Celah di pariwisata, Bali - Membuat agenda liburan saat ini sangatlah praktis dan cepat. Rekomendasi destinasi wisata pun bisa diakses dengan mudah melalui internet melalui platform sosial media ataupun jasa penjualan tiket perjalanan.
"Praktis dan murah!", merupakan dua kata yang bisa dikunci apabila bertanya kepada masyarakat hal apa yang membuat mereka memutuskan menggunakan platform OTA. Memang dalam hal ini pelanggan adalah pihak yang paling diuntungkan.
Tapi apakah pihak penyedia Jasa Wisata khususnya di wilayah Bali semuanya diuntungkan oleh peran OTA ini?
OTA Bagai Pedang Bermata DuaÂ
Ketika sudah memutuskan untuk terjun ke dunia bisnis, maka harus mempersiapkan diri saat menghantam kerikil, batu hingga terjun ke jurang yang tajam sekalipun. Begitulah kira-kira gambaran apabila pebisnis berhadapan dengan lawan besar yang memiliki power lebih besar dan mampu menguasai pasar.
Kehadiran OTA ini memang dirasa memang banyak keuntungannya bagi para pebisnis kelas besar karena mendapatkan eksposur dan pesanan dari konsumen dengan nominal yang tidak kecil. Namun bagaimana dengan bisnis lokal yang baru akan berkembang?
Bisa dipastikan jawabannya berbeda, bagi para pebisnis yang lokal kehadiran OTA ini bagai 'pedang bermata dua' yang berpotensi menggerus margin keuntungan mereka. Mungkin dalam waktu dekat hal ini tidak begitu berdampak namun lambat laun bisnis lokal ini bisa-bisa menjadi stuck karena tidak bisa melakukan pengembangan bisnis baik dalam pengadaan barang atau pun pengembangan kemampuan dari para karyawan. Jika hal ini terjadi, maka bisa dipastikan bisnis tersebut tidak bisa memberikan pelayanan lebih kepada pelanggan, seperti yang bisa ditebak imbas akhir dari sini bisnis harus tutup karena mendapatkan profit yang tipis.
Â
Monopoli Harga, Hingga Penggunaan Aset Elektronik Tanpa Izin
Seperti yang telah diketahui, bahwa OTA memang dikenal dengan harganya yang murah. Bagi sisi konsumen ini tentu saja menguntungkan, namun belum tentu bagi para penyedia jasa wisata. OTA ini bermain harga dengan cara meminta harga paling murah kepada jasa wisata, kemudian para OTA ini bisa bermain marketing psikologi untuk harga yang dipasang di platform mereka.
Tidak berhenti di situ saja, OTA ini bahkan memasang asset elektronik berupa foto dari pihak penyedia wisata tanpa adanya persetujuan sebelumnya. Kondisi ini diperparah dengan pihak OTA yang mengganti logo penyedia jasa tersebut yang tertera di foto dengan logo milik OTA tersebut. Tentu saja ini merupakan hal yang dianggap tidak beretika karena menggunakan sesuatu yang bukan miliknya untuk keperluan komersial adalah tindakan yang akan berhadapan dengan hukum yaitu pasal 32 UU ITE. Dalam pasal ini menjelaskan aturan yang melarang penggunaan mengubah suatu informasi informasi berupa elektronik milik orang lain.