Di saat yang sama, masalah keterbatasan ruang ini memiliki akar permasalahan pada keterbatasan modal Ibu Lidwina ketika pertama kali mendirikan komunitas ini. Modal yang terbatas menyebabkan ruang yang terbatas, yang kemudian mengakibatkan profit yang terbatas--ini merupakan masalah krusial yang  dihadapi oleh komunitas.
Tidak hanya itu, komunitas juga mendapatkan stigma dan pandangan miring dari lingkungan eksternal. Masyarakat Indonesia banyak yang masih melihat teman-teman difabel dengan sebelah mata, meragukan kemampuan mereka dan mengiba tanpa bisa berempati.Â
Sudah sering calon konsumen meragukan hasil karya teman-teman difabel dari komunitas ini. Namun, ketika melihat produk yang teman-teman buat, mereka malah skeptis bahwa produk batik tersebut dibuat oleh difabel.Â
Masyarakat kita masih menekankan teman-teman difabel sebagai manusia dengan keterbatasan, padahal kemampuan mereka di luar batas. Pandangan masyarakat ini kemudian juga secara langsung maupun tidak, berpengaruh pada penjualan produk teman-teman yang lalu berakibat pada profit komunitas.
Teori Neo-Klasik dalam Komunikasi Organisasi
Teori neo-klasik berbeda dengan pandangan klasik yang melihat manusia sebagai mesin untuk bekerja--teori ini menitikberatkan aspek psikologis dan sosial manusia sebagai individu dan kelompok kerja (Ambarwati, 2018, h. 34).
 Dalam komunitas Difabelzone Indonesia, pengurus terutama Ibu Lidwina sangat mengutamakan aspek psikologis, emosional, dan kebutuhan sosial anggotanya. Ibu berusaha perlahan-lahan mendekatkan diri dengan teman-teman, mengajarkan dengan perlahan dan memberi kesempatan untuk mereka berkreasi semampu mereka--menggunakan kuas jika tidak mampu memegang canting, contohnya.Â
Pendekatan ini kemudian membuat ruang yang nyaman bagi anggota sehingga mampu bekerja dan produksi dengan maksimal meski memiliki keterbatasan ruang dan tenaga kerja.
Dalam teori neo-klasik, peneliti memegang empat tahapan prinsip, yaitu mengkaji akibat atau efek dari kondisi lingkungan terhadap produktivitas pekerja; melakukan konsultasi dengan pekerja; melakukan wawancara mendalam; dan melakukan eksperimen yang mengharuskan kerja sama kelompok kerja (Ambarwati, 2018, h. 35--36).Â
Dalam Difabelzone Indonesia, sebagai komunitas, pengurus tidak hanya memperlakukan anggota sebagai pekerja, namun seorang manusia dan teman dekat. Pengurus sering melakukan konsultasi dengan teman-teman difabel--tentang masalah dan keresehanan yang mereka hadapi, apa yang bisa mereka bantu untuk meringankan beban teman-teman difabel, gaya bekerja seperti apa yang nyaman untuk teman-teman difabel, dan melibatkan teman-teman difabel tidak hanya dalam tahap membuat karya tapi juga tahapan produksi lain--model apa yang mau diproduksi, berapa harga yang ditawarkan, peluang-peluang kerja sama lain.Â
Dengan usaha-usaha ini, komunitas berhasil mengupayakan lingkungan sosial dan emosional yang nyaman bagi teman-teman difabel, membuat mereka ingin bersemangat untuk terus bekerja sehingga meningkatkan produktivitas total mereka sebagai komunitas.Â
Komunitas juga tidak lupa mengkaji efek dari keterbatasan ruang workshop ke produktivitas teman-teman difabel. Meski terbatas di jumlah bantuan tenaga kerja serta kurang leluasa dalam melakukan pelatihan dan touring, keterbatasan ruang tersebut justru menciptakan lingkungan tinggal yang lebih dekat satu sama lain, mengeratkan tali persaudaraan dan rasa senasib teman-teman difabel.
Bara Semangat dalam Batas-Batas Maya