Dari fenomena di atas, yang terjadi adalah tindakan menciplak secara besar-besar terhadap motif, pewarnaan, dan pengerjaannya. Adapun filosofi motif, pewarnaan, dan pengerjaannya tidak lagi diperhatikan. Lebih ironisnya, beberapa motif yang dibentangkan dalam lembaran kain tersebut adalah motif-motif yang cenderung mengusung filosofi hidup yang jauh dari jati diri dan identitas sosial yang ada. Para pengrajin batik terkesan menjadi budak busana dengan semkain jauh melesat meninggalkan nilai-nilai dan kearifan hidup daerahnya.
Untuk itu dalam rangka melestarikan busana yang relevansi karakter sosial budaya dan ekologi masyarakat setempat terhadap motif, pewarnaan, dan pengerjaan batik.Â
Jika dalam proses mengindentifikasi relevansi tersebut cenderung bertolak belakang dengan khasanah sosial budaya masyarakat setempat, tentu langkah yang tepat adalah menawarkan motif, warna, dan pengerjaannya, sehingga karya batik selalu relevansi dengan karakter sosial budaya dan ekologi masyarakat yang ada.Â
Dengan langkah inilah, diharapkan para perajin batik tidak lagi menjadi industri budak busana. Batik diharapkan senantiasa menjadi karya budaya yang mampu membangun karakter bangsa, sebagaimana yang telah diakui oleh bangsa-bangsa di luar sana bahwa batik adalah warisan budaya dunia, sebuah karya yang mampu menghiasai kebudayaan dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H