Mohon tunggu...
Erzta Z Hidayat
Erzta Z Hidayat Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - siswa sekolah

hi :3

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keharmonisan NU dan Muhammadiyah dalam Lembaga Multikultural Berskala Kecil

26 Maret 2024   08:53 Diperbarui: 26 Maret 2024   09:00 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para siswa sekolah penulis di depan Masjid NU (Dok. pribadi)

    NU dan Muhammadiyah. Mereka adalah para lembaga agama yang menjadi dua pilar besar dalam proses menyebarnya agama di Nusantara zaman dulu. NU yang didirikan oleh sang Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. NU memiliki pemahaman untuk terus melestarikan dan menyebarkan konsep Ahlussunnah Wa Jamaah atau Aswaja. Sementara Muhammadiyah, yang didirikan oleh Ahmad Dahlan, dengan tujuan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Beberapa kali kita kerap melihat perseteruan dalam dua lembaga itu. Dengan tata cara sholat dan beberapa doa-doa yang berbeda, tentunya perseteruan merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Namun, perseteruan-perseteruan ini umumnya terjadi dalam lembaga dengan skala lebih besar. 

Jadi, bagaimanakah bentuk hubungan antarlembaga mereka dalam skala yang lebih kecil?

Dari tanggal 3-8 Maret, sekolah penulis berkesempatan untuk menghabiskan pekan bersama para warga multikultural di Desa Buntu, Wonosobo untuk meneliti dan menganalisis cara hidup mereka di dalam keberagaman agama.

Desa yang terkenal akan keberagaman budaya ini berada di kaki Gunung Sindoro, sehingga dari sana kita akan mendapat pemandangan menyejukkan Gunung Dieng. Tidak hanya pemandangan, keberagaman dan juga kehangatan warga Desa Buntu sangatlah indah untuk dipandang. Desa Buntu sudah beberapa kali dikunjungi oleh berbagai sektor pendidikan dan pariwisata. Salah satu yang membuatnya terkenal ialah karena mereka menawarkan sistem live in, dimana kita dapat tinggal satu rumah bersama warga sekitar untuk merasakan seutuhnya keseharian mereka.

“Kalau ditanya, saya sih NU. Disini ada satu masjid NU dan satu masjid Muhammadiyah. Kalau biasanya saya sholat di masjid NU, tetapi kalau sedang harus berangkat cepat untuk dagang, saya biasanya sholat di masjid Muhammadiyah.”  Ujar Pak Teguh, seorang pedagang asal Wonosobo yang juga mempunyai sebidang ladang, yang juga merupakan orang tua asuh penulis.

Pak Teguh bersama istri dulunya tinggal di Jakarta karena istrinya berdomisili disana. Namun pada akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Desa Buntu, kampung halaman Pak Teguh.

“Sejak saya kecil, Muhammadiyah dan NU selalu harmonis dan tidak pernah bertengkar. Kalau hari raya ya, menurut kepercayaan masing-masing. Kalau Muhammadiyah ingin duluan, ya tidak apa-apa. Dalam hidup saya dan juga hidup orang tua saya, kedua kelompok ini tidak pernah saling berseteru, karena kita semua juga menginginkan perdamaian.”

Menurut Charles Horton Cooley, dalam proses interaksi sosial asosiatif ada kerja sama yang dapat dilakukan dengan penuh kesadaran antar individu dengan individu atau antar kelompok, sehingga interaksi asosiatif biasanya bersifat positif dan memungkinkan terjadinya penyelesaian masalah.

Pak Teguh percaya bahwa jika dari kedua kelompok terdapat kesadaran yang kuat untuk mewujudkan ketentraman, maka selamanya tidak akan ada perseteruan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun