Mohon tunggu...
Cindy Claresta Rendyna
Cindy Claresta Rendyna Mohon Tunggu... Lainnya - :D

We'll feel our spark again☆

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ruang Terbatas dalam Ingin Tanpa Batas: Difabelzone Indonesia dan Hambatan Pemberdayaan

11 Juni 2022   21:56 Diperbarui: 11 Juni 2022   22:31 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.instagram.com/difabelzone.id

Apakah yang teman-teman pikirkan ketika mendengar kata 'keterbatasan'? Pastinya memiliki hubungan dengan kekurangan, entah itu melekat pada benda hidup maupun benda mati. Jika suatu hal mengalami keterbatasan, sering kali hal itu dicap kurang, tidak lebih berharga, dan dinilai lebih rendah. 

Pada manusia, ketika kata 'keterbatasan' itu hadir, seringkali masyarakat akan melirik iba, ada juga yang melihatnya sebagai tidak mandiri, tidak bisa berbuat apa-apa sendiri, tidak mampu, dan tergantung pada orang lain.

Hal yang sama juga sering kali terjadi pada teman-teman difabel. Mereka hidup dalam 'keterbatasan', sehingga mereka dimarginalkan dan dipinggirkan oleh masyarakat. Mereka dilihat sebagai berbeda dan sering kali hanya mampu menyusahkan, terikat pada keterbatasan mereka, tidak berdaya pada keadaan. Namun, sesungguhnya, siapakah yang mendefinisikan arti dari keterbatasan tersebut? 

Mengapa teman-teman difabel harus dicap mengalami keterbatasan hanya karena mereka memiliki kekurangan yang mungkin berbeda dengan orang lain? Semua orang jelas memiliki kekurangan masing-masing--tidak ada manusia yang sempurna, lantas mengapa hanya teman-teman difabel yang dilabel 'terbatas'?

Dalam tulisan ini, saya ingin teman-teman semua membuat definisi 'keterbatasan', 'terbatas', ataupun 'batas' yang selama ini tertanam di pikiran kita. Saya ingin teman-teman menghapus untuk sementara waktu definisi kaku yang tidak memberi ruang kreasi atas kata batas tersebut dan mulai memandang dunia dari perspektif lain. Karena saya yakin, teman-teman difabel merupakan manusia tanpa batas di dalam kukungan kata 'terbatas' tersebut.

Difabelzone Indonesia

Sumber: https://www.instagram.com/difabelzone.id
Sumber: https://www.instagram.com/difabelzone.id

Difabelzone Indonesia, didirikan pada tahun 2015 oleh Ibu Lidwina untuk merangkul teman-teman difabel. Difabel zone, seperti namanya yang jika diartikan memiliki makna Zona Difabel, Lokasi Difabel, Ruang Difabel--tempat di mana difabel berada. 

Jika dipikir-pikir, agak ironis sebenarnya bahwa spasi untuk pemberdayaan teman-teman 'terbatas' mengambil nama 'ruang' yang cenderung identik dengan dinding-dinding yang membatas dan memerangkap. 

Namun, di saat yang sama, siapa yang memasang pengertian dan hukum bahwa ruang harus selalu berarti dinding empat sisi dengan lantai dan langit-langit? Ini adalah ruang pemberdayaan, bagi teman-teman difabel untuk berkreasi dan menaruh harap untuk menjadi lebih bebas--sebuah ruang tanpa batas, sebuah kesempatan untuk menjadi bebas dari batas.

Difabelzone Indonesia menawarkan kesempatan-kesempatan yang sebelumnya tidak dimiliki oleh teman-teman difabel. Kesempatan untuk belajar, kesempatan untuk berkreasi, kesempatan untuk menunjukkan kemampuan, kesempatan untuk dipandang ada dan bisa oleh masyarakat, kesempatan untuk aktualisasi diri. 

Dalam wawancara kami bersama teman-teman difabel di sana, komunitas ini merupakan anugerah bagi mereka. Mereka belajar membatik dengan cara mereka masing-masing--menitik, menggaris, dengan canting hingga kuas, kreasi tanpa batas untuk mereka mewujudkan kreasi. Sayang, dalam perkembangannya Difabelzone Indonesia ini juga menabrak batasan yang sulit dilampaui, sesuatu yang akan saya bahas setelah ini. 

Ruang Terbatas untuk Eksplorasi tanpa Batas

Batik karya teman-teman DifabelZone Indonesia. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Batik karya teman-teman DifabelZone Indonesia. Sumber: Dokumentasi pribadi.
Batasan atau hambatan yang menjadi masalah utama dari komunitas Difabelzone Indonesia ini adalah ruang mereka yang terbatas--ruang dalam artian harfiah, tempat mereka berkarya, gedung mereka tinggal, workshop mereka bekerja. 

Anggota komunitas ini bisa terbilang cukup terbatas, hanya 21 anggota dengan 5 orang pengurus. Dihantam oleh pandemi, banyak anggota yang terpaksa harus pulang ke rumah masing-masing bersama keluarga mereka, sehingga saat kami berkunjung kemarin, hanya ada beberapa teman difabel yang tersisa dan hidup bersama di sana. Namun, meski hanya ada beberapa saja dari keseluruhan anggota, workshop terasa begitu penuh karena keterbatasan ruang yang ada.

Keterbatasan ruang ini merupakan masalah yang cukup serius mengingat di workshop itulah begitu banyak karya dan kreasi tersimpan. Workshop itu menjadi tempat bagi teman-teman mengerjakan batik--mereka membatik dan menggores lilin di halaman depan workshop, ruang tengah workshop berisi hasil-hasil karya mereka yang digantung dan disimpan dalam kotak-kotak plastik besar, bagian dalam workshop menjadi tempat istirahat bagi teman-teman. 

Di workshop itu juga sering kali diadakan touring dan pelatihan membatik bagi tamu-tamu serta turis asing yang berminat, seperti teman-teman Rotaract dari Macau University, Flinders University, Macquarie University PACE--dulu ramai, namun sejak pandemi, kegiatan ini juga menyepi. Kemudian, karena ruang workshop yang terbatas, touring dan  pelatihan batik juga tidak bisa dilaksanakan dengan maksimal dengan personil yang terbatas pula.

Tidak hanya itu, keterbatasan ruang ini juga menyebabkan komunitas DifiabelZone Indonesia sulit untuk menambah anggota baru. Hal ini kemudian memberikan dampak pada kurangnya sumber daya yang dimilikinya, memperlambat proses produksi, yang mana di saat yang sama pesanan terus masuk, sehingga DifabelZone Indonesia mau tidak mau harus membatasi jumlah pesanan yang  masuk. 

Masalah sumber daya ini juga berhubungan dengan keterbatasan kemampuan pengurus dalam mengurus segala birokrasi dalam komunitas, hubungan dengan komunitas lain dan pelayanan pada pelanggan, serta urusan promosi dan manajemen media sosial. 

Masalah ini menyebabkan Difabelzone Indonesia cukup tergantung terhadap bantuan volunteer dari teman-teman yang empati pada komunitas ini--membantu membuatkan website, photoshoot produk, juga pelatihan-pelatihan batik untuk teman-teman difabel.

Permasalahan-permasalahan ini kemudian akan berdampak pada pemasukan dan profit total komunitas. Anggota komunitas yang tidak bisa ditambah karena ruang workshop yang terbatas menyebabkan kurangnya tenaga kerja dalam memproduksi. 

Hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya banyak teman-teman difabel di luar sana yang ingin bergabung dengan komunitas, ingin mendapatkan kesempatan yang sama namun tidak bisa. 

Kurangnya tenaga kerja juga berhubungan pada penurunan kinerja pada produksi sehingga minimal dan membutuhkan waktu yang lama serta aspek-aspek lain--bantuan volunteer kerap kali bersifat sementara, sehingga banyak hal yang kembali tidak termanajemen secara maksimal, seperti katalog produk di media sosial Instagram komunitas. 

Di saat yang sama, masalah keterbatasan ruang ini memiliki akar permasalahan pada keterbatasan modal Ibu Lidwina ketika pertama kali mendirikan komunitas ini. Modal yang terbatas menyebabkan ruang yang terbatas, yang kemudian mengakibatkan profit yang terbatas--ini merupakan masalah krusial yang  dihadapi oleh komunitas.

Tidak hanya itu, komunitas juga mendapatkan stigma dan pandangan miring dari lingkungan eksternal. Masyarakat Indonesia banyak yang masih melihat teman-teman difabel dengan sebelah mata, meragukan kemampuan mereka dan mengiba tanpa bisa berempati. 

Sudah sering calon konsumen meragukan hasil karya teman-teman difabel dari komunitas ini. Namun, ketika melihat produk yang teman-teman buat, mereka malah skeptis bahwa produk batik tersebut dibuat oleh difabel. 

Masyarakat kita masih menekankan teman-teman difabel sebagai manusia dengan keterbatasan, padahal kemampuan mereka di luar batas. Pandangan masyarakat ini kemudian juga secara langsung maupun tidak, berpengaruh pada penjualan produk teman-teman yang lalu berakibat pada profit komunitas.

Teori Neo-Klasik dalam Komunikasi Organisasi

Sumber: Dokumentasi pribadi.
Sumber: Dokumentasi pribadi.

Teori neo-klasik berbeda dengan pandangan klasik yang melihat manusia sebagai mesin untuk bekerja--teori ini menitikberatkan aspek psikologis dan sosial manusia sebagai individu dan kelompok kerja (Ambarwati, 2018, h. 34).

 Dalam komunitas Difabelzone Indonesia, pengurus terutama Ibu Lidwina sangat mengutamakan aspek psikologis, emosional, dan kebutuhan sosial anggotanya. Ibu berusaha perlahan-lahan mendekatkan diri dengan teman-teman, mengajarkan dengan perlahan dan memberi kesempatan untuk mereka berkreasi semampu mereka--menggunakan kuas jika tidak mampu memegang canting, contohnya. 

Pendekatan ini kemudian membuat ruang yang nyaman bagi anggota sehingga mampu bekerja dan produksi dengan maksimal meski memiliki keterbatasan ruang dan tenaga kerja.

Dalam teori neo-klasik, peneliti memegang empat tahapan prinsip, yaitu mengkaji akibat atau efek dari kondisi lingkungan terhadap produktivitas pekerja; melakukan konsultasi dengan pekerja; melakukan wawancara mendalam; dan melakukan eksperimen yang mengharuskan kerja sama kelompok kerja (Ambarwati, 2018, h. 35--36). 

Dalam Difabelzone Indonesia, sebagai komunitas, pengurus tidak hanya memperlakukan anggota sebagai pekerja, namun seorang manusia dan teman dekat. Pengurus sering melakukan konsultasi dengan teman-teman difabel--tentang masalah dan keresehanan yang mereka hadapi, apa yang bisa mereka bantu untuk meringankan beban teman-teman difabel, gaya bekerja seperti apa yang nyaman untuk teman-teman difabel, dan melibatkan teman-teman difabel tidak hanya dalam tahap membuat karya tapi juga tahapan produksi lain--model apa yang mau diproduksi, berapa harga yang ditawarkan, peluang-peluang kerja sama lain. 

Dengan usaha-usaha ini, komunitas berhasil mengupayakan lingkungan sosial dan emosional yang nyaman bagi teman-teman difabel, membuat mereka ingin bersemangat untuk terus bekerja sehingga meningkatkan produktivitas total mereka sebagai komunitas. 

Komunitas juga tidak lupa mengkaji efek dari keterbatasan ruang workshop ke produktivitas teman-teman difabel. Meski terbatas di jumlah bantuan tenaga kerja serta kurang leluasa dalam melakukan pelatihan dan touring, keterbatasan ruang tersebut justru menciptakan lingkungan tinggal yang lebih dekat satu sama lain, mengeratkan tali persaudaraan dan rasa senasib teman-teman difabel.

Bara Semangat dalam Batas-Batas Maya

Sumber: Dokumentasi pribadi
Sumber: Dokumentasi pribadi

Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas ini, permasalah keterbatasan ruang, bukanlah sesuatu yang mudah untuk diatasi. Permasalahan ini membutuhkan jalan keluar berupa gedung baru yang lebih luas untuk workshop atau merenovasi workshop yang sekarang hingga cukup untuk memberdayakan teman-teman difabel yang baru--sesuatu yang sulit dilakukan karena workshop yang ditinggali sekarang merupakan rumah kontrak. 

Untuk saat ini, Ibu Lidwina sedang fokus membangun jaringan dengan komunitas-komunitas difabel lain, perusahaan, dan partner kerja sama yang ingin membantu dana dan produksi, baik itu dalam bentuk kolaborasi maupun undangan-undangan pertemuan untuk event-event tertentu. 

Dengan jaringan dan kerja sama ini, diharapkan komunitas dapat segera mewujudkan harapan mereka untuk pindah ke workshop baru yang lebih luas dengan lokasi yang lebih strategis. 

Meski memiliki batasan-batasan ini, teman-teman difabel tetap produktif dan bersemangat dalam berkreasi dan berkarya, menghasilkan karya-karya batik yang begitu indah. Hingga permasalahan utama bisa diatasi dengan memperluas workshop atau memindahkan workshop ke tempat yang lebih luas, komunitas telah mengusahakan yang terbaik untuk tetap menguatkan bara semangat teman-teman difabel untuk terus bekerja meski mengalami keterbatasan.

Daftar Pustaka

Ambarwati, A. (2018). Perilaku dan Teori Organisasi. Malang: Media Nusa Creative.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun