Halo! Hi. Holla~! N ho. Bonjour. Ohayo! Namaste.
Dari beberapa sapaan di atas, ada berapa yang kita kenal? Meski hanya sapaan singkat, penggunaan bahasa yang berbeda, lafal, dan pengucapan tentunya telah mencerminkan dari mana bahasa tersebut berasal. Selain sebagai alat untuk saling berkomunikasi, bahasa juga bisa dijadikan sebagai ciri komunitas tertentu hingga penentu status kelas sosial dalam masyarakat.
Di Indonesia, bahasa sendiri merupakan salah satu ciri khas yang membuat kita berbeda dari negara lain. Selain karena kita dianugerahi dengan sejumlah besar suku dengan bahasa khas masing-masing, perbedaan bahasa ini tetap tidak membuat kita terpecah. Di samping budaya dan kultur bahasa, ciri khas bahasa ini juga bisa dilihat dari konstruksi sosial yang memecah masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial.
Keunikan bahasa di Indonesia ini tidak hanya menarik perhatian dari masyarakat, cendekiawan, serta penggiat lokal, namun juga para peneliti dari luar Indonesia yang dituangkan dalam studi-studi mereka. Di tulisan ini, kita akan mengulik mengenai kegunaan bahasa sebagai suatu hasil produksi dan reproduksi budaya masyarakat. Mulai dari bagaimana pergeseran penggunaan bahasa lahir dari usaha untuk menunjukkan kehadiran kelas sosial serta alat solidaritas dan kelompok kekeluargaan.
Sesuai dengan kutipan penuh inspirasi dari Cesar Chavez, "Bahasa adalah cermin refleksi diri," bahasa dapat menunjukkan realitas kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Artikel ini akan mengulas dua artikel dari Indonesianis, yakni tulisan mengenai pergeseran bahasa Jawa ke bahasa Nasional dan status gender dalam masyarakat Pulau Jawa oleh Smith-Hefner dan penggunaan Bahasa Gay sebagai tanda rasa memiliki dan persaudaraan.
Kedua tulisan ini memiliki satu persamaan---selain membahas mengenai bahasa---yakni penggunaan bahasa oleh komunitas dan kelompok sosial masyarakat. Berdasar pada teori jenis kelamin---Genderlect Theory, oleh Cheris Kramarae, Robin Lakoff, Marsha Houston, dan
Deborah Tannen---dilihat bahwa penggunaan bahasa berbeda berdasarkan gendernya. Tidak hanya itu, teori ini juga menjelaskan bagaimana sekumpulan ciri linguistik digunakan oleh laki-laki dan perempuan berkembang melalui proses akulturasi gender dan bagaimana bahasa digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi penanda dalam konteks sosial (Littlejohn & Foss, 2009). Tidak hanya itu, teori ini juga berkembang di luar area gender, seperti ke komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender.
Tulisan pertama, hasil karya Smith-Hefner dengan judul Language Shift, Gender, and Ideologies of Modernity in Central Java, Indonesia, memulai studinya dengan pengenalan atas keadaan dan kearifan lokal Indonesia, berfokus pada daerah Jawa Tengah terutama kota Yogyakarta sebagai sisa kesultanan yang masih aktif hingga sekarang. Seperti yang diketahui kita, secara umum penggunaan bahasa di Yogyakarta---dan sebagian besar daerah pulau Jawa---menggunakan bahasa Jawa. Secara historis, bahasa Jawa ini diasosiasikan dengan sekumpulan gaya berbicara yang kompleks dengan struktur bahasa yang bertingkat untuk menunjukkan tingkat kesopanan antara pembicara (Smith-Hefner, 2009). Gaya berbicara ini meluas di bawah kuasa Belanda pra-kemerdekaan dan kemudian menyebar ke berbagai daerah di pedalaman (Smith-Hefner, 1989; Smith-Hefner, 2009).
Dalam penggunaan bahasa Jawa, tidak ada interaksi yang netral secara linguistik. Maksudnya adalah bahwa dalam setiap percakapan, pembicara harus memerhatikan kedudukan sosial masing-masing aktor dan memilih gaya berbicara---atau level bahasa---yang sesuai dengan hubungan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan yang asimetris dapat terlihat jelas dalam kehidupan sehari-hari, menjadikannya salah satu hal unik dari bahasa Jawa ini.
Meskipun merupakan ciri khas yang belum tentu dimiliki bahasa lain, penggunaan bahasa Jawa ini mulai mengalami pergeseran ke penggunaan bahasa nasional---bahasa Indonesia---dikarenakan beberapa hal. Salah satu hal utama adalah kehadiran titel Yogyakarta sebagai Kota Pelajar---masyarakat dari daerah lain datang ke tanah Jawa sehingga untuk menghindari kesalahpahaman digunakanlah bahasa pemersatu bangsa.
Di samping itu, pergeseran penggunaan bahasa ini juga memiliki alasan sosial yang mendasarinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita, terutama pada ajaran Jawa, masih memegang kental paham patriarki. Posisi perempuan dilihat sebagai masyarakat kelas dua dan bukan prioritas masyarakat. Oleh sebab itu, perempuan mulai berusaha mencari cara untuk menyamaratakan kedudukan mereka di hadapan publik, salah satunya adalah dengan pemanfaatan bahasa ini.
Studi oleh Penelope Eckert (1998, 2000) menunjukkan bahwa perempuan cenderung mencari cara untuk untuk mendapatkan kapital melalui penggunaan bahasa karena posisi sosial mereka di masyarakat lebih ditunjukan secara jelas lewat makna simbolis (Eckert, 1998; Smith-Hefner, 2009). Kemudian, konsep linguistic Bourdieu juga menjelaskan bahwa bahasa seseorang dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mendapatkan keuntungan sosial dan material (1991; Smith-Hefner, 2009). Pergeseran bahasa Jawa ke bahasa Nasional yang dipelatukkan oleh kedatangan generasi terpelajar kemudian menjadi momentum bagi para perempuan di tanah Jawa untuk menaikkan posisi sosial. Dengan menunjukkan bahwa mereka fasih berbahasa Indonesia secara tidak langsung memberi tanda bagi masyarakat bahwa mereka adalah kaum terpelajar---dan bukan kaum kelas kedua yang tidak bisa apa-apa.
Melihat bagaimana bahasa dapat mendefinisikan kelas sosial, mari kita beranjak ke karya kedua yang juga tidak kalah kritis dalam melihat dilema masyarakat Indonesia. Karya dari Boellstorff yang bertajuk Gay Language and Indonesia: Registering Belonging berisikan bagaimana kehadiran bahasa Gay---atau juga bisa disebut sebagai Banci karena keduanya tidak memiliki perbedaan yang signifikan---memiliki peranan penting dalam keeratan komunitasnya.
Orang-orang menggunakan bahasa salah satunya adalah untuk menunjukkan kesepahaman dan makna dari bagaimana bahasa tersebut digunakan (Keane, 1997; Boellstorff, 2004). Penggunaan bahasa gay ini ditujukan untuk menunjukan kebersamaan, bahwa mereka memiliki tempat untuk berpulang dan komunitas yang akan selalu menerima mereka. Penggunaan bahasa ini juga untuk menunjukkan kekhasan komunitas, membuatnya terasa lebih intim dan dekat. Contohnya adalah penamaan tempat-tempat dan istilah yang dekat dengan komunitas gay dengan bahasa yang hanya ada di mereka. Misalnya Texas adalah istilah untuk menamai tempat pertemuan yang berisi orang-orang dari komunitas gay, brondong untuk laki-laki muda, cucok untuk ganteng, hemong untuk homo, lesbong untuk lesbian, dan lekong untuk laki-laki (Boellstorff, 2004).
Bahasa gay bisa dilihat sebagai bentuk representasi dunia gay, sebuah ruang alternatif yang berisi kenyamanan di mana orang gay bisa terbuka dan menjadi gay tanpa penghakiman dari luar. Meskipun contoh penggunaan bahasa gay tersebut terlihat sederhana, penggunaan istilah inilah yang memberikan rasa kepribadian dan kebersamaan. Menjadi sebuah ruang imajiner di mana mereka bisa terbuka, alih-laih menjadi pribadi tertutup di dunia normal.
Meskipun bahasa gay seakan dilihat sebagai simbol-simbol rahasia, atau cryptolect (Michael Aceto, 1995; Boellstorff, 2004) dalam komunitas gay, bahasa gay sekarang ini merupakan bahasa komunitas. Tidak hanya digunakan oleh komunitas gay, namun juga orang luar, orang normal, yang ingin belajar dan mengapresiasi kehadiran mereka di masyarakat. Meskipun begitu, bahasa gay ini tetap menjadi ciri khas komunitas, sebagai penstabil relasi sosial, menciptakan rasa persamaan, berbagi komunitas, dan tempat berpulang (Boellstorff, 2004).
Nah, dari jabaran dan deskripsi karya dari Indonesianis yang menunjukkan ketertarikan mereka mengenai nuansa bahasa di Indonesia, bukankah sangat menantang untuk kita terus belajar mengenai bahasa? Terlebih Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keramaian bahasa dan dialeknya yang berbeda-beda. Kita bisa meneliti lebih lanjut bagaimana bahasa ini memengaruhi kehidupan kita sebagai warga negara yang penuh keragaman ini, bagaimana konstruksi di masyarakat berperan dalam budaya bahasa, serta bagaimana bahasa ini tumbuh sebagai budaya dalam kelompok minoritas yang terkesampingkan.
Daftar Pustaka:
Boellstorff, T. (2004). Gay language and indonesia: Registering belonging. Journal of Linguistic Anthropology, 14(2), 248-268.
Littlejohn, S. W., & Foss, K. A (Eds). (2009). Encyclopedia of communication theory. Thousand Oaks, California: Sage Publication.
Smith-Hefner, N. J. (2009). Language shift, gender, and ideologies of modernity in central java, indonesia. Journal of Linguistic Anthropology, 19(1), 57--77. DOI:10.1111/j.1548-1395.2009.01019.x
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H