Di sisi lain, Trump yang terus menyangkal bahwa dirinya kalah pada pemilu tahun 2020 dan terus menerus menyebarkan klaim tanpa bukti bahwa dirinya telah dicurangi pada pemilu tahun 2020, rupanya banyak pula pendukungnya yang mempercayai klaim Trump tersebut. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Trump menyebarkan klaim bahwa dirinya telah dicurangi pada pemilu tahun 2020, hingga Trump yang berhasil memobilisasi para pendukungnya yang cukup banyak sehingga berujung pada penyerbuan pada gedung Capitol oleh para pendukung-pendukung Trump dan pada akhirnya menimbulkan kekacauaan yang luar biasa. Jika memang pamor Trump sudah meredup dan sudah tidak lagi popular, maka sudah tidak ada lagi yang percaya dengan klaim tanpa bukti yang disebarkan oleh Trump jika dirinya telah dicurangi pada pemilu 2020 dan penyerbuan di Gedung Capitol pun tidak akan terjadi. Namun fakta menyebutkan yang sebaliknya.
Trump sendiri juga masih sangat kuat di kubu Partai Republican, hal ini dapat dilihat dengan masih banyanknya para politikus Partai Republican yang terus mendukung Trump. Bahkan politikus Partai Republican yang menolak untuk mendukung Trump, justru kehilangan citra dan pamornya di kubu Partai Republican, seperti yang terjadi kepada Anggota Kongress Liz Cheney yang sudah menganggap jika Trump bertanggung jawab atas tragedi penyerbuan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021 dan bahkan memvoting untuk mendakwa Trump pada impeachment Trump yang kedua yang disebabkan oleh penyerbuan Gedung Capitol.Â
Sayangnya Liz Cheney justru kehilangan pamornya di kubu Partai Republican, bahkan Liz Cheney juga ditendang dari kursi pimpinan ketiga Partai Republican di Kongress, yaitu "Chair of House Republican Conference" atau Ketua Konfrensi Partai Republican di Kongress. Tidak hanya itu saja, politikus Partai Republican baik di Senate maupun Kongress juga banyak yang tidak setuju dengan dibentuknya Komite Kongress yang menyelidiki insiden penyerbuan Gedung Captiol pada 6 Januari 2021.
Alih-alih mengutuk Trump atas perbuatannya yang menyebabkan terjadinya insiden penyerbuan Gedung Capitol karena menolak hasil dari pemilu, yang tidak pernah terjadi dalam sejarah, sebagian besar politikus-politikus Partai Republican justru terus memberi dukungan kepada Trump. Sedangkan politikus-politikus Partai Republican yang tidak lagi mau mendukung Trump justru terancam kehilangan kedudukannya dan terancam akan kalah pada pemilu mid-term November 2022.
Indikasi adanya Politik Balas Dendam
Partai Demokrat atau Partai Presiden incumbent Amerika Serikat, Joe Biden, memang terancam akan kehilangan baik di salah satu badan legislatif maupun kedua badan legislatif. Tetapi yang ditakutkan oleh kubu Partai Demokrat adalah, kubu Partai Republican yang sepertinya akan melancarkan Politik Balas Dendam kepada kubu Partai Demokrat, terutama Presiden Joe Biden. Kubu Partai Republican memang telah mengancam akan mengambil tindakan atas balasan apa yang telah dilakukan oleh kubu Partai Demokrat semasa kepemimpinan Trump dari Partai Republican.Â
Kubu Republican menuduh jika kubu Demokrat terus-menerus melakukan segala upaya guna menggoyang kepresidenan Trump, salah satunya adalah keinginan kubu Demokrat untuk meng-impeach atau memakzulkan Trump, sejak awal Trump menjadi Presiden. Bahkan belum setahun Kepresidenan Trump, pada 7 Juni 2017 dua Anggota Kongress Partai Demokrat yaitu Al-Green dan Brad Sherman sudah mendraftkan articles of impeachment atau rencana untuk pemakzulan Trump.Â
Namun upaya tersebut gagal karena pada saat itu Partai Republican masih menguasai Kongress dan juga Senate. Ketika Partai Demokrat menguasai Kongress setelah memenangkan pemilu mid-term 2018, kubu Partai Demokrat pun mengajukan gugatan impeachment terhadap Trump pada pertengahan tahun 2019. Hal tersebut rupanya membuat kubu Partai Republican berang terhadap kubu Partai Demokrat.
Tidak hanya itu saja, kubu Partai Republican juga menuduh kubu Partai Demokrat terus berusaha menggoyang agenda-agenda dari Kepresidenan Trump. Salah satunya adalah menggagalkan nominasi Trump untuk posisi Hakim Agung di "Supreme Court" atau Mahkamah Agung Amerika Serikat. Seperti yang terjadi pada tahun 2018 di mana ketika Trump menominasikan Brett Kavanaugh sebagai Hakim Agung, kubu Partai Demokrat terus berusaha menggunakan segala upaya untuk menggagalkan nominasi Kavanaugh, salah satunya dengan mengambil kesempatan ketika Kavanaugh dituduh melakukan pelecahan seksual.