Usai Ibu Kota Afghanistan, Kabul, jatuh kembali ke tangan kelompok Taliban tepatnya pada Minggu (15/8/2021) -- negeri ini diproyeksikan mengalami krisis multidimensi termasuk potensi krisis ekonomi (suara.com, 18/8/2021). Hal ini dilatarbelakangi banyaknya respon kontra dunia internasional seperti Amerika Serikat, dan negeri-negeri Muslim juga warga Afghanistan sendiri atas pendudukan Taliban. Imbasnya, lembaga-lembaga bantuan dana internasional pun turut memblokir akses dana ke Taliban.
Seperti IMF yang menegaskan tidak akan mencairkan dana US$450 juta atau Rp 6,49 triliun (kurs Rp 14.412/USD) yang dijadwalkan dikirim pekan depan. Dikutip dari cnnindonesia.com (19/8/2021), IMF mengatakan Afghanistan tidak dapat mengakses dana Hak Penarikan Khusus atau Special Drawing Rights karena belum mendapat pengakuan atas pemerintahannya sekarang. Jika ditelisik lebih lanjut, langkah itu tidak lain juga diaktori AS lewat Departemen Keuangannya yang tidak rela melepaskan dana setelah pemerintahan Afghanistan yang didukung AS digulingkan kelompok muslim Taliban.
Hal serupa kemudian diikuti World Bank (Bank Dunia). Dilansir dari kompas.com (25/8/2021), World Bank sebelumnya bermaksud mengirim bantuan dana lebih dari 5,3 USD untuk Program Dana Rekonstruksi Afghanistan.Â
Dengan alasan kekhawatiran atas nasib perempuan di bawah Taliban, saat ini World Bank menangguhkan dukungan bantuan tersebut. Hingga kini kondisi dalam negeri Afghanistan makin guncang dengan ditutupnya bank-bank dan bursa keuangan utama Sarai Shahzada di Kabul, serta dikosongkannya ATM di kota-kota.Â
Bersamaan dengan kondisi ekonomi yang demikian, krisis kemanusiaan juga menjadi polemik. Penduduk Afghanistan terancam kelangsungan hidupnya karena sulitnya akses uang, makanan, bahan bakar, hingga tempat tinggal.
Demikian yang terjadi pada negeri dengan sumber cadangan mineral cukup tinggi taksirannya. Seperti diketahui, Afghanistan menyimpan cadangan mineral senilai hampir 1 triliun USD. Dan salah satu yang paling utama, terdapat cadangan lithium terbesar dunia. (cnnindonesia.com, 19/8/2021) Bukan tidak mungkin jika negara-negara asing tidak tertarik menguasai potensi besar ini. Mengingat cadangan mineral utamanya tersebut dibutuhkan bagi perekonomian abad 21. Seperti ungkapan Dubes Afghanistan di Washington DC bahwa mantan presiden AS Donald Trump yang baru saja digulingkan mengaku sangat tertarik dengan potensi ekonomi Afghanistan. Pada pertemuan di Gedung Putih Trump juga pernah mendesak agar AS harus menuntut bagian dari kekayaan mineral Afghanistan sebagai timbal balik atas bantuan AS untuk pemerintah Afghanistan.
Cukup logis menjelaskan alasan negara adidaya pun negara-negara asing menjalin kerjasama hingga turut mengintervensi urusan dalam negeri suatu negara. Seperti halnya kasus Afghanistan ini. Dengan entengnya suatu negara kapitalis menugaskan ratusan ribu pasukan militernya dan menghabiskan 45 miliar dolar per tahun secara cuma-cuma. Tentu selain alasan perluasan kekuasaan/pelebaran pengaruh, jelas orientasi materi yang disasar.
Untuk itu, sejak misi penggulingan Taliban di rezim pertamanya (2001) oleh Barat -- yang dipimpin AS - berhasil, AS terus memperkuat posisi dengan menambah ribuan pasukan militer. Hingga kemudian menarik kembali pasukan secara bertahap setelah terbunuhnya Osama bin Laden dan juga usai Perjanjian Doha yang diikuti penguasaan Afghanistan oleh rezim kedua Taliban.
Sanksi Ekonomi AS terhadap Taliban
Salah satu tantangan terbesar bagi pemerintahan Taliban adalah krisis uang tunai di negara tersebut. Taliban kekurangan akses ke miliaran dollar dari bank sentral mereka dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang akan membuat negara itu tetap berjalan selama pergolakan yang bergejolak. Dana tersebut sebagian besar dikendalikan oleh AS dan lembaga internasional.