Mohon tunggu...
Erwin Ma
Erwin Ma Mohon Tunggu... Lainnya - Founder Leadershub Sulsel

"Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS. Muhammad 47: Ayat 7)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Menguji Konsep Manusia sebagai Makhluk Rasional

11 Januari 2023   16:55 Diperbarui: 5 Desember 2023   20:48 1776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Kita mulai dari memahami konteks 'rasional' yang disematkan pada manusia. Secara garis besar, rasional merupakan cara berfikir sistematis yang sesuai dengan alasan yang benar, sesuai akal sehat. Tindakan yang berdasarkan rasionalitas jauh dari pertentangan akal budi. Pandangan paling mendasar adalah karena hanya manusia yang memiliki akal budi dari semua makhluk dan benda-benda bumi dan langit.

Selanjutnya kita uji teori ini pada tindakan nyata dan kondisi bermasyarakat lampau dan hari ini, apakah benar manusia adalah makluk yang betul-betul mengedepankan rasionalitasnya? 

Dalam kenyataannya tidak sedikit tindakan manusia bertentangan dengan rasionalitas.  Berbagai bentuk tindakan tidak rasional seperti kekerasan, dan kejahatan, adalah satu diantara bukti nyata bahwa manusia tidak selalu hidup dan bertindak mengedepankan rasionalitas. 

Rasional hanyalah potensi yang dimiliki manusia sebagai kodrat, maka dua poros hidup bisa saja terjadi, yang pertama hidup damai dan manusiawi dengan memaksimalkan potensi rasional yang dimiliki  atau tindakan dalam hidup berdasar pada rasionalitas. 

Kedua, hidup ditengah kerancuan berpikir karena tidak mengedepan rasionalitas dalam bertindak. Kehidupan akan lebih dekat pada kekerasan, kesenang-wenangan, ketidakadilan karena pokok pikiran tidak sesuai dengan akal budi, potensi yang lebih dominan dipakai adalah potensi animal power (kekuatan kebinatangan) dalam diri manusia. 

Sejarah juga mencatat sampai hari ini tindakan-tindakan irasional dan tidak manusiawai sangat rentan terjadi, manusia memilih untuk tunduk pada kemalasan dan ketidakinginan untuk memperjuangkan nilai-nilai rasional. Manusia tunduk pada nafsu-nafsu individual  yang bersumber dari potensi 'kebinatangan'. Pragmatis dan iming-iming hidup damai dengan hidup sendiri jadi pilihan alternatif tanpa memikirkan kehidupan bersama yang damai dengan prinsip rasionalitas dan berkeadilan.

Menurut para ilmuwan sosial persoalan pertentangan dan konflik di masyarakat dunia memang mengalami pelonjakan secara terus menerus. Konflik, pertentangan dan masalah-masalah sosial mengarah kepada kesimpulan adanya kelas-kelas sosial atau kesenjangan antara lapisan-lapisan masyaarakat yang berakibat jauh dari kehidupan damai dan berkeadilan. Kehidupan hanya diwarnai dengam pertengkaran dan kekerasan.

Konflik-konflik dunia yang terjadi bisa berupa perang yang bersumber dari ideologi kebangsaaan (jiwa nasionalisme). Perang dunia I hingga perang dunia II memang merupakan yang paling besar karena melibatkan banyak negara dan korban jiwa juga diangka yuang terlalu besar. Konflik-konlik lain seperti sentimen etnis, agama dan suku juga berada pada deretan konflik yang memakan korban jiwa. Salah satu pemikir Islam seperti Ibn Khaldun memetakan penyebab terjadinya konflik dan kekerasan. Pertama bersumber dari sifat lahiriah manusia yang berpotensi melakukan tindakan kekerasan. Kedua, bersumber dari kegagalan struktur masyarakat dalam menciptakan kehidupan yang damai dan egaliter.

Konflik dan pertentangan yang terjadi dimasyarakat sebenarnya bukan hanya tugas individu tetapi tugas yang semua pihak untuk mewujudkan kehidupan yang damai.

Bukan sebuah pekerjaan kecil untuk mewujudkan hal tersebut, banyak para tokoh-tokoh terkemuka mencoba merumuskan konsep damai dan upaya-upaya kembali ke rasionalitas dengan menggunakan akal budi dalam bertindak. Salah satu tokoh filsafat yang Erick Will yang berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan adalah tindakan yang tidak mausiawi karena manusia yang memaknai dirinya sebagai makhluk sosial tentu tidak akan melakukan tindakan kekerasan. 

Menurut Will jalan yang harus ditempuh untuk menyelesaikan sebuah konflik adalah dialog, bukan kekerasan. Akal budi yang dimiliki manusia seharusnya dimanfaatkan sebagai potensi untuk mencapai tingkatan yang rasional yang terjauh dari tindakan kesewenang-wenangan dan kekerasan.

Tidak bisa dinafikan  bahwa cita-cita hidup damai secara bersama tanpa sebuah kekerasan mungkin saja tidak akan tercapai, tapi sebagai individu yang dikaruniai sebuah akal budi untuk mencapai sebuah tingkatan kebenaran, sudah sepatutnya memperjuangkan keadilan dan kebenaran.

Lagi-lagi kita diuji oleh kehidupan pragmatis dan iming-iming kepuasan pribadi. Tapi yang pasti segala usaha memperjuangkan kebenaran dan keadilan adalah sebuah langkah lebih mendekat kepada Sang pemilik kebenaran dan keadilan yang sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun