Biden pun seharusnya juga dapat membaca situasi, di mana posisinya yang sangatlah rentan akan serangan dari kubu Partai Republican yang masih sangat didominasi oleh Trump dan para pendukungnya yang masih memiliki hasrat kuat untuk merebut tampuk kekuasaan Kepresidenan Amerika, seharusnya tidak-lah mengambil keputusan yang membuat Kepresidenannya diserang habis-habisan oleh kubu Republican. Langkah Biden dengan menutup proyek "Keystone Pipeline" dan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan yang dinilai secara tergesa-gesa sehingga menimbulkan kekacauaan, menjadikannya sasaran empuk oleh kubu Partai Republican. Tidak hanya itu saja permasalahan akan skandal bisnis yang diduga melibatkan anak Joe Biden yaitu Hunter Biden, juga menjadi senjata pamungkas bagi kubu Partai Republican guna menyerang Biden secara habis-habisan.
Masih belum luput juga dari serangan kubu Partai Republican karena kekacauaan akibat dari penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan yang berujung pada serangan teroris yang menewaskan 13 personil militer Amerika, Pemerintahan Biden kembali dihadapi dengan masalah lainnya. Kali ini permasalahan yang menimpa pemerintahan Biden adalah permasalahan perekonomian, di mana inflasi meningkat sebesar 7,5% dan merupakan peningkatan inflasi terbesar selama 40 tahun terakhir. Walaupun hal ini merupakan permasalahan global yang juga terjadi akibat dari pandemi Covid-19, namun banyak yang menilai jika Pemerintahan Biden tidak bisa menangani permasalahan ekonomi yang mengakibatkan inflasi tersebut. Banyak masyarakat Amerika yang mengeluhkan dampak dari inflasi ini yang menyebabkan harga-harga naik.
Belum selesai dengan satu masalah, masalah lain kian menghampiri, mungkin itu lah deskribsi tepat yang menggambarkan Pemerintahan Joe Biden. Bagaimana tidak, setahun kemudian setelah Biden naik sebagai Presiden Amerika Serikat, tepatnya pada akhir Februari tahun 2022, Rusia pada akhirnya melancarkan invasinya ke Ukraine. Invasi Rusia ini memang mendapat kecaman dari berbagai pihak, namun di sisi lain memberi dampak yang signifikan juga pada perekonomian. Akibat dari oposisi Amerika terhadap invasi Rusia terhadap Ukraine, Pemerintahan Biden menghentikan seluruh import oil dan gas dari Rusia. Sayangnya tanpa disadari larangan tersebut justru berdampak cukup signifikan, karena justru menyebabkan kelangkaan minyak yang mengakibatkan naiknya harga-harga minyak. Pemerintahan Biden pun lantas menjadi sasaran empuk kubu partai Republican, yang menuduh langkah Biden menutup proyek pipa minyak "Keystone Pipeline" menjadi penyebab kelangkaan minyak yang berdampak pada naiknya harga minyak. Perekonomian yang rapuh dan naiknya harga minyak inilah yang mengakibatkan inflasi seakan menjadi seperti tidak terkendali.
Akibat dari semua faktor itulah approval rating Biden semakin merosot tajam. Merosotnya approval rating Biden dan hilangnya kepercayaan rakyat Amerika terhadap Pemerintahan Biden, nampaknya juga berdampak terhadap citra Partai Demokrat yang akan menghadapi pemilu Mid-Term pada November 2022 ini. Beberapa jajak pendapat menyebutkan jika Partai Demokrat kemungkinan besar akan kehilangan kendali di salah satu badan legislatif, baik Kongress atau Senate. Bahkan Partai Demokrat juga diprediksi akan kehilangan kendali di kedua badan legislatif, Senate dan Kongress. Sedangkan Partai Republican masih berada di bawah pengaruh Trump yang sangat dominan.
Posisi Trump yang masih sangat kuatÂ
Joe Biden memang berhasil mengalahkan Trump dan melengserkannya dari Kursi Kepresidenan Amerika Serikat. Tetapi satu hal yang pasti dan tidak dapat dipungkiri adalah Trump masih memiliki posisi yang sangat kuat dan juga pendukung yang banyak. Hal ini dapat dilihat dari angka yang diperoleh Biden dan Trump. Trump, walaupun kalah namun ia berhasil memperoleh suara electoral sebesar 232, sedangkan Biden yang memenangkan pemilihan Presiden menangtongi suara electoral sebesar 306 suara. Jika dilihat kembali dalam sejarah Amerika Serikat selama 50 tahun terakhir, sangat jarang Presiden incumbent yang kalah dalam pemilu untuk periode kedua namun berhasil memperoleh suara electoral hingga angka 200.Â
Presiden incumbent terakhir yang kalah dalam pemilu untuk periode kedua adalah George Herbert Walker Bush yang kalah oleh Bill Clinton pada pemilu tahun 1992 dan hanya mengantongi 168 suara electoral, sedangkan Jimmy Carter yang kalah dalam pemilu untuk periode kedua oleh Ronald Reagan pada pemilu tahun 1980, hanya mengantongi suara electoral yang sangat sedikit, yakni? Di bawah angka 100, yaitu 49 suara electoral.
Adapun Presiden incumbent terakhir yang kalah pada pemilu dengan suara electoral di atas 200 adalah Gerald Ford pada pemilu tahun 1976 yang kalah oleh Jimmy Carter namun berhasil memenangkan suara electoral di atas 200, yaitu 240 suara electoral. Namun pada pemilu tahun 1976, Ford bukanlah maju untuk periode kedua, melainkan untuk periode pertamanya sebagai Presiden Amerika Serikat, karena Ford notabene hanya menghabiskan sisa masa jabatan Nixon yang harus mundur dari kursi Kepresidenan Amerika Serikat karena Skandal Watergate. Maka melihat dari suara electoral yang diperoleh Trump pada pemilu tahun 2020, tidak heran jika dapat dikatakan posisi Trump masih cukup kuat dan masih memiliki banyak pendukung.