“Bisa dicek untuk lantai atasnya ya, Mas”. Titahku kepada mas Edo, salah satu asistenku.
Siang ini, aku harus mengecek sebuah bangunan tua antik. Saat aku memasuki bangunan itu, sungguh ini tidak terlalu asing.
“Mbak Hanna? Ini mejanya harus dipindahkan atau bagaimana ya?”. Aku menoleh kepada sang pemilik suara. Namun kali ini aku tidak menjawab, aku tidak berhenti menatap meja tua antik itu. Aku melangkah mendekat, menatap meja itu lamat lamat.
Kain yang terdapat di atas meja ini sangat mengundang perhatianku. Aku mengambilnya perlahan, dan merasakan sesuatu.
“Ibu…. ini ibu”.
Bulir air mataku mengalir bebas seketika. Aroma dari kain ini sangat persis dengan aroma pakaian almarhum ibuku. Lantas, aku mendongakkan kepalaku, melihat ke sekitar rumah ini. Netraku menemukan sebuah sisir hijau yang terletak diatas kursi kecil.
“Sisir ini, ibu disini?”, aku menatap mas Edo yang sedang kebingungan.
Aku berlari ke lantai atas, berjalan perlahan sembari menyusun kepingan memori. Tibalah diriku di depan suatu ruangan, yang tak asing jika aku mengingatnya lagi.
20 juni 2000.
Aku terduduk di depan meja kayu ini sembari melihat ibu mengemas barang barangnya. Hanna kecil hanya berpikir bahwa ibunya akan pergi untuk bekerja di luar kota. Sesungguhnya ia senang, ia bisa terbebas dari omelan ibunya saat ia merengek tak ingin tidur siang.
“Hanna, ibuk mau pergi, ibuk baru bisa liat hanna lagi kalau hanna udah jadi dokter”, ucap ibu pelan.
Bocah 3 tahun itu tak terlalu paham, yang ia tahu hanyalah ibu pergi, dan ia akan tinggal bersama bibi Rosa, bibi kesayangannya. Aku seringkali menghabiskan waktu untuk bermain sendirian di kamar ibu, pikirku agar tidak terlalu sepi.
13 tahun berlalu, kini aku paham bahwa mungkin ibu tidak akan pernah kembali. Hanya kain putih dan sisir hijau itu yang ibu tinggalkan. Tidak bisa kupungkiri lagi, semakin dewasa, aku semakin membutuhkan figur seorang ibu. Hingga aku bisa menyelesaikan studi arsitek, aku hanya bisa memamerkan hasilnya ke batu nisan Bibi Rosa.
“Bi, kalau aku udah bisa kerja, aku mau nyari ibuk”.
Saat ini, aku hanya bisa memandangi ruangan ini, kamar ibuku. Sosoknya tidak ada, namun kenangannya tetap tersimpan. Ibu, aku kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H