“Bisa dicek untuk lantai atasnya ya, Mas”. Titahku kepada mas Edo, salah satu asistenku.
Siang ini, aku harus mengecek sebuah bangunan tua antik. Saat aku memasuki bangunan itu, sungguh ini tidak terlalu asing.
“Mbak Hanna? Ini mejanya harus dipindahkan atau bagaimana ya?”. Aku menoleh kepada sang pemilik suara. Namun kali ini aku tidak menjawab, aku tidak berhenti menatap meja tua antik itu. Aku melangkah mendekat, menatap meja itu lamat lamat.
Kain yang terdapat di atas meja ini sangat mengundang perhatianku. Aku mengambilnya perlahan, dan merasakan sesuatu.
“Ibu…. ini ibu”.
Bulir air mataku mengalir bebas seketika. Aroma dari kain ini sangat persis dengan aroma pakaian almarhum ibuku. Lantas, aku mendongakkan kepalaku, melihat ke sekitar rumah ini. Netraku menemukan sebuah sisir hijau yang terletak diatas kursi kecil.
“Sisir ini, ibu disini?”, aku menatap mas Edo yang sedang kebingungan.
Aku berlari ke lantai atas, berjalan perlahan sembari menyusun kepingan memori. Tibalah diriku di depan suatu ruangan, yang tak asing jika aku mengingatnya lagi.
20 juni 2000.
Aku terduduk di depan meja kayu ini sembari melihat ibu mengemas barang barangnya. Hanna kecil hanya berpikir bahwa ibunya akan pergi untuk bekerja di luar kota. Sesungguhnya ia senang, ia bisa terbebas dari omelan ibunya saat ia merengek tak ingin tidur siang.
“Hanna, ibuk mau pergi, ibuk baru bisa liat hanna lagi kalau hanna udah jadi dokter”, ucap ibu pelan.