Mohon tunggu...
erwin afian
erwin afian Mohon Tunggu... -

sendiri setia pada sunyi berteman sepi dalam bayang-bayang Tuhannya.......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku yang Mati Dalam Tawuran Kemarin

26 September 2012   22:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:38 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

pagi itu terasa kopi nggak senikmat biasa. padahal gula telah larut dalamnya dua sendok seperti biasa. namun getirnya masih kuat terasa. pagi itu senyum bunda juga nggak terlihat seperti biasa. terasa hangat nyaman lebih dari biasa. pagi itu nggak enak hati. padahal nggak sedang galau hati. baru juga semalam kekasihku menelpon  bercanda manja. namun rasa sesak yang belum pernah kurasa tak juga pergi. pagi itu aku berangkat sekolah setelah mencium hangat tangan bunda seperti biasa. tapi tak seperti biasa. bunda memelukku begitu erat begitu lama. seakan anaknya takkan lagi pulang kembali. pagi itu wajah bunda terlihat sendu. di sudut matanya terlihat menggenang airmata. entah mengapa.

setelah pagi berlalu. aku mengambil siang untuk menggantikannya. lengkap dengan matahari beserta teriknya. sekolah kutinggalkan membekas telapak kakiku di sana. aroma khas metromini menyambutku menuju kepulanganku. sementara bangku kosong memberikan ruangnya untuk dudukku. waktu bergulir berdetak seiring rasa kantuk setelah penat belajar tadi. belum lagi terlelap. suara derit rem menjerit menghentikan laju rodanya. lalu suara teriakan itu terdengar bising memekakkan telingaku. segerombolan pelajar sebayaku memaksa masuk sambil mengacungkan senjata. caci maki mulut mereka memerahkan telinga. kulihat kebencian di wajah mereka. kulihat merah penuh amarah.

aku berdiri dari dudukku. sesaat waktu berlalu. dan terasa panas pisau itu. menghujam tubuhku. kudekap lukaku. kubawa lari pulang kembali. darah melukis tiap luka di atas hitam panas aspalnya. aku hanya ingin pulang. aku takut bunda cemas mencariku.

namun kaki ini terasa kian berat membebani. aku tersungkur jatuh dalam ruang gelap. kosong. tanpa cahaya. tanpa udara. hanya bau tanah mulai tercium saat sedikit demi sedikit terasa menimbunku.......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun