Mohon tunggu...
Erza Agistara Azizah
Erza Agistara Azizah Mohon Tunggu... Psikolog - Psikologi

Senang mempelajari ilmu psikologi

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Membangun Keluarga yang Resilien untuk Mengatasi Konflik Keluarga

13 November 2022   12:32 Diperbarui: 13 November 2022   12:36 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Situasi pandemi yang terjadi diseluruh belahan dunia saat ini berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya dalam bidang finansial, kesehatan, pendidikan, ataupun hubungan interpersonal individu satu dengan yang lainnya. Sulitnya berhubungan secara langsung tentunya juga akan berdampak pada kualitas hubungan interpersonal seseorang. Pekerjaan yang dilakukan dirumah juga berdampak pada kualitas hubungan seseorang dengan keluarganya. Rumah bukan lagi  dianggap sebagai tempat untuk beristirahat dari pekerjaan, namun juga tempat untuk melakukan berbagai aktivitas, misalnya sekolah, bekerja, berolahraga, dll.

Keluarga tentu menjadi sistem terdekat bagi individu, namun kehidupan yang serba digital ini membuat hubungan keluarga mengalami dinamika pasang surut dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Tingkat stres dan kecemasan juga akan meningkat, sehingga berdampak pada harmonisasi keluarga. Konflik-konflik yang terjadi dalam keluarga merupakan hal alamiah yang wajar terjadi.

Puspita (2018) menjelaskan bahwa konflik merupakan peristiwa yang bisa dikatakan positif atau negatif, tergantung dari bagaimana sudut pandang seseorang memandangnya. Konflik positif dapat diartikan sebagai perselisihan yang terjadi antara dua orang atau lebih dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan yang lebih baik sehingga tidak ada perasaan emosi negatif yang muncul pada masing-masing individu. Namun, konflik negatif dapat diartikan sebagai perselisihan antara dua orang atau lebih untuk mendapatkan sebuah kemenangan, sehingga terdapat individu yang mengalami emosi negatif.

Fenomena-fenomena tentang konflik-konflik keluarga kerap dijumpai pada situs berita-berita nasional dan/atau tersebar luas di media sosial. Fenomena tersebut antara lain berisikan tentang perselingkuhan, pembunuhan, KDRT, tak dipungkiri juga bahwa angka perceraian melonjak tinggi semenjak pandemi. Hal-hal yang memicu terjadinya konflik ini umumnya adalah permasalahan ekonomi keluarga, lunturnya komitmen dalam berkeluarga, komunikasi yang buruk, dan banyak hal lain yang dapat menjadi pemicunya. Konflik yang terjadi dalam keluarga pun beragam, ada konflik antara pasangan suami dan istri, konflik antara orang tua dengan anaknya, konflik antar saudara, dll.

Perubahan pesat yang terjadi dalam budaya kehidupan ini harus diimbangi dengan sikap adaptif yang baik. Perilaku adaptasi ini akan lebih mudah tercipta apabila terdapat dukungan yang baik dari keluarga. Keluarga harus bersikap resilien untuk menanggapi situasi pandemi yang penuh tantangan ini. Resiliensi keluarga merupakan kemampuan keluarga untuk bertahan serta bangkit dalam situasi yang sulit dan penuh dengan keterpurukan, sehingga keluarga dapat meneruskan kembali kehidupannya. Keluarga yang resilien dapat dibangun dengan menyatukan tujuan-tujuan keluarga sehingga mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh keluarga tersebut. Optimalisasi potensi keluarga ini nantinya dapat membantu keluarga mengatasi masa-masa sulit yang dihadapi.

Walsh (2006) menjelaskan bahwa terdapat tiga dimensi dalam membentuk resiliensi keluarga, antara lain sistem keyakinan (belief system), pola organisasi (organizational patterns), dan proses komunikasi (communication process). Hal yang utama untuk membentuk resiliensi keluarga adalah sistem keyakinan atau belief system (Walsh, 2006) . Masing-masing keluarga tentunya memiliki nilai-nilai yang akan menjadi belief system yang kemudian menjadi dasar bagaimana anggota dikeluarga tersebut bertingkah laku. Walsh (2016) menjelaskan bahwa belief system ini akan menjadi komponen utama dalam membangun resiliensi keluarga karena dapat memberikan pandangan positif, spiritualis, dan memberi makna pada masa-masa krisis.

Keluarga yang resilien ini dapat dibangun apabila seluruh anggota keluarga terlibat, artinya seluruh upaya tidak hanya dibebankan kepada satu orang saja. Jika suatu keluarga tertimpa masalah yang sulit diatasi, misalnya permasalahan ekonomi, hal yang perlu dilakukan adalah mengkomunikasikan hal ini dengan baik dengan keluarga, lalu mencari bersama solusi yang akan dilakukan atau keluarga dapat menemukan sebuah solusi yang kolaboratif. Selain itu, perlu adanya pengorganisiran yang dilakukan dalam keluarga, misalnya dalam hal pembagian tugas dan tanggung jawab rumah tangga. Kemudian, hal lainnya yang dapat membangun keluarga yang resilien adalah belief system tadi, nilai-nilai baik yang tertanam dalam keluarga sejatinya akan memberikan pandangan positif individu tentang sebuah masa sulit yang sedang terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun