereka bertiga. Dua perempuan itu di depan dengan yang satunya membawa bantal dan tentengan tas berisi agak tidak beraturan. Tiba tiba tikar bergulung itu berbalik arah setelah melewati pengemis. Seketika itu pula, penjenguk jalan lainnya kaget dan segera menghentikan langkahnya.

"Doakan ya pak anak kulo,"

Seraya berucap, perempuan berkebaya bordir sekar jagad itu memberikan lembaran terang uang yang agak menggumpal. Entah berapa jumlah. Sambil berucap doa, pengemis itu berucap kasih yang disaksikan penjenguk disekitarnya. Saat itu pula, pedagang pisang kepok yang tepat di depannya melirik. Entah apa yang dipikirkannya.

Tepat dibelakangnya, tindakan yang sama juga dilakukan. Kali ini tidak perempuan paruh baya yang memberikan uang pengemis, tetapi anak kecil, tepatnya anak perempuan kecil. Didampingi dengan orang tuanya, anak itu dipandu untuk berbagi, dengan berucap yang tidak jauh sama. Pengemis laki-laki perpeci lubang itu sesegera mendoakan kasih berulang entah kesekian kali berapa.

Malam itu, tidak hanya mereka berdua yang mendapatkan kabar baik. Barisan pedagang dengan bangunan semi permanen itu ramai pembeli. Aneka jajanan dan buah buahan terlihat laris, disepanjang tepi area parkir itu.  

Sembari menunggu rombongan penjenguk, para sopir itu sedang mensruput kopinya. Obrolan hangat tampak renyah terdengar disana. Tidak hanya para sopir, para penjenguk itu juga menyempatkan menikmati gorengan dan teh hangat, dan ada pula yang menikmati bakso pentol dengan harga sesuai selera. Dan, kerupuk pasir berasa petis ikan tengiri pun kerap menjadi bawaan pulang mereka para penjenguk yang ada.

Perlahan dan perlahan keramaian di jalan setapak itu mulai meredup. Area parkir semakin lengang. Pedagang pisang kepok dan pengemis itu tampak melangkahkan kakinya. Yang satu menuju ke area parkir, yang satunya menuju ke penghujung jalan raya.

Rumah sehat, pedagang pisang kepok, pengemis, dan para penjenguk, tampak saling berfungsi dengan masing masing perannya. Mereka semua saling membutuhkan satu sama yang lainnya. Peran masing masing saling bertemu dalam satu adegan. Di sebuah jalan berujung itu, jika kita mau, banyak yang kita dapatkan. Semoga saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun