NU dan Muhammadiyah. Mereka adalah para lembaga agama yang menjadi dua pilar besar dalam proses menyebarnya agama di Nusantara zaman dulu. NU yang didirikan oleh sang Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. NU memiliki pemahaman untuk terus melestarikan dan menyebarkan konsep Ahlussunnah Wa Jamaah atau Aswaja. Sementara Muhammadiyah, yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, dengan tujuan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Beberapa kali kita kerap melihat perseteruan dalam dua lembaga itu. Dengan tata cara sholat dan beberapa doa-doa yang berbeda, tentunya perseteruan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Namun, perseteruan-perseteruan ini umumnya terjadi dalam lembaga dengan skala lebih besar.
Jadi, bagaimanakah bentuk hubungan antarlembaga mereka dalam skala yang lebih kecil?
Dari tanggal 3-8 Maret, sekolah penulis berkesempatan untuk menghabiskan pekan bersama para warga multikultural di Desa Buntu, Wonosobo untuk meneliti dan menganalisis cara hidup mereka di dalam keberagaman agama.
Desa yang terkenal akan keberagaman budaya ini berada di kaki Gunung Sindoro, sehingga dari sana kita akan mendapat pemandangan menyejukkan Gunung Dieng. Tidak hanya pemandangan, keberagaman dan juga kehangatan warga Desa Buntu sangatlah indah untuk dipandang. Desa Buntu sudah beberapa kali dikunjungi oleh berbagai sektor pendidikan dan pariwisata. Salah satu yang membuatnya terkenal ialah karena mereka menawarkan sistem live in, dimana kita dapat tinggal satu rumah bersama warga sekitar untuk merasakan seutuhnya keseharian mereka.
“Kalau ditanya, saya sih NU. Disini ada satu masjid NU dan satu masjid Muhammadiyah. Kalau biasanya saya sholat di masjid NU, tetapi kalau sedang harus berangkat cepat untuk dagang, saya biasanya sholat di masjid Muhammadiyah.” Ujar Pak Teguh, seorang pedagang asal Wonosobo yang juga mempunyai sebidang ladang, yang juga merupakan orang tua asuh penulis.
Pak Teguh bersama istri dulunya tinggal di Jakarta karena istrinya berdomisili disana. Namun pada akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Desa Buntu, kampung halaman Pak Teguh.
“Sejak saya kecil, Muhammadiyah dan NU selalu harmonis dan tidak pernah bertengkar. Kalau hari raya ya, menurut kepercayaan masing-masing. Kalau Muhammadiyah ingin duluan, ya tidak apa-apa. Dalam hidup saya dan juga hidup orang tua saya, kedua kelompok ini tidak pernah saling berseteru, karena kita semua juga menginginkan perdamaian.”
Menurut Charles Horton Cooley, dalam proses interaksi sosial asosiatif ada kerja sama yang dapat dilakukan dengan penuh kesadaran antar individu dengan individu atau antar kelompok, sehingga interaksi asosiatif biasanya bersifat positif dan memungkinkan terjadinya penyelesaian masalah.
Pak Teguh percaya bahwa jika dari kedua kelompok terdapat kesadaran yang kuat untuk mewujudkan ketentraman, maka selamanya tidak akan ada perseteruan.
Oleh karena itu, pentingnya menjaga kerukunan antar warga untuk mewujudkan keharmonisan yang tidak memandang suku, agama, dan ras. Karena , seperti yang dipaparkan, kerukunan bahkan dalam hal sekecil-kecil bisa terealisasikan dengan bantuan kesadaran semua orang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H