Apapun nama kurikulum kita, yang utama adalah yang memuat nilai-nilai kedamaian. Negara harus menjamin warganya dalam memiliki karakter juru damai. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, pengajar, metode mengajar, hingga instrumen evaluasi nya harus merajut perdamaian. Bukan berarti tidak penting memahami mengapa harus memihak pada kurikulum perdamaian, namun bangsa ini sudah lelah dengan hidup dalam keadaan terancam.
Memang dalam tataran konsep, paling jagolah bangsa kita. Mendesain kurikulum ala nusantara, ala asing, hingga beraroma gado-gado, sungguh mudah. Jenis apapun kurikulum kita, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,evaluasi, dan tindak lanjut, di atas kertas kita selalu melaporkan berhasil. Namun semua itu tiada guna karena laporan itu tidak lain dan tiada bukan hanya hasil tipu-tipu alias asal bapak senang. Seakan tiap detik rasa damai ini terancam. Lihatlah, semua orang ingin menumpuk harta sebanyak-banyaknya karena terancam anak-anaknya tidak terjamin pendidikannya. Semua orang saling mencari kesempatan untuk saling memakan. Hanya tinggal menunggu ruang dan waktu yang pantas, pasti akan bergantian memakan.
Mereka yang ahli tambang, ujung-ujungnya membuat kubangan bencana. Mereka yang ahli obat, ujung-ujungnya membuat kebal penyakit. Mereka yang ahli air, ujung-ujungnya melangkakan air. Mereka yang ahli udara, ujung-ujungnya membuat bising langit. Mereka yang ahli tanah, ujung-ujungnya mempersempit ruang. Apakah yang demikian yang diharapkan kurikulum kita? Jangan jawab tidak, karena semua telah terbukti demikian.
Walalupun demikian, kita selaku warga negara Indonesia harus percaya diri bahwa ruh setiap kurikulum adalah harus memanen juru damai. Kurikulum harus digunakan untuk menyiapkan akan bagaimana suatu masa yang akan datang, tergambarkan. Terlebih Indonesia yang alam dan sosialnya cukup rentan dengan peperangan.
Lantas bagaimana kurikulum kita posisikan? Kurikulum sudah saatnya kita posisikan sebagai pintu masuk dalam mengidentifikasi tingkat rawan peperangan. Mengidentifikasi rawan perang sama halnya melestarikan kedamaian. Untuk itu, hal penting yang didudukkan dalam kurikulum adalah bagaimana kurikulum mampu mengakses mitigasi kebencanaan guna bahan racikan menuai kedamaian.
Lantas bagaimana skenarionya? Mari kita duduk bersama. Duduk bersama dalam mengintip mata pelajaran yang kita berikan, sumber belajar yang terberikan, dan metode mengajar yang kita hantarkan.
Pertama adalah pentingnya menimbang ulang mata pelajaran. Sampai kapan mata pelajaran kita memihak nilai-nilai perdamaian? Lihatlah rumpun ilmu sosial, eksak, bahasa, seni, agama, hingga keterampilan dan muatan lokal bahkan mata ekstrakulikuler. Untuk mengukur apakah mata pelajaran kita telah memihak perdamaian adalah sebatas mana materi yang diajarkan itu membuka akses dalam mengidentifikasi rawan perang. Apakah mata pelajaran sosial kita telah buka-bukaan mengantarkan anak didik kita dalam mengetahui potensi konflik sosial? Jawabnya adalah tidak. Materi sosial kita cenderung berjubel materi impor berbuih hafalan siap tertinggal zaman.
Apakah materi pelajaran eksak kita telah buka-bukaan akan daya kritis sumber daya alam? Jawabnya pu tidak. Mata pelajaran eksak kita hanya penuh dengan rumus-rumus algoritma saja. Mereka yang dianggap tuntas belajarnya, sungguh sebenarnya tidak berdaya dalam mengaplikasikan ilmunya untuk mendamaikan kasak-kusuk rebutan sumber daya alam hingga angkasa yang ramai diperebutkan.
Apakah juga mata pelajaran bahasa kita sudah duduk pada aras damai? Semakin jauh api dari panggang. Mata pelajaran bahasa kita semakin melesat jauh dari identitas kebangsaan. Guru dan para siswa semakin langka mencintai bahasa ibu. Mereka tidak lagi senang berbalas pantun apalagi bergurindam. Pilihan diksi dan rangkaian kalimatnya semakin nyinyir dan selalu semerbak aroma anyir. Bahasa kita tidak lagi mampu menembus ruang terbuka dalam mengidentifikasi rawan urat nada. Bahkan bahasa kita semakin tragis nasibnya, telah terjerembab dalam alunan dusta namun indah di hati para munafik di negeri tercinta. Bahasa kita tidak lagi menjadi juru damai. Tanda dan penanda dalam bahasa kita cenderung memasuki ruang perang, laksana api dalam sekam.
Hal yang patut kita tangisi pula adalah mata pelajaran seni kita. Seni kita tidak lagi pasti mencukupi kebutuhan keindahan. Buktinya adalah liberalisasi tubuh dan eksploitasi pornoaksi. Materi mata pelajaran seni kita tidak lagi mengakomodir aliran perdamaian. Mata pelajaran seni kita tidak mampu mengidentifikasi sebab hilangnya nada-nada damai dari penjuru kelompok etnis dan budaya. Mata pelajaran seni kita juga semakin melesat meninggalkan akar seni tradisi yang telah dipandang tertinggal. Ruang kelas kita telah dijejali pentas alat elektronik yang lewah energi. Taman pendidikan kita semakin berjubel alunan musik penuh dengan kemalasan, hura-hura, dan transaksi nada cie-cie. Pun dengan mereka yang sedang asyik memangku kuasa hingga yang terkuasakan, janganlah bermain nada perang dalam meniti masa depan. Sungguh menyebalkan dunia seni kita ini!!!
Apakah mata pelajaran agama juga bernasib demikian? Apakah mata pelajaran agama telah menuntun anak didik kita untuk mengidentifikasi menjadi juru ketenangan? Ataukah masih berkutat pada labelisasi, indoktrinasi, hingga arogansi kiblatisasi simbol suci? Lagi-lagi, jangan jawab tidak, karena kenyataannya demikian. Mata pelajaran kita tidak lagi menjadi ruh iman. Pemaksaaan untuk beribadah menjadi hal utama. Entah kapan ketaatan beragama menjadi sebuah rasa malu terhadap diri, selaku umat ber-agama. Dan tragisnya, mata pelajaran agama telah menjadi pembenar saat membenci beda keyakinan. Bahkan semangat keimanan dijadikan alat meraih kuasa untuk menindas dan mempermalukan mahluk ciptaan Tuhan. Mata pelajaran macam apa ini??? Bukankah mata pelajaran agama adalah seni menata ketenangan? Sungguh yang kita rindukan adalah mata pelajaran agama yang penuh dengan kasih dan sayang.
Apapun jenis mata pelajaran dalam kurikulum kita, baik mulai mata pelajaran sosial, eksak, agama, seni, bahasa hingga keterampilan dan muatan lokal bahkan mata ekstrakulikuler lainnya, harus mengarah pada kesadaran dalam mengidentifikasi daya perang untuk meraih kedamaian. Jika dalam mendudukkan mata pelajaran saja tidak pecus, mana mungkin juru damai akan terlahirkan?
Kedua adalah sumber belajar. Adalah penting untuk diketahui ketika menyoal apakah sumber belajar kita telah berlimpah nilai-nilai perdamaian. Dalam meraih perdamaian, sumber belajar kita tidak boleh stagnan. Sumber belajar untuk para siswa harus selalu bergerak. Sumber belajar adalah kita sendiri, udara, air, tanah, cuaca, rasa, hingga keinginan baik yang ingin kita miliki. Apapun yang di sekitar kita, siapapun jauh dan dekatnya, semuanya dapat dijadikan sumber belajar. Dengan inilah, sumber belajar akan sangat peka terhadap arah dikemudian nanti.
Kapan “apa yang ada di dekat kita” menjadi sumber belajar? Kapankah “siapa yang ada” juga menjadi sumber belajar. Sumber belajar menuju kehidupan yang damai adalah mempelajari nilai-nilai hidup damai kita sendiri. Walaupun kita telah belajar nilai-nilai kedamaian dari luar, belum tentu pengalaman belajar kita dapat kita terapkan. Hal yang paling mendasar adalah memuliakan nilai-nilai perdamaian yang ada pada masyarakat Indonesia untuk dipelajari para siswa. Dengan menggunakan sumber belajar tersebut, setidaknya anak didik kita mengetahui keragaman nilai-nilai damai.
Kalau kita mau jujur, jika kita dicubit sakit, harusnya kita tidak mencubit. Kalau kita dihianati sungguh sakit, pastilah kita tidak akan berhianat. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, kita saling mencubit dan saling berhianat hanya atas dasar ingin hidup damai. Inilah bukti bahwa kita selama ini tidak menggunakan sumber belajar akan nilai-nilai perdamaian yang ada disekitar kita. Kita cenderung asyik dengan sumber kedamaian yang semu. Dan ironisnya, kita merasa benar-benar bangga akan semua itu.
Sudah saat kita serius menggunakan sumber belajar ragam nilai-nilai perdamaian dari masyarakat kita sendiri. Sudah saatnya kita gunakan sumber belajar yang berlimbah nilai-nilai perdamaian akan hukum alam. Sudah saatnya kita cakap dalam menggunakan bahasa kita dalam menjalin sosialisasi, internalisasi, dan enkulturasi kasih sayang. Saatnya pula kita menggunakan ruh keimanan kita untuk sumber belajar perdamaian. Dan juga, sudah saatnya kita percaya diri dalam sumber belajar seni kita sendiri. Kesenian milik kitalah yang memahami alur apakah kita ini mahluk pecinta seni, yaitu jujur, suci, dan mawas diri, atau sebaliknya.
Lanjut ketiga adalah metode mengajar perdamaian untuk calon juru damai. Bagaimana metode mengajar untuk calon juru damai? Apakah selama ini metode mengajar kita telah mengantarkan anak didik kita menjadi juru damai yang handal? Atau sebaliknya, bahwa metode mengajar kita cenderung membangkit ketidakadilan hingga berujung cinta akan peperangan. Jawabnya memang demikian.
Kita punya Ki Hajar Dewantara, kita punya Taman Siswa, kita punya alur macapat yang penuh makna, kita punya Pondok Pesantren, kita punya Vihara, kita punya Pura, kita punya Gereja, kita punya Pohon, kita puya Gunung, kita punya laut, dan kita punya alam yang di atasnya terbentang garis khatulistiwa, tapi sayangnya kita tidak piawai dalam menurunkan DNA metode pembelajaran itu di dalam kelas yang eropa sentris itu. Sungguh sangat muak melihat ini semua!!!
Liihat saja metode pembelajaran yang dihantarkan pada anak-anak didik kita. Metode pembelajaran kita semakin sepi dengan kunjungan akan kawah nilai-nilai perdamaian. Metode belajar kita hanya dekat dengan peralatan elektronik, namun menjauhkan dari asal muasal pesan moral peralatan itu tercipta. Ruang kelas kita pun tak ubahnya seperti ruang expo dan pentas elektronik semata, dan selebihnya metode pembelajaran digunakan pintu transaksional dalam mendisribusikan peralatan yang tidak lagi ramah, tidak hemat energi, dan penghisap keringat buruh di negeri ini.
Menjadi bangsa bahari, metode pembelajaran terbaik adalah berkunjung dan saling mengunjungi. Kunjungan lapangan adalah strategi pembelajaran untuk menjaga dan melestarikan modal sosial kita nanti. Merasakan dari apa yang mereka rasakan, melakukan dari apa yang mereka lakukan, adalah strategi pembelajaran berbuah empati. Teknik kunjungan lapangan adalah cara merajut kembali dari benang kehidupan yang semakin berkarat dan terurai di hari ini. Dengan demikian, metode pembelajaran kita nanti selalu berlimpah makna damai disepanjang hayat nanti.
Mari sejenak kita tundukkan kepala. Masih banyak isi kurikulum di setiap satuan pendidikan ini yang perlu kita koreksi. Mulai dari mata pelajaran, sumber belajar, hingga metode belajar sudah saat nya memihak kedamaian. Kurikulum kita harus dijauhkan dari rasa ancaman. Memuliakan antar suku, agama, ras, hingga golongan adalah harga mati. Namun jangan lupa, jangan pernah sekali-kali memasukkan kurikulum kita akan perangai. Bangsa ini sungguh memiliki alur dan nada perang yang begitu tinggi. Hanya kurikulum perdamaian-lah yang akan merajut keberagaman ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H