Mohon tunggu...
Suhadi Rembang
Suhadi Rembang Mohon Tunggu... Guru Sosiologi SMA N 1 Pamotan -

aku suka kamu suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tradisi Tunggangan Tegaldowo

12 Juli 2016   14:01 Diperbarui: 12 Juli 2016   14:04 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Pegiat Seni Barong Ronggodito desa Tegaldowo (Sumber: Koleksi Penulis)

Ronggodito merupakan tokoh pejuang berkuda pengusir penjajah dan tokoh orang kuat penakluk hutan, telah menginspirasi masyarakat setempat untuk menaiki kuda. Menaiki kuda dilaksanakan pada saat ritual khitanan dan pernikahan, merupakan tradisi yang berhubungan dengan ekologi dan situasi sosial. Dalam hubungannya dengan ekologi, ditunjukkan dengan cerita membabat hutan hingga menghasilkan lahan pertanian. Adapun hubungannya dengan situasi sosial, ditunjukkan dengan para pejuang dalam mengusir penjajah.

Berkuda saat akan khitanan dan pernikahan, telah menjadi simbol yang diperebutkan anggota masyarakat Tegaldowo. Hal yang diinginkan adalah status sosial, posisi, dan peranan layaknya pejuang dan orang kuat yang pernah hidup dalam cerita tutur masyarakat setempat. Berdasar dari itulah, kemudian tercipta konstruksi sosial bahwa penunggang kuda adalah simbol dari kelas sosial atas. Konsekwensi dari hal tersebut adalah setiap anggota masyarakat Tegaldowo selalu berorientasi menunggang kuda. Wujud dari konstruksi sosial di atas, setiap kali ada anak yang akan khitan dan nikah, selalu dengan menunggangi kuda.

Khitan anak laki-laki pada masyakat Tegaldowo ini tidak hanya berfungsi mensucikan anak menjadi muslim. Khitanan juga tidak hanya berfungsi menjadi pintu masuk menjadi orang Islam. Khitan anak laki-laki yang selalu diiringi dengan tradisi tunggangan. Anak laki-laki yang akan di khitan, diarak mengelilingi desa hingga sampai pada kuncup makam tokoh desa, yaitu makam Ronggodito. Dengan menunggangi kuda keliling  desa, keluarga khitan berharap agar anaknya memiliki karakter pemberani dan gagah layaknya cerita lisan tentang Ronggodito dan pasukan Diponegoro saat membuka lahan desa dan mengusir penjajah.

Dan fungsi tunggangan khitanan ini tidak hanya berhubungan dengan fungsi religi dan internalisasi, arak-arakan kuda ini juga berfungsi ekonomi. Dengan adanya arak-arakan anak yang akan dikhitan ini, telah berfungsi mengabarkan kepada seluruh penjuru warga desa bahwa terdapat anggota masyarakat yang menggelar hajatan besar. Dan setiap ada pagelaran hajatan besar ini, setiap anggota masyarakat desa harus menyumbang dengan membawa bingkisan dan atau uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun