Masyarakat Tegaldowo Rembang Jawa Tengah memiliki tiga tradisi unik yang hingga sekarang masih dipertahankan. Tiga tradisi tersebut adalah sampur bawur, tradisi ngalungi, dan tradisi tunggangan.Tradisi sampur bawur merupakan ritual masyarakat dalam mengubur jajan apem, kembang, dan barang sesaji lainnya. Tradisi ngalungi yaitu perilaku memberi kalung kepada sapi yang dilaksanakan pada hari jumat pahing. Kemudian tradisi tunggangan merupakan tindakan seseorang menaiki naik kuda pada saat ritual pernikahan dan khitanan. Pada kali ini Penulis hanya mengulas tradisi tunggangan, karena tradisi ini unik dan telah memiliki pengikut yang kuat.
Tunggangan merupakan tindakan seseorang menaiki naik kuda. Tradisi tunggangan termasuk bagian dari ritual pernikahan dan khitanan. Pada ritual pernikahan, menunggang kuda dilakukan ketika calon pengantin laki-laki yang hendak menuju rumah calon pengantin perempuan. Pada saat ritual khitanan, tradisi tunggangan dilakukan pada saat anak laki-laki yang akan dikhitan, diarak dengan menaiki kuda mengelilingi desa.
Asal usul tradisi tunggangan menurut masyarakat Tegaldowo terdapat dua versi. Pertama, tradisi tunggangan berhubungan dengan cerita lisan tentang seorang tokoh yang bernama Ronggodito yang memiliki kebiasaan menunggang kuda. Kedua, tradisi tunggangan berhubungan dengan datangnya para tentara berkuda. Keduanya menceritakan tentang sosok laki-laki penunggang kuda yang perkasa, kuat, dan pemberani dalam membela kepentingan orang banyak.
Tidak akan ada tanpa adanya seorang sakti berjuluk Pangeran Ranggadhita. Dialah seorang yang telah membabat alas Pasowan. Hutan lebat yang masuk wewengkon Rembang yang berbatasan dengan wilayah hutan Blora.
Sumber: Wawancara dengan Mbah Jenggot, 02 Agustus 2013.
Dari cerita lisan yang dituturkan dari generasi ke generasi adalah laki-laki penunggang kuda yang diyakini menjadi orang pertama yang membuka lahan pertanian di Tegaldowo. Laki-laki penunggang kuda ini diyakini sebagai orang yang pertama kali membuka lahan pertanian dari belantara hutan yang terkenal wingit (angker) itu. Dengan kekuatan yang dimilikinya, telah menarik perhatian orang-orang untuk melihatnya. Banyak orang yang simpatik dengan laki-laki penunggang kuda itu. Hingga kemudian banyak orang-orang yang menjadi muridnya, dialah yanghingga saat ini dikenal dengan sebutan “Pangeran Ronggodito”.
Menurut keyakinan masyarakat setempat, Ronggodito mempunyai kebiasaan menunggang kuda dengan mengenakan baju hitam saat mengelilingi area hutan. Seragam kuda hitam inilah yang kemudian menginpirasi para pegiat seni tunggangan untuk digunakan sebagai seragam pentasi seninya. Setiap mendengar gemerincing dan derap kuda pada saat itu, seolah masyarakat mendapatkan semangat hidup berlipat ganda. Perilaku Ronggodito yang mengubah hutan belantara menjadi lahan pertanian, telah diikuti oleh orang-orang dalam memiliki areal pertanian. Hampir setiap dari mereka yang ikut membuka hutan untuk tanah pertanian, selalu membayangkan dapat memiliki kuda tunggangan seperti yang dimiliki Ronggodito.
Itu (penunggang kuda) berasal dari para pejuang yang menunggang kuda. Suatu ketika singgah di desa ini. Dari peristiwa itu, setiap ada pernikahan, pengantin laki-laki nunggang kuda. Sumber: Wawancara dengan Legiman, pegiat seni Barongan Tegaldowo, tanggal 17 Agustus 2013.
Tidak hanya mereka yang hendak ke pelaminan, akan tetapi untuk anak laki-laki yang hendak dikhitan juga diarak di atas kuda.
Agar kelak mereka besar menjadi seorang hebat, maka sebelum dikhitan, bocah mesti naik kuda diarak keliling desa. Ini telah menjadi ritual adat yang masih terjaga sampai sekarang. Sumber: Wawancara dengan Mbah Jenggot, 02 Agustus 2013.
Ronggodito merupakan tokoh pejuang berkuda pengusir penjajah dan tokoh orang kuat penakluk hutan, telah menginspirasi masyarakat setempat untuk menaiki kuda. Menaiki kuda dilaksanakan pada saat ritual khitanan dan pernikahan, merupakan tradisi yang berhubungan dengan ekologi dan situasi sosial. Dalam hubungannya dengan ekologi, ditunjukkan dengan cerita membabat hutan hingga menghasilkan lahan pertanian. Adapun hubungannya dengan situasi sosial, ditunjukkan dengan para pejuang dalam mengusir penjajah.
Berkuda saat akan khitanan dan pernikahan, telah menjadi simbol yang diperebutkan anggota masyarakat Tegaldowo. Hal yang diinginkan adalah status sosial, posisi, dan peranan layaknya pejuang dan orang kuat yang pernah hidup dalam cerita tutur masyarakat setempat. Berdasar dari itulah, kemudian tercipta konstruksi sosial bahwa penunggang kuda adalah simbol dari kelas sosial atas. Konsekwensi dari hal tersebut adalah setiap anggota masyarakat Tegaldowo selalu berorientasi menunggang kuda. Wujud dari konstruksi sosial di atas, setiap kali ada anak yang akan khitan dan nikah, selalu dengan menunggangi kuda.
Khitan anak laki-laki pada masyakat Tegaldowo ini tidak hanya berfungsi mensucikan anak menjadi muslim. Khitanan juga tidak hanya berfungsi menjadi pintu masuk menjadi orang Islam. Khitan anak laki-laki yang selalu diiringi dengan tradisi tunggangan. Anak laki-laki yang akan di khitan, diarak mengelilingi desa hingga sampai pada kuncup makam tokoh desa, yaitu makam Ronggodito. Dengan menunggangi kuda keliling desa, keluarga khitan berharap agar anaknya memiliki karakter pemberani dan gagah layaknya cerita lisan tentang Ronggodito dan pasukan Diponegoro saat membuka lahan desa dan mengusir penjajah.
Dan fungsi tunggangan khitanan ini tidak hanya berhubungan dengan fungsi religi dan internalisasi, arak-arakan kuda ini juga berfungsi ekonomi. Dengan adanya arak-arakan anak yang akan dikhitan ini, telah berfungsi mengabarkan kepada seluruh penjuru warga desa bahwa terdapat anggota masyarakat yang menggelar hajatan besar. Dan setiap ada pagelaran hajatan besar ini, setiap anggota masyarakat desa harus menyumbang dengan membawa bingkisan dan atau uang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H