Mohon tunggu...
Erza Heksa Arifin
Erza Heksa Arifin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Universitas Abal-Abal yang Dosennya Tidak Bermutu

Dua hal yang saya sukai: Buku dan selain buku

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dunia Sophie: Keraguan Eksistensi Diri

9 November 2024   20:41 Diperbarui: 9 November 2024   23:26 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen pribadi

Disclaimer

Sebelum saya memulai pembahasan yang membuat jantung saya berdebar-debar tidak karuan, saya hanya memperingatkan kepada pembaca bahwa tulisan ini mengandung spoiler novel Dunia Sophie. Bagi anda yang belum membaca dan ingin membaca novel tersebut, saya sarankan untuk berhenti membaca tulisan saya sampai di sini saja. Namun, jika anda sudah membacanya atau belum membaca tetapi ingin mendapatkan ringkasan tanpa perlu membaca sebuah buku yang memiliki 750 halaman, maka saya persilakan untuk lanjut membaca tulisan ini dengan seksama dan dengan perasaan yang sesenang-senangnya.

Permulaan

Baru saja saya selesai membaca sebuah novel fenomenal yang cukup populer di era pop culture yang biasanya terkesan praktis dan anti romantik. Dunia Sophie; sebuah novel karya Jostein Gaarder yang pertama kali diterbitkan pada 1991 dalam bahasa Norwegia. Filsafat menjadi tema besar dalam perkembangan cerita di novel ini. Filsafat yang dianggap menakutkan dan mengerikan bagi sebagian orang rasanya begitu menyenangkan ketika didaur ulang oleh Jostein Gaarder. Kepopuleran novel ini seperti mendobrak stigma yang mengatakan bahwa filsafat hanya bisa dipahami dan disenangi oleh beberapa kalangan tertentu saja.

Sesuai judulnya, karakter utama bernama Sophie Amunsend; seorang gadis yang usianya masih kurang dari 15 tahun. Perjalanan Sophie mengarungi lautan filsafat begitu tiba-tiba dan awalnya cukup membingungkan. Bagaimana tidak? Sophie hanyalah seorang gadis biasa seperti remaja perempuan pada umumnya yang kesehariannya bersekolah lalu berbincang-bincang dengan teman-temannya. "Tak ada angin, tak ada hujan", Sophie mendapati sebuah surat yang ditujukan padanya dari pengirim misterius. "Siapakah kamu?" tertulis di selembar kertas itu. Dari sinilah Sophie mulai mempertanyakan eksistensinya sendiri. Ia menanggapi pertanyaan di surat tersebut dengan memproduksi berbagai jawaban di dalam kepalanya yang mungkin logis hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan yang terkesan sepele, "Siapakah kamu?".

Hari-hari Sophie setelah mendapat surat misterius tersebut berubah drastis. Dirinya mulai beranjak dari seorang yang hidup seadanya, menjadi seorang pemikir yang menghujami dirinya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis. Ia juga menerima surat misterius lainnya di kemudian hari dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda dan aneh pula. "Dari mana datangnya dunia?", pertanyaan yang membingungkan Sophie lagi. Di surat selanjutnya, berisi banyak paragraf yang menjelaskan kepada Sophie apa itu "Filsafat" dan bagaimana harusnya ia menjawab pertanyaan-pertanyaan remeh namun membingungkan seperti "Siapakah kamu?". Sang penulis melanjutkan bahwa mereka yang hidup di dunia ini bagaikan makhluk mikro yang hidup di sela-sela bulu kelinci putih yang menjadi bagian dari atraksi sulap topi. Sulap yang dimaksud adalah sang pesulap menunjukkan bahwa awalnya topi yang ia kenakan kosong, lalu ia menarik kelinci putih dari topi tersebut. Sang kelinci dan makhluk-makhluk yang ada di sela-sela bulunya tidak dapat memahami cara kerja sang pesulap dan tidak menyadari bahwa mereka begitu tidak mengetahui apa-apa tentang itu. Perumpaan kelinci putih adalah alam semesta serta makhluk-makhluk super kecil yang hidup di sela-sela bulunya adalah manusia dan orang-orang yang berusaha memanjat bulu-bulu itu adalah para filosof/filsuf. Sang pesulap? Tentunya Tuhan; mungkin.

Di lain surat, sang penulis misterius memberikan pelajaran filsafat lagi kepada Sophie. Kali ini ia memulai dari bagaimana para filsuf Yunani Kuno mengecam mitologi dewa-dewa yang menyerupai manusia. Ia mulai membahas tentang pemikiran tiga filsuf dari Miletus; Thales, Anaximander, dan Anaximenes. Thales yang dianggap sebagai filsuf pertama Yunani, memiliki pemikiran bahwa dunia dan sumber segala sesuatu berasal dari air. Pada bagian ini, penulis misterius itu membahas berbagai filsuf alam Yunani yang tentunya pemikiran mereka didasarkan atas elemen-elemen di alam. Mereka menganggap kehidupan berasal dari air, api, tanah, uap, dan lainnya. Sophie menalar pikirannya sendiri dan ikut merenungkan kembali apakah kehidupan ini benar-benar hanya berasal dari air, atau dari uap?

Filsuf alam paling fenomenal yang disebutkan penulis misterius adalah Demokritus. Maaf jangan salah sangka dan berpikir bahwa Demokritus adalah penemu Demokrasi ya. Demokritus (460 SM) beranggapan bahwa segala sesuatu disusun oleh balok-balok yang sangat kecil yang ia anggap kekal juga abadi. Ia menamakan balok-balok kecil ini sebagai "atom". Setelah ini, sang penulis misterius menaruh amplop yang berisi surat di tangga rumah Sophie. Kali ini ia mencantumkan namanya di akhir surat; Alberto Knox. Nama yang aneh pikir Sophie. Beberapa kalimat yang tercantum di sana membuat Sophie kembali bingung. "Orang yang paling bijaksana adalah yang mengetahui bahwa dia tidak tahu" salah satu kalimat yang ditulis Alberto. Kalimat ini membuka babak baru dalam pelajaran filsafat Sophie. Babak baru itu adalah sang filsuf paling berpengaruh bagi perkembangan banyak pemikiran di kemudian abad; Sokrates.

Sokrates dan Plato

Sokrates (470-399 SM) dianggap sebagai filsuf yang unik dan penuh misteri. Ia tidak pernah menulis apapun selama hidupnya. Pemikirannya diabadikan oleh murid-muridnya sebagai tulisan, salah satu muridnya adalah Plato. Sokrates memiliki ciri khas tidak suka menggurui. Ia selalu memiliki kesan ingin belajar dari siapapun yang ia temui. Sokrates tidak pernah menjawab dalam diskusi. Ia hanya melontarkan pertanyaan-pertanyaan hingga pada masa lawan debatnya menyadari argumen mereka yang lemah. Ia mengajukan pertanyaan dengan berjalan-jalan di Athena dan bertemu dengan siapapun. Sangat sederhana dan nyentrik. Salah satu perkataan yang dilontarkan Sokrates adalah:

"Athena itu seperti seekor kuda yang lembam dan akulah pengganggu yang menyengatnya agar beringas." 

Kalimat ini mengingatkan saya dengan salah satu guru ketika saya di duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA). Beliau seringkali berkata bahwa tugasnya bukanlah mengajar, melainkan mengganggu anak didiknya agar menjadi beringas menelan banyak pengetahuan. Barangkali jika beliau membaca tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa saya sepertinya ingin lagi untuk diganggu. Hahaha. Sokrates yang eksentrik itu meninggal akibat hukuman mati yang dijatuhkan oleh pemerintah yang menuduhnya sebagai sosok yang merusak generasi muda Athena. Sungguh memilukan.

Kali ini bukan sebuah surat yang diterima Sophie dari Alberto. Melainkan sebuah kaset video. Seorang pria dengan janggut hitam dan perawakan agak pendek serta mengenakan sebuah baret biru mulai berbicara dengan santai dan berinteraksi langsung dengan Sophie di balik layar. Apakah ia adalah Alberto? Sophie kebingungan sekaligus takjub. Sungguh aneh bin Ajaib.

Sang filsuf memperkenalkan sebuah tempat paling penting di Athena pada masa kuno. Acropolis; kota yang sering menjadi tempat para pemikir berdiskusi dan saling melontarkan pertanyaan. Tiba-tiba, dari balik layar video, seseorang yang disebut sang guru sebagai Plato mulai menanyai Sophie beberapa hal. Salah satu yang ditanyakan olehnya adalah:

"Bagaimana cara seorang tukang roti membuat lima puluh kue yang persis sama?" 

Sophie memikirkan jawaban ini dengan membayangkan bahwa ibunya selalu membuat kue jahe dengan cetakan. Artinya, tukang roti yang membuat lima puluh kue yang persis sama adalah dengan menggunakan cetakan.

Kali ini ia dikirimi lagi oleh gurunya melalui anjing bernama Hermes yang membawa sebuah amplop untuk Sophie. Di dalamnya, Alberto menjelaskan pada Sophie bahwa Plato menciptakan jalan filosofisnya sendiri imbas dari kematian Sokrates yang dihukum mati. Ia adalah sosok yang mengabadikan Sokrates dalam tulisan-tulisannya. Alberto melanjutkan bahwa jawaban atas pertanyaan lima puluh kue yang bisa terbentuk sama persis adalah karena menurut Plato, ada suatu realitas yang ia sebut sebagai "dunia ide" yang menyimpan "pola-pola" yang tidak berubah di balik berbagai peristiwa dan fenomena yang kita alami. Penjelasan yang lebih mudah untuk dipahami adalah Plato berasumsi bahwa setiap benda-benda di dunia ini memiliki hakikat yang sempurna yang tersimpan di dunia ide. Meskipun kue yang dicetak sama memiliki beberapa perbedaan, namun kita tetap menganggapnya sama, karena di benak kita telah terbayang bentuk kue yang dimaksud. Cukup berat ya bab ini hehehe.

Demikian saya hanya menyajikan beberapa filosof dari banyaknya filosof yang ada di Dunia Sophie. Saya rasa cukup menjadikan sampel dan motivasi bagi para pembaca tulisan ini untuk membaca novel luar biasa tersebut. Kali ini saya hanya akan membahas eksistensi Sophie dan "Dunia"-nya yang mungkin cukup membingungkan para pembaca.

Skeptisisme Jati Diri

Setelah mendapat pembelajaran dari gurunya perihal berbagai filosof era Helenisme, Abad Pertengahan, dan Renaisans, Sophie sekarang belajar langsung di rumah Alberto yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Saat ini ia sedang membahas seorang tokoh filsafat di masa Renaisans akhir, George Berkeley. Bagian menarik di bab ini adalah ketika gurunya berkata:

"Jadi, 'ada atau tiada' bukanlah satu-satunya pertanyaan. Pertanyaan lainnya adalah siapa kita ini. Apakah kita benar-benar manusia yang terdiri dari daging dan darah? Apakah dunia kita terdiri dari benda-benda nyata--atau apakah kita dikelilingi pikiran?"

Sampai pada tahap ini, saya mulai mengerti mengapa selama ini Sophie mengalami hal-hal aneh yang tidak mungkin diizinkan dalam realitas dunia nyata. Seperti bagaimana ia dikirim surat yang ditujukan untuk seorang gadis bernama Hilde, mendapati anjing sang guru berbicara padanya, pesawat yang membawa pesan "Selamat ulang tahun, Hilde" yang ditunjukkan padanya. Hal-hal aneh nan absurd ini mulai terpecahkan teka-tekinya ketika saya membaca bab ini. Pertanyaan "Apakah dunia kita terdiri dari benda-benda nyata?" membuat saya memiliki spekulasi awal bahwa keberadaan Sophie dan Alberto; gurunya, hanyalah perwujudan dari pikiran seseorang. Bagaimana bisa begitu? Mari kita lanjutkan.

Setelah bab Berkeley, cerita yang sepenuhnya baru dimulai. Kali ini bercerita dari sudut pandang gadis yang usianya sepantaran Sophie--14 tahun. Hilde Moller Knag terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berulang tahun yang ke-15 pada 15 Juni 1990. Tanggal kelahiran yang sama dengan Sophie Amundsend. Hilde melihat sebuah map berisi ratusan lembar halaman layaknya sebuah buku. Sebelumnya ayahnya--Albert Knag-- menjanjikan sebuah hadiah ulang tahun yang begitu Istimewa untuk Hilde. Sepertinya ini adalah hadiah itu.

Judul besar yang tertera di halaman pertama pada map itu adalah "Dunia Sophie." Pada bagian ini, spekulasi saya berubah menjadi asumsi yang kuat. Dunia Sophie yang dibaca oleh Hilde adalah cerita tentang anak perempuan bernama "Sophie Amunsend". Artinya, realitas di semesta Sophie dan Alberto hanyalah sebuah cerita buatan ayah Hilde. Fakta ini menjelaskan pada saya mengapa banyak surat dan ucapan kepada Hilde tertuju pada Sophie.

Di penghujung buku ini, Sophie dan Alberto sudah menyadari bahwa mereka hanya bagian dari pikiran dan imajinasi ayahnya Hilde. Sophie yang awalnya percaya bahwa ia hidup dalam realitas yang nyata, dipukul keras oleh kenyataan pahit bahwa dia hanyalah sebuah tokoh fiksi karangan penciptanya. Di lain sisi, Hilde juga merasa iba terhadap Sophie karena ia seperti dipermainkan oleh ayahnya. Kisah di buku ini diakhiri dengan Sophie dan Alberto yang berusaha memasuki realitas di mana Hilde dan ayahnya hidup. Sophie bisa melihat Hilde, namun Hilde tidak bisa melihatnya. Seperti ruh tanpa tubuh yang bergentayangan, Sophie berada satu dunia dengan karakter fiksi lainnya.

Begitulah perjalanan panjang Sophie mengarungi filsafat yang ternyata pelajaran tersebut sebenarnya ditujukan untuk Hilde oleh Ayahnya. Di ending tidak dijelaskan apapun perihal keberadaan Sophie setelahnya. Begitupun Hilde dan Ayahnya. Tapi saya punya kesimpulan yang cukup menarik bahwa Hilde dan ayahnya pun hanyalah karakter fiksi. Saya memiliki pandangan ini berdasarkan peristiwa ketika Sophie mampu melihat wujud penciptanya. Seakan-akan menjelaskan bahwa Hilde dan Sophie merupakan suatu wujud yang tercipta karena pikiran penulis. Ayah Hilde menciptakan Sophie, Jostein Gaarder menciptakan Hilde dan ayahnya. Sepertinya sosok yang jahil dan menjengkelkan adalah sang pencipta novel ini sendiri. Jostein Gaarder. 

Sophie fiktif?

Akhirnya saya menyadari mengapa novel unik ini diberi judul "Dunia Sophie". Tentunya karena semua hal yang dialami Sophie hanya terjadi di dunianya yang penuh ironi. Karya semacam ini mungkin bisa disebut sebagai karya semi-fiksi, karena tokoh-tokoh di dalam cerita menyadari bahwa mereka hanyalah sosok yang tak pernah ada. Tapi, ada satu hal yang bisa menegaskan bahwa Sophie dan segala tokoh di dunianya bukanlah sekadar khayalan. Cogito Ergo Sum atau bermakna 

"Aku berpikir, maka aku ada." 

Landasan berpikir yang dibangun oleh Rene Descartes sebagai salah satu filosof terbesar era modern. Lalu, apakah Sophie hanyalah segumpal khayalan? Atau malah makhluk tak kasat mata yang bisa berpikir?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun