Sang filsuf memperkenalkan sebuah tempat paling penting di Athena pada masa kuno. Acropolis; kota yang sering menjadi tempat para pemikir berdiskusi dan saling melontarkan pertanyaan. Tiba-tiba, dari balik layar video, seseorang yang disebut sang guru sebagai Plato mulai menanyai Sophie beberapa hal. Salah satu yang ditanyakan olehnya adalah:
"Bagaimana cara seorang tukang roti membuat lima puluh kue yang persis sama?"Â
Sophie memikirkan jawaban ini dengan membayangkan bahwa ibunya selalu membuat kue jahe dengan cetakan. Artinya, tukang roti yang membuat lima puluh kue yang persis sama adalah dengan menggunakan cetakan.
Kali ini ia dikirimi lagi oleh gurunya melalui anjing bernama Hermes yang membawa sebuah amplop untuk Sophie. Di dalamnya, Alberto menjelaskan pada Sophie bahwa Plato menciptakan jalan filosofisnya sendiri imbas dari kematian Sokrates yang dihukum mati. Ia adalah sosok yang mengabadikan Sokrates dalam tulisan-tulisannya. Alberto melanjutkan bahwa jawaban atas pertanyaan lima puluh kue yang bisa terbentuk sama persis adalah karena menurut Plato, ada suatu realitas yang ia sebut sebagai "dunia ide" yang menyimpan "pola-pola" yang tidak berubah di balik berbagai peristiwa dan fenomena yang kita alami. Penjelasan yang lebih mudah untuk dipahami adalah Plato berasumsi bahwa setiap benda-benda di dunia ini memiliki hakikat yang sempurna yang tersimpan di dunia ide. Meskipun kue yang dicetak sama memiliki beberapa perbedaan, namun kita tetap menganggapnya sama, karena di benak kita telah terbayang bentuk kue yang dimaksud. Cukup berat ya bab ini hehehe.
Demikian saya hanya menyajikan beberapa filosof dari banyaknya filosof yang ada di Dunia Sophie. Saya rasa cukup menjadikan sampel dan motivasi bagi para pembaca tulisan ini untuk membaca novel luar biasa tersebut. Kali ini saya hanya akan membahas eksistensi Sophie dan "Dunia"-nya yang mungkin cukup membingungkan para pembaca.
Skeptisisme Jati Diri
Setelah mendapat pembelajaran dari gurunya perihal berbagai filosof era Helenisme, Abad Pertengahan, dan Renaisans, Sophie sekarang belajar langsung di rumah Alberto yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Saat ini ia sedang membahas seorang tokoh filsafat di masa Renaisans akhir, George Berkeley. Bagian menarik di bab ini adalah ketika gurunya berkata:
"Jadi, 'ada atau tiada' bukanlah satu-satunya pertanyaan. Pertanyaan lainnya adalah siapa kita ini. Apakah kita benar-benar manusia yang terdiri dari daging dan darah? Apakah dunia kita terdiri dari benda-benda nyata--atau apakah kita dikelilingi pikiran?"
Sampai pada tahap ini, saya mulai mengerti mengapa selama ini Sophie mengalami hal-hal aneh yang tidak mungkin diizinkan dalam realitas dunia nyata. Seperti bagaimana ia dikirim surat yang ditujukan untuk seorang gadis bernama Hilde, mendapati anjing sang guru berbicara padanya, pesawat yang membawa pesan "Selamat ulang tahun, Hilde" yang ditunjukkan padanya. Hal-hal aneh nan absurd ini mulai terpecahkan teka-tekinya ketika saya membaca bab ini. Pertanyaan "Apakah dunia kita terdiri dari benda-benda nyata?" membuat saya memiliki spekulasi awal bahwa keberadaan Sophie dan Alberto; gurunya, hanyalah perwujudan dari pikiran seseorang. Bagaimana bisa begitu? Mari kita lanjutkan.
Setelah bab Berkeley, cerita yang sepenuhnya baru dimulai. Kali ini bercerita dari sudut pandang gadis yang usianya sepantaran Sophie--14 tahun. Hilde Moller Knag terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah berulang tahun yang ke-15 pada 15 Juni 1990. Tanggal kelahiran yang sama dengan Sophie Amundsend. Hilde melihat sebuah map berisi ratusan lembar halaman layaknya sebuah buku. Sebelumnya ayahnya--Albert Knag-- menjanjikan sebuah hadiah ulang tahun yang begitu Istimewa untuk Hilde. Sepertinya ini adalah hadiah itu.
Judul besar yang tertera di halaman pertama pada map itu adalah "Dunia Sophie." Pada bagian ini, spekulasi saya berubah menjadi asumsi yang kuat. Dunia Sophie yang dibaca oleh Hilde adalah cerita tentang anak perempuan bernama "Sophie Amunsend". Artinya, realitas di semesta Sophie dan Alberto hanyalah sebuah cerita buatan ayah Hilde. Fakta ini menjelaskan pada saya mengapa banyak surat dan ucapan kepada Hilde tertuju pada Sophie.
Di penghujung buku ini, Sophie dan Alberto sudah menyadari bahwa mereka hanya bagian dari pikiran dan imajinasi ayahnya Hilde. Sophie yang awalnya percaya bahwa ia hidup dalam realitas yang nyata, dipukul keras oleh kenyataan pahit bahwa dia hanyalah sebuah tokoh fiksi karangan penciptanya. Di lain sisi, Hilde juga merasa iba terhadap Sophie karena ia seperti dipermainkan oleh ayahnya. Kisah di buku ini diakhiri dengan Sophie dan Alberto yang berusaha memasuki realitas di mana Hilde dan ayahnya hidup. Sophie bisa melihat Hilde, namun Hilde tidak bisa melihatnya. Seperti ruh tanpa tubuh yang bergentayangan, Sophie berada satu dunia dengan karakter fiksi lainnya.