Tepat tanggal 17 Februari 2016 kemarin, kota Solo diberi anugerah oleh Tuhan untuk bertambah usia menjadi 271 tahun. Ya, meskipun umur hanya masalah angka, namun setidaknya ada harapan-harapan baru sebagai hasil representatif perkembangan kota dari berbagai sudut pandang. Seiring perkembangan jaman, Kota Solo tak pernah ketinggalan dalam hal pembangunan dari sarana umum sampai korporasi yang masuk lewat bidang bidang usaha sebagai pendukung masyarakat era konsumtif kelas menengah dan atas yang konon berargumentasi sebagai penggerak roda ekonomi dengan mempekerjakan karyawan pribumi dan mensejahterakan rakyat lewat pajak.
Di berbagai sudut sampai pusat kota, banyak dibangun hotel-hotel megah yang menyuguhkan hiburan artis lokal maupun manca yang tiketnya setara bahkan lebih dari UMK. Wedangan-wedangan menjelma menjadi komoditas yang disulap menjadi tempat nongkrong berkelas dengan suguhan suasana etnik kelas pelancong. Namun, dominasi wedangan tradisional tetap kokoh tegak berdiri dibawah bayang-bayang kompetitor yang kelebihan modal. Wedangan tradisional bertahan dengan  tidak merubah esensinya sebagai hidangan kelas bersahaja, menjual dengan harga yang jauh lebih masuk akal dan tidak mengakali . Memang Kota Solo seharusnya populer dengan biaya hidup murah. Rasanya, kota ini sudah terlewat lengkap dengan berbagai dinamika, dari isu sarang teroris sampai nama-nama besar pemimpin negara.Entah, dari masa ke masa selalu lahir orang-orang berpengaruh dari kota dengan wilayah teritori yang  tergolong kecil ini. Terlepas dari orang-orang yang berpengaruh ini, Kota Solo berkembang sangat pesat. Pembangunan sepertinya juga sebanding dengan beberapa kawasan yang sengaja direhab dan tidak meninggalkan nilai-nilai tradisi sebuah bangunan, kecuali pabrik es yang sudah menjadi hotel berbintang dengan desain mirip Pasar Mangga Dua yang terletak di depan stasiun Purwosari itu. Perputaran uang di kota ini juga di klaim lebih besar dari kota sebelahnya yang notabene adalah ibukota provinsi. Sungguh, kota Solo dan kota-kota yang mengelilinginya mempunyai nilai bisnis yang sangat tinggi sehingga investor berbondong-bondong melakukan agresi. Dengan semakin macetnya kota Solo, di jalan-jalan utama, membuktikan bahwa warga yang mampu membeli kendaraan pribadi semakin banyak dan cukup konsumtif karena mungkin jarak tempuh dari daerah satu ke daerah lain cukup dekat, bisa disinyalir juga para pendatang mengambil peran dalam kondisi ini. Padahal, sarana transportasi di Kota Solo ini cukup lengkap dan mungkin paling unik diantara kota lain. Bisa kita lihat ada Batik Solo Trans, kemudian selebihnya adalah transportasi wisata seperti, Bus Tingkat Werkudoro, Commuter Batara Kresna dan Sepur Klutuk. Semua moda transportasi ini melewati jalan-jalan utama kota dan menjadi keunikan sendiri bagi wisatawan (harapannya).Â
Fenomena Instagram mungkin juga bertanggung jawab atas maraknya cafe maupun resto yang menawarkan gaya kebarat-baratan dan konsep unik. Saya selalu berpikir positif atas perkembangan kota menjadi lebih baik, namun tetap beradap. Ada nilai-nilai sejarah dan kearifan lokal yang harus selalu dijaga. Budi Pekerti dan rasa saling menghormati satu sama lain adalah kunci dari keberagaman. Sangat luar biasa ketika tahun 1998, isu sinisme atas sebuah etnis yang pernah memporak-porandakan kota ini, sudah melebur menjadi semangat gotong royong untuk mempunyai kesamaan misi, yaitu menjadikan kota ini lebih dikenal dengan keindahan, keramahan dan masyarakatnya yang memegang teguh prinsip-prinsip kebhinekaan, sehingga roda ekonomi berjalan dengan lancar dan mampu mensejahterakan. Maka, bagi kita warga Solo maupun bukan, mari bersama menjaga kota ini dari apapun yang akan memecah belah rasa persatuan atas nama kepentingan, karena Solo adalah bagian dari kita, Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H