Tulisan ini fokus pada literasi sosial dalam hal mengidentifikasi ketulusan dan atau kejahatan para politisi dan pejabat ketika bertoleransi terhadap keberagaman beragama. Tulisan ini bertujuan khusus agar para politisi dan pejabat kita cenderung memfungsikan kuasanya untuk menjadikan anggota masyarakat terhormat dan teristimewa. Selamat membaca.
Benarkah tokoh-tokoh politik kita yang toleran dalam hal keragaman beragama adalah tulus? Benarkan para pejabat kita yang toleran dalam hal keragaman beragama juga tulus? Pertanyaan ini memang perlu dijawab dengan penelitian mendalam. Namun terkadang kita kebingungan dalam membaca hasil penelitian. Karena display data penelitian tidak lepas dari kepentingan.
Dalam aras politik, setiap gagasan, sikap dan tindakan setiap anggota masyarakat cenderung lekat dengan misi meraih kuasa sosial. Kekuasaan menjadi angan-angan yang paling puncak bagi mereka yang berperan dalam politik. Misi klasiknya adalah berkuasa untuk meraih kehormatan dan hak-hak istimewa. Prestise dan previlage yang terbatas inilah menjadi rebutan setiap anggota masyarakat.
Dari cara pandang di atas, (dimana setiap gagasan, sikap, dan tindakan yang bermuara meraih kekuasaan), maka jawabnya adalah tidak tulus. Toleransi tokoh-tokoh politik kita terhadap keberagaman beragama adalah semu.Â
Begitu pula, sikap toleransi para pejabat kita terhadap keberagaman beragamapun semu. Semu, ketika sikap toleransi para politisi difungsikan untuk mempertahankan kekuasaan. Semu, ketika sikap toleransi para pejabat difungsikan untuk melanggengkan kekuasaan.
Lantas apakah ada toleransi dalam hal keragaman beragama para politisi yang tulus? Apakah juga ada toleransi dalam hal keragaman beragama para pejabat yang tulus? Selama para politisi dan pejabat tidak menggunakan fasilitas sosial dalam bentuk dihormati dan teristimewakan, maka semua toleransi dalam hal keragaman beragama para politisi dan barisan pejabat itu tulus.
Apa maksud dari tidak menggunakan fasilitas sosial dalam bentuk dihormati dan teristimewakan? Maksud tidak menggunakan fasilitas sosial dalam bentuk dihormati dan teristimewakan adalah ketika para politisi dan pejabat tersebut berani pensiun. Politisi pensiun adalah politisi yang tidak mengambil peranan kuasa.Â
Pejabat pensiun adalah pejabat yang tidak mengambil peranan kuasa pula. Sebaliknya, ketika politisi dan pejabat tetap mengambil peranan berkuasa ketika bertoleransi terhadap keberagaman beragama, jelas yang bersangkutan tetap menggunakan fasilitas sosial yang ada.
Berarti tidak ada politisi yang tulus dalam bertoleransi terhadap keberagaman beragama? Berarti tidak ada pejabat yang tulus dalam bertoleransi terhadap keberagaman beragama? Jawabnya adalah tidak ada.
Karena tidak ada yang tulus, berarti semua politisi dan pejabat itu jahat? Apakah politisi yang bertoleransi dalam hal keberagaman beragama adalah jahat? Apakah pejabat yang bertoleransi dalam keberagaman beragama juga jahat?
Gagasan, sikap, dan perilaku toleran dalam keberagaman beragama adalah tulus. Yang menjadikan jahat ketika gagasan, sikap, dan perilaku toleran dalam keragaman beragama mereka fungsikan untuk menguasai anggota masyarakat.
Mengapa menguasai anggota masyarakat adalah jahat? Karena menguasai anggota masyarakat, sama halnya para politisi dan pejabat tersebut menjajah kehormatan dan keistimewaan anggota masyarakat.
Berdasarkan ulasan di atas, maka politisi dan pejabat yang terhormat dan memiliki hak-hak istimewa adalah ketika yang bersangkutan memfungsikan kuasanya untuk menjadikan anggota masyarakat terhormat dan teristimewa.
Membaca ketulusan politisi dan pejabat yang toleran dalam hal keragaman beragama, tidaklah mudah. Terlebih dalam sudut pandang politik. Sebuah pejalanan runcing dalam menakar toleransi, ketulusan, dan kejahatan para politisi dan pejabat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H