Mohon tunggu...
Erwindya Adistiana
Erwindya Adistiana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning by Experience

Penulis pemula yang tertarik pada hal-hal seperti sejarah, militer, politik dan yang lain-lannya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Akankah Amerika Kembali ke Era Trump?

29 Juli 2022   11:04 Diperbarui: 29 Juli 2022   15:05 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada hari Sabtu tanggal 7 November tahun 2020, Joseph Robinette Biden Jr., atau yang akrab disapa "Joe Biden" dan merupakan mantan Senator dari Negara Bagian Delawere dan juga Wakil Presiden Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, pada akhirnya berhasil memenangkan Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2020 dan terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat yang ke-46. 

Terpilihnya Biden sebagai Presiden juga seakan menandai suatu harapan baru, di mana dengan terpilihnya Biden sebagai Presiden Amerika Serikat juga menandai berakhirnya kepresidenan Donald Trump yang telah menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat dari Januari tahun 2017 setelah memenangkan Pemilu tahun 2016 dan semasa masa kepemimpinan Trump sebagai Presiden banyak diwarnai dengan kontroversi. 

Tidak heran jika menangnya Biden pada pemilu tahun 2020 merupakan suatu pertanda akan harapan baru setelah 4 tahun Amerika berada di bawah kepemimpinan yang penuh akan hal-hal yang kontroversial dan sarat dengan pemberitaan-pemberitaan yang negatif akibat ulah dan tingkah Trump.

Bahkan di hari-hari terakhir kepemimpinan Trump, satu lagi hal kontroversi pun kembali terjadi dan akan terus melekat erat pada sejarah Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Trump, di mana para pendukung Trump menyerbu Gedung Capitol pada tanggal 6 Januari tahun 2021 guna menggagalkan sertifikasi kemenangan Biden sebagai Presiden Amerika Serikat pada pemilu tahun 2020. Trump diketahui telah memobililasisi para pendukungnya guna bertindak anarkis hingga berujung pada penyerbuan Gedung Capitol dan hal ini pula-lah yang menuntun pada "impeachment" atau pemakzulan kedua kalinya Trump sebagai Presiden. Trump juga tercatat dalam sejarah Amerika Serikat sebagai Presiden Amerika pertama yang dimakzulkan hingga dua kali.

Tidak heran ketika di hari pelantikan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat, banyak berita-berita terutama berita Internasional yang memberitakan suatu harapan baru setelah berakhirnya kepemimpinan Trump yang sarat akan hal-hal kontroversial dan kerap menyindir negara-negara lain. Tajuk berita yang banyak ditampilkan adalah "America is Back" atau Amerika telah kembali di bawah kepmimpinan yang tepat.

Biden ketika diambil sumpahnya sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2021 | Sumber Gambar: Getty Images
Biden ketika diambil sumpahnya sebagai Presiden Amerika Serikat pada 20 Januari 2021 | Sumber Gambar: Getty Images

Namun sayangnya lambat laun kepemimpinan Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat seakan seperti meredup. Suatu harapan akan kepemimpinan baru yang akan membawa suatu perubahan yang lebih baik seakan seperti berubah menjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Bahkan bayang-bayang akan kembalinya Trump sebagai Presiden Amerika Serikat seakan seperti kembali menghantui, karena rupanya apa yang diharapkan oleh sebagian besar rakyat Amerika dari kepresidenan Biden sepertinya tidak banyak terjadi.

Merosotnya popularitas Biden sebagai Presiden Amerika Serikat rupanya juga seperti membawa dampak buruk bagi Partai Biden, yaitu Partai Demokrat. Karena pada November tahun 2022 ini, Partai Demokrat harus menghadapi "Mid-Term Election" atau pemilu paruh waktu yang merupakan pemilu untuk memperebutkan kursi di legislatif yaitu Kongress dan Senate Amerika Serikat dan juga kursi kepala daerah di beberapa negara bagian. 

Baca juga: The Bradley Effect

Sayangnya meredupnya pamor Biden sebagai Presiden Amerika Serikat rupanya juga akan berdampak buruk kepada Partai Demokrat pada mid-term election November tahun 2022 ini, karena Partai Demokrat yang merupakan Biden sendiri diprediksi akan mengalami kekalahan yang cukup signifikan pada pemilu mid-term election ini dan kemungkinan terburuknya adalah Partai oposisi yaitu Partai Republican akan merebut kekuasaan baik di Kongress maupun Senate atau bahkan keduanya. Sedangkan Trump sendiri masih memiliki pengaruh besar di Partai Republican karena Trump yang notabene masih populer.

Hal ini-lah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai pertanyaan, salah satunya adalah akankah Amerika Kembali ke Era Trump? Dan lantas mengapa Biden yang tadinya diharapkan membawa suatu harapan yang lebih baik dibandingkan Trump, mengapa justru kontradiktif dari harapan tersebut?


Merosotnya Approval Rating Biden

Grafik peringkat persetujuan terhadap kinerja Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat | Sumber Gambar: ipsos.com
Grafik peringkat persetujuan terhadap kinerja Joe Biden sebagai Presiden Amerika Serikat | Sumber Gambar: ipsos.com

Joe Biden sepertinya harus menghadapi realita pahit, bahwa "approval rating" atau tingkat persetujuan rakyat Amerika akan Kepresidenan Biden merosot sangat tajam. Berdasarkan tajuk berita dari laman situs berita "Newsweek" hingga bulan July tahun 2022 atau hampir setahun setengah setelah Biden menduduki kursi Kepresidenan Amerika Serikat, approval rating Biden hanya berada di angka 39%. Sedangkan pendahulu Biden, Trump masih memiliki angka approval rating sebesar 41,8% pada bulan July 2018 atau setahun setelah Trump menjabat sebagai Presiden. Walaupun hanya berbeda tipis, namun Trump masih memliki angka approval rating yang lebih tinggi daripada Biden pada masa satu tahun setengah setelah keduanya menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat.

Jika dibandingkan dengan Trump, Biden memang adalah seorang politikus senior yang memiliki pengalaman dan jam terbang yang sangat tinggi dalam dunia politik. Bagaimana tidak, Biden telah menjabat selama hampir 36 tahun sebagai Senator Amerika Serikat mewakili negara bagian Delawere. Ketika menjabat sebagai Senator, Biden juga sempat menduduki kursi sebagai ketua komite-komite yang memiliki peran cukup signifikan di Senate Amerika Serikat, seperti ketua "Senate Judiciary Committee" dari tahun 1987 hingga 1995 dan juga ketua "Senate Foreign Relation Committee" dari tahun 2001 hingga 2003 dan dari tahun 2007 hingga 2009. 

Biden juga sempat menjabat selama 8 tahun sebagai Wakil Presiden Barack Obama dari tahun 2009 hingga 2017. Tetapi mengapa justru ketika menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat, Biden justru mendapat approval rating yang lebih rendah dibanding Trump yang notabene tidak memiliki pengalaman dibidang politik, bahkan tidak pernah menduduki kursi politik sama sekali?

Jika dilihat-lihat kembali Kepresidenan Joe Biden memang banyak diwarnai dengan serangkaian peristiwa dan permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan approval rating Joe Biden merosot. Ketika baru saja menjabat sebagai Presiden di hari pertamanya, Biden langsung memberhentikan proyek "Keystone Pipeline" atau yang juga dikenal sebagai "XL Pipeline" yang merupakan pipa minyak yang menyambungkan Amerika Serikat dan Kanada. Langkah Biden ini sontak mendapat kecaman dari kubu Partai Republican karena membatalkan proyek ini. Bahkan akibat proyek ini dihentikan, tidak sedikit pula pekerja-pekerja di Keystone Pipeline yang harus kehilangan Pekerjaan.

Kepanikan yang terjadi di Bandara Kabul ketika evakuasi pasca ditariknya pasukan Amerika dari Afghanistan berlangsung | Sumber Gambar: airforcemag.com
Kepanikan yang terjadi di Bandara Kabul ketika evakuasi pasca ditariknya pasukan Amerika dari Afghanistan berlangsung | Sumber Gambar: airforcemag.com

Satu hal yang diduga menjadi penyebab kuat merosotnya approval rating Biden adalah, keputusan Biden untuk menarik mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan yang berujung menjadi kekacauaan. Seperti diketahui Perang di Afgahnistan memang telah berlangsung cukup lama, yakni? Selama 20 tahun, dari tahun 2001 hingga 2021 dan telah memakan anggaran yang sangat signifikan dan diperkirakan telah menembus angka 1 Triliun Dollar. 

Biden memang berencana untuk mengakhiri perang yang telah berlangsung lama dan telah memakan anggaran yang sangat besar ini. Tetapi langkah Biden terbilang salah dalam menarik pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan ini, karena kubu Taliban sepertinya sudah menunggu-nunggu kesempatan ini guna merebut kembali kekuasaan di Afghanistan dan Biden langsung menarik semua pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan dalam waktu yang cukup singkat sehingga timbul-lah kekacauaan yang diakibatkan dari serangan ultimatum dari Taliban yang berakibat pada jatuhnya pemerintahan Afghanistan saat ini dan naiknya kembali kubu Taliban di tampuk kekuasaan Afghanistan.

Tidak heran jika proses penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan justru diwarnai dengan kericuhan akibat kepanikan warga Afghanistan yang berusaha untuk dapat keluar dari Afghanistan karena takut akan kembalinya kepemimpinan pihak Taliban. Proses penarikan mundur pun justru beralih menjadi proses evakuasi warga Afghanistan yang hendak keluar dari Afghanistan. 

Tidak hanya itu saja serangan teroris juga terjadi di Bandara Afghanistan ketika proses evakuasi berlanjut yang menewaskan 183 orang termasuk 13 personil militer Amerika Serikat. Langkah Biden yang menarik pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan secara tergesa-gesa ini dinilai sangatlah salah. Biden seharusnya melakukan penarikan secara gradually atau bertahap, guna mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.

Biden pun seharusnya juga dapat membaca situasi, di mana posisinya yang sangatlah rentan akan serangan dari kubu Partai Republican yang masih sangat didominasi oleh Trump dan para pendukungnya yang masih memiliki hasrat kuat untuk merebut tampuk kekuasaan Kepresidenan Amerika, seharusnya tidak-lah mengambil keputusan yang membuat Kepresidenannya diserang habis-habisan oleh kubu Republican. Langkah Biden dengan menutup proyek "Keystone Pipeline" dan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan yang dinilai secara tergesa-gesa sehingga menimbulkan kekacauaan, menjadikannya sasaran empuk oleh kubu Partai Republican. Tidak hanya itu saja permasalahan akan skandal bisnis yang diduga melibatkan anak Joe Biden yaitu Hunter Biden, juga menjadi senjata pamungkas bagi kubu Partai Republican guna menyerang Biden secara habis-habisan.

Biden ketika tengah membahas masalah Perekonomian bersama Mekeu Janet Yellen dan Ketua Bank Central Amerika Jerome Powell | Sumber Gambar: lesechos.fr
Biden ketika tengah membahas masalah Perekonomian bersama Mekeu Janet Yellen dan Ketua Bank Central Amerika Jerome Powell | Sumber Gambar: lesechos.fr

Masih belum luput juga dari serangan kubu Partai Republican karena kekacauaan akibat dari penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan yang berujung pada serangan teroris yang menewaskan 13 personil militer Amerika, Pemerintahan Biden kembali dihadapi dengan masalah lainnya. Kali ini permasalahan yang menimpa pemerintahan Biden adalah permasalahan perekonomian, di mana inflasi meningkat sebesar 7,5% dan merupakan peningkatan inflasi terbesar selama 40 tahun terakhir. Walaupun hal ini merupakan permasalahan global yang juga terjadi akibat dari pandemi Covid-19, namun banyak yang menilai jika Pemerintahan Biden tidak bisa menangani permasalahan ekonomi yang mengakibatkan inflasi tersebut. Banyak masyarakat Amerika yang mengeluhkan dampak dari inflasi ini yang menyebabkan harga-harga naik.

Belum selesai dengan satu masalah, masalah lain kian menghampiri, mungkin itu lah deskribsi tepat yang menggambarkan Pemerintahan Joe Biden. Bagaimana tidak, setahun kemudian setelah Biden naik sebagai Presiden Amerika Serikat, tepatnya pada akhir Februari tahun 2022, Rusia pada akhirnya melancarkan invasinya ke Ukraine. Invasi Rusia ini memang mendapat kecaman dari berbagai pihak, namun di sisi lain memberi dampak yang signifikan juga pada perekonomian. Akibat dari oposisi Amerika terhadap invasi Rusia terhadap Ukraine, Pemerintahan Biden menghentikan seluruh import oil dan gas dari Rusia. Sayangnya tanpa disadari larangan tersebut justru berdampak cukup signifikan, karena justru menyebabkan kelangkaan minyak yang mengakibatkan naiknya harga-harga minyak. Pemerintahan Biden pun lantas menjadi sasaran empuk kubu partai Republican, yang menuduh langkah Biden menutup proyek pipa minyak "Keystone Pipeline" menjadi penyebab kelangkaan minyak yang berdampak pada naiknya harga minyak. Perekonomian yang rapuh dan naiknya harga minyak inilah yang mengakibatkan inflasi seakan menjadi seperti tidak terkendali.

Akibat dari semua faktor itulah approval rating Biden semakin merosot tajam. Merosotnya approval rating Biden dan hilangnya kepercayaan rakyat Amerika terhadap Pemerintahan Biden, nampaknya juga berdampak terhadap citra Partai Demokrat yang akan menghadapi pemilu Mid-Term pada November 2022 ini. Beberapa jajak pendapat menyebutkan jika Partai Demokrat kemungkinan besar akan kehilangan kendali di salah satu badan legislatif, baik Kongress atau Senate. Bahkan Partai Demokrat juga diprediksi akan kehilangan kendali di kedua badan legislatif, Senate dan Kongress. Sedangkan Partai Republican masih berada di bawah pengaruh Trump yang sangat dominan.

Posisi Trump yang masih sangat kuat 

Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan rivalnya mantan Presiden Donald Trump | Sumber Gambar: Getty Images
Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan rivalnya mantan Presiden Donald Trump | Sumber Gambar: Getty Images

Joe Biden memang berhasil mengalahkan Trump dan melengserkannya dari Kursi Kepresidenan Amerika Serikat. Tetapi satu hal yang pasti dan tidak dapat dipungkiri adalah Trump masih memiliki posisi yang sangat kuat dan juga pendukung yang banyak. Hal ini dapat dilihat dari angka yang diperoleh Biden dan Trump. Trump, walaupun kalah namun ia berhasil memperoleh suara electoral sebesar 232, sedangkan Biden yang memenangkan pemilihan Presiden menangtongi suara electoral sebesar 306 suara. Jika dilihat kembali dalam sejarah Amerika Serikat selama 50 tahun terakhir, sangat jarang Presiden incumbent yang kalah dalam pemilu untuk periode kedua namun berhasil memperoleh suara electoral hingga angka 200. 

Presiden incumbent terakhir yang kalah dalam pemilu untuk periode kedua adalah George Herbert Walker Bush yang kalah oleh Bill Clinton pada pemilu tahun 1992 dan hanya mengantongi 168 suara electoral, sedangkan Jimmy Carter yang kalah dalam pemilu untuk periode kedua oleh Ronald Reagan pada pemilu tahun 1980, hanya mengantongi suara electoral yang sangat sedikit, yakni? Di bawah angka 100, yaitu 49 suara electoral.

Adapun Presiden incumbent terakhir yang kalah pada pemilu dengan suara electoral di atas 200 adalah Gerald Ford pada pemilu tahun 1976 yang kalah oleh Jimmy Carter namun berhasil memenangkan suara electoral di atas 200, yaitu 240 suara electoral. Namun pada pemilu tahun 1976, Ford bukanlah maju untuk periode kedua, melainkan untuk periode pertamanya sebagai Presiden Amerika Serikat, karena Ford notabene hanya menghabiskan sisa masa jabatan Nixon yang harus mundur dari kursi Kepresidenan Amerika Serikat karena Skandal Watergate. Maka melihat dari suara electoral yang diperoleh Trump pada pemilu tahun 2020, tidak heran jika dapat dikatakan posisi Trump masih cukup kuat dan masih memiliki banyak pendukung.

Para Pendukung Trump yang menolak kemenangan Biden pada Pemilu tahun 2020 ketika menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari 2021 | Sumber Gambar: pbs.org
Para Pendukung Trump yang menolak kemenangan Biden pada Pemilu tahun 2020 ketika menyerbu Gedung Capitol pada 6 Januari 2021 | Sumber Gambar: pbs.org

Di sisi lain, Trump yang terus menyangkal bahwa dirinya kalah pada pemilu tahun 2020 dan terus menerus menyebarkan klaim tanpa bukti bahwa dirinya telah dicurangi pada pemilu tahun 2020, rupanya banyak pula pendukungnya yang mempercayai klaim Trump tersebut. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Trump menyebarkan klaim bahwa dirinya telah dicurangi pada pemilu tahun 2020, hingga Trump yang berhasil memobilisasi para pendukungnya yang cukup banyak sehingga berujung pada penyerbuan pada gedung Capitol oleh para pendukung-pendukung Trump dan pada akhirnya menimbulkan kekacauaan yang luar biasa. Jika memang pamor Trump sudah meredup dan sudah tidak lagi popular, maka sudah tidak ada lagi yang percaya dengan klaim tanpa bukti yang disebarkan oleh Trump jika dirinya telah dicurangi pada pemilu 2020 dan penyerbuan di Gedung Capitol pun tidak akan terjadi. Namun fakta menyebutkan yang sebaliknya.

Trump sendiri juga masih sangat kuat di kubu Partai Republican, hal ini dapat dilihat dengan masih banyanknya para politikus Partai Republican yang terus mendukung Trump. Bahkan politikus Partai Republican yang menolak untuk mendukung Trump, justru kehilangan citra dan pamornya di kubu Partai Republican, seperti yang terjadi kepada Anggota Kongress Liz Cheney yang sudah menganggap jika Trump bertanggung jawab atas tragedi penyerbuan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021 dan bahkan memvoting untuk mendakwa Trump pada impeachment Trump yang kedua yang disebabkan oleh penyerbuan Gedung Capitol. 

Sayangnya Liz Cheney justru kehilangan pamornya di kubu Partai Republican, bahkan Liz Cheney juga ditendang dari kursi pimpinan ketiga Partai Republican di Kongress, yaitu "Chair of House Republican Conference" atau Ketua Konfrensi Partai Republican di Kongress. Tidak hanya itu saja, politikus Partai Republican baik di Senate maupun Kongress juga banyak yang tidak setuju dengan dibentuknya Komite Kongress yang menyelidiki insiden penyerbuan Gedung Captiol pada 6 Januari 2021.

Alih-alih mengutuk Trump atas perbuatannya yang menyebabkan terjadinya insiden penyerbuan Gedung Capitol karena menolak hasil dari pemilu, yang tidak pernah terjadi dalam sejarah, sebagian besar politikus-politikus Partai Republican justru terus memberi dukungan kepada Trump. Sedangkan politikus-politikus Partai Republican yang tidak lagi mau mendukung Trump justru terancam kehilangan kedudukannya dan terancam akan kalah pada pemilu mid-term November 2022.


Indikasi adanya Politik Balas Dendam

Kubu Partai Republican di Kongress Amerika yang sebagian besar masih memberi dukungan kepada Trump | Sumber Gambar: Getty Images
Kubu Partai Republican di Kongress Amerika yang sebagian besar masih memberi dukungan kepada Trump | Sumber Gambar: Getty Images

Partai Demokrat atau Partai Presiden incumbent Amerika Serikat, Joe Biden, memang terancam akan kehilangan baik di salah satu badan legislatif maupun kedua badan legislatif. Tetapi yang ditakutkan oleh kubu Partai Demokrat adalah, kubu Partai Republican yang sepertinya akan melancarkan Politik Balas Dendam kepada kubu Partai Demokrat, terutama Presiden Joe Biden. Kubu Partai Republican memang telah mengancam akan mengambil tindakan atas balasan apa yang telah dilakukan oleh kubu Partai Demokrat semasa kepemimpinan Trump dari Partai Republican. 

Kubu Republican menuduh jika kubu Demokrat terus-menerus melakukan segala upaya guna menggoyang kepresidenan Trump, salah satunya adalah keinginan kubu Demokrat untuk meng-impeach atau memakzulkan Trump, sejak awal Trump menjadi Presiden. Bahkan belum setahun Kepresidenan Trump, pada 7 Juni 2017 dua Anggota Kongress Partai Demokrat yaitu Al-Green dan Brad Sherman sudah mendraftkan articles of impeachment atau rencana untuk pemakzulan Trump. 

Namun upaya tersebut gagal karena pada saat itu Partai Republican masih menguasai Kongress dan juga Senate. Ketika Partai Demokrat menguasai Kongress setelah memenangkan pemilu mid-term 2018, kubu Partai Demokrat pun mengajukan gugatan impeachment terhadap Trump pada pertengahan tahun 2019. Hal tersebut rupanya membuat kubu Partai Republican berang terhadap kubu Partai Demokrat.

Tidak hanya itu saja, kubu Partai Republican juga menuduh kubu Partai Demokrat terus berusaha menggoyang agenda-agenda dari Kepresidenan Trump. Salah satunya adalah menggagalkan nominasi Trump untuk posisi Hakim Agung di "Supreme Court" atau Mahkamah Agung Amerika Serikat. Seperti yang terjadi pada tahun 2018 di mana ketika Trump menominasikan Brett Kavanaugh sebagai Hakim Agung, kubu Partai Demokrat terus berusaha menggunakan segala upaya untuk menggagalkan nominasi Kavanaugh, salah satunya dengan mengambil kesempatan ketika Kavanaugh dituduh melakukan pelecahan seksual.

Joe Biden bersama sang Putra Hunter yang menjadi pusat perhatian karena dugaan negosiasi terselubung dari Bisnisnya | Sumber Gambar: Getty Images
Joe Biden bersama sang Putra Hunter yang menjadi pusat perhatian karena dugaan negosiasi terselubung dari Bisnisnya | Sumber Gambar: Getty Images

Pada tahun 2019 kubu Partai Demokrat mengajukan gugatan impeachment terhadap Trump, karena Trump diduga berusaha bersekongkol dengan Presiden Ukraine yang baru Volodymyr Zelenskyy dan mendesaknya untuk mencari keterlibatan Joe Biden pada bisnis sang anak, Hunter Biden di sebuah perusahaan migas Ukraine, Burisma ketika Joe Biden masih menjabat sebagai Wakil Presiden guna mendiskreditkan Joe Biden. Tetapi karena Senate masih dikuasai kubu Partai Republican, maka Trump pun lolos dari jeratan impeachment.

Sayangnya tuduhan terhadap Trump yang berujung pada impeachment Trump, seakan menjadi boomerang bagi Partai Demokrat. Karena sekarang kubu Partai Republican justru gencar menginvestigasi Hunter Biden dan juga bisnis-bisnis Biden yang diduga banyak melakukan kongkalikong yang tidak lazim. Hal inilah yang kelak dijadikan senjata bagi kubu Partai Republican untuk meng-impeach Biden, kelak jika Partai Republican memenangkan pemilu mid-term November 2020 dan berhasil merebut kekuasaan baik di salah satu badan legislatif, Kongress atau Senate, atau bahkan di kedua badan legislatif. Memang jika dilihat-lihat, kubu Partai Republican memang sepertinya cukup muak atas perilaku kubu Partai Demokrat semasa kepresidenan Trump dan tidak heran jika ada indikasi jika kubu Partai Republican akan melakukan hal yang sama kepada kubu Partai Demokrat terutama Presiden Joe Biden di kemudian hari jika berhasil menguasai salah satu badan legislatif atau mungkin keduanya.


Akankah Amerika Kembali ke Era Trump?

Pendukung Trump yang masih percaya jika Trump telah dicurangi pada pemilu tahun 2020 dan memenangkan pemilu tersebut | Sumber Gambar: news.sky.com
Pendukung Trump yang masih percaya jika Trump telah dicurangi pada pemilu tahun 2020 dan memenangkan pemilu tersebut | Sumber Gambar: news.sky.com

Trump memang sepertinya masih haus akan kekuasaan dan sangat ingin sekali untuk merebut kembali kursi Kepresidenan Amerika Serikat. Trump juga masih sangat gencar melakukan kampanye kiri kanan guna meloloskan pendukungnya di kursi-kursi penting politik, seperti berkampanye untuk meloloskan pendukungnya untuk memenangkan kursi di Kongress dan juga Senate dan juga untuk meloloskan pendukungnya untuk memenangkan kursi kepala daerah di beberapa negara bagian. Trump sendiri juga memberi indikasi bahwa dia akan kembali maju dalam Pemilihan Presiden pada pemilu tahun 2024. Sedangkan dukungan kepada Trump pun juga terus mengalir, bahkan di kalangan politikus-politikus Partai Republican dukungan terhadap Trump juga terus mengalir.

Sedangkan kubu Partai Demokrat harus berusaha bertahan dari terus merosotnya approval rating Presiden Joe Biden. Kubu Partai Demokrat berharap untuk mempertahankan kedudukan di kedua badan legislatif. Terutama meningat akan indikasi politik seperti politik balas dendam yang akan dilancarkan oleh kubu Partai Republican jika kubu Partai Republican berhasil menguasai kongress atau senate atau bahkan keduanya. Di sisi lain merosotnya approval rating Joe Biden dan hilangnya kepercayaan rakyat Amerika terhadap Joe Biden, juga menimbulkan spekulasi bahwa jika kelak Biden maju untuk periode kedua pada Pemilihan Presiden pada pemilu tahun 2024, Biden kemungkinan besar akan kalah dengan lawannya dari kubu Partai Republican. Bahkan berdasarkan jajak pendapat pada tajuk warta berita "CNN" menyebutkan jika sebanyak 75% pemilih dari Partai Demokrat, mengiginkan figure lain dibandingkan Biden pada Pemilihan Presiden tahun 2024. Mungkin Biden dinilai sudah cukup tua karena usianya yang akan menginjak 82 tahun pada pemilu tahun 2024 nanti dan menjadi penyebab mengapa para pemilih Partai Demokrat lebih condong menginginkan figure lain ketimbang Biden pada Pemilu tahun 2024.

Sedangkan Trump yang masih terus berusaha sekuat mungkin untuk merebut kembali kursi Kepresidenan, diprediksi akan kembali maju sebagai kandidat calon Presiden dari Partai Republican pada pemilu tahun 2024. Bahkan Biden dan Trump diprediksi akan "rematch" atau kembali bertarung satu sama lain pada Pemilihan Presiden tahun 2024. Sayangnya approval rating Biden yang terus merosot sepertinya akan membebani Biden jika maju kembali pada Pemilihan Presiden tahun 2024 dan akan memberi celah bagi Trump untuk merebut kembali kursi Kepresidenan pada pemilu tahun 2024. Walaupun terdapat beberapa politikus yang diprediksi akan maju pada pemilihan Presiden tahun 2024, seperti Gubernur Negara Bagian Florida Ron DeSantis, tetapi posisi Trump di kubu Partai Republican sepertinya masih cukup kuat untuk membuatnya kembali menjadi nominasi calon Presiden dari kubu Partai Republican pada pemilu tahun 2024.

Pemilu MidTerm yang akan diadakan pada November 2022 menjadi indikasi apakah Amerika akan kembali ke era Trump | Sumber Gambar: bthechange.com
Pemilu MidTerm yang akan diadakan pada November 2022 menjadi indikasi apakah Amerika akan kembali ke era Trump | Sumber Gambar: bthechange.com

Tetapi jawaban dari pertanyaan "Akankah Amerika kembali lagi ke Era Trump?" mungkin masih belum dapat terjawab secara pasti dan masih menjadi spekulasi. Tetapi hasil dari pemilu Mid-Term yang akan diadakan pada bulan November tahun 2022 ini, mungkin bisa menjadi acuan untuk jawaban dari pertanyaan  tersebut. Jika memang kubu Partai Demokrat bisa mempertahankan kendali di kedua badan legislatif, yaitu Kongress dan Senate, maka dapat dipastikan jika pamor Partai Republican yang masih berada di bawah pengaruh Trump memang sudah meredup. Namun jika Partai Republican dapat merebut kendali di salah satu Badan Legislatif, baik Kongress maupun Senate atau bahkan merebut kendali di kedua Badan Legislatif dan banyak dari kandidat pro-Trump yang memenangkan kursi, maka dapat dipastikan jika citra Partai Republican yang masih berada di bawah pengaruh Trump masih cukup populer dan dapat menjadi jalan pemulus bagi Trump untuk merebut kembali kursi Kepresidenan pada Pemilhan Presiden di tahun 2024 kelak nanti.

Sebagai catatan kubu Partai Republican pernah kehilangan kendali yang cukup lama akan kedua badan legislatif pasca pemilu mid-term tahun 1954, di mana kubu Partai Republican baru berhasil merebut kembali kursi mayoritas di Senate pasca pemilu tahun 1980 dan berhasil merebut kembali kursi mayoritas di Kongress pasca pemilu mid-term tahun 1994. Hal ini disebabkan karena ulah Senator Partai Republican Joseph McCarthy yang terus menerus melakukan tuduhan tidak mendasar terhadap individu-individu di Amerika yang diduga menjadi simpatisan Komunis. McCarthy bahkan berani menuduh jika Militer Amerika sudah disusupi oleh Komunis. Hal inilah yang menyebabkan Partai Republican kehilangan kursi mayoritas di kedua badan legislatif pada pemilu mid-term tahun 1954 dan tidak lagi memengang kendali atas kursi mayoritas di kedua badan legislatif untuk waktu yang cukup lama.


Sumber:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun