Mohon tunggu...
Erwindya Adistiana
Erwindya Adistiana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Learning by Experience

Penulis pemula yang tertarik pada hal-hal seperti sejarah, militer, politik dan yang lain-lannya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Dith Pran dan Haing S. Ngor: Bintang dan Tokoh Film dengan Pengalaman yang Sama

7 Juli 2022   11:45 Diperbarui: 7 Juli 2022   12:12 1874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemimpin Kamboja di era Khmer Merah, Saloth Sr atau yang biasa dikenal sebagai Pol-Pot | Sumber Gambar: espressostalinist.com
Pemimpin Kamboja di era Khmer Merah, Saloth Sr atau yang biasa dikenal sebagai Pol-Pot | Sumber Gambar: espressostalinist.com

Tetapi visi Pol-Pot yang sebenarnya adalah untuk membangun kembali kejayaan Kamboja layaknya seperti Kamboja di era Kerajaan Khmer yang berdiri dari abad ke-9 hingga abad ke-15. Pol-Pot bahkan sempat mengatakan jika masyarakat Kamboja di era Kerajaan Khmer dapat membangun Angkor, maka tentunya masyarakat Kamboja di era sekarang dapat membangun sesuatu yang lebih menakjubkan. Untuk menciptakan masyarakat utopianya tersebut, Pol-Pot dan rezim Khmer Merahnya memerintahkan seluruh penduduk Kamboja yang tinggal di Ibukota Phnom-Penh dan kota-kota besar lainnya untuk segera direlokasi dan dipindahkan ke wilayah pedesaan.

Tidak hanya itu saja, rezim Khmer Merah di bawah pimpinan Pol-Pot juga memaksa masyarakat-masyarakat Kamboja untuk bekerja secara paksa di pertanian kolektif. Sedangkan orang-orang yang dinilai sebagai orang intelektual, mereka yang terpelajar dan terdidik, mereka yang pernah bekerja di Pemerintahan selama era Khmer Republic, mereka yang dapat berbicara bahasa asing seperti bahasa Perancis, mereka yang mengenakan kacamata harus menerima nasib untuk dieksekusi mati oleh rezim Khmer Merah, dengan andil untuk me-re-edukasi seluruh masyarakat Kamboja. 

Pol Pot juga menerapkan kebijakan dengan mengembalikan tahun di Kamboja menjadi "Tahun Nol" guna mengembalikan Kamboja kembali ke peradaban masa lalu. Akibatnya sekitar 1,5 juta hingga 3 juta warga Kamboja harus kehilangan nyawanya selama era rezim Khmer Merah akibat kelaparan, sakit yang tak terobati dan lebih parahnya lagi dengan sengaja dieksekusi oleh Pemerintah rezim Khmer Merah atas perintah Pol-Pot. Mereka yang dihabisi oleh Pemerintah rezim Khmer Merah banyak dieksekusi di daerah bernama Choeung Ek yang terletak di provinsi Khan Dangkao dan dikubur secara masal di sana, lokasi inilah yang kelak dikenal dengan sebutan "The Killing Fields" di kemudian hari.

Kisah Dith Pran

Dith Pran, tokoh yang diperankan oleh Haing S. Ngor di film The Killing Fields | Sumber Gambar: nytimes.com
Dith Pran, tokoh yang diperankan oleh Haing S. Ngor di film The Killing Fields | Sumber Gambar: nytimes.com

Dith Pran yang merupakan salah satu karakter yang kisah dan inspirasinya diangkat ke film The Killing Fields memang juga salah satu penyintas dari rezim Khmer Merah di Kamboja. Pran sendiri juga pernah menyaksikan kekejaman di tempat ladang The Killing Fields yang menjadi lokasi pembunuhan ribuan warga Kamboja Pada saat itu. Dith Pran lahir pada 23 September tahun 1942 di Siem Reap, Kamboja dekat dengan salah satu situs bersejarah Kamboja yang terkenal, Angkor Wat. 

Ayah Dith Pran bekerja untuk pemerintah setempat. Ketika bersekolah, Dith Pran belajar untuk berbicara Bahasa Inggris dan Bahasa Perancis, yang mana merupakan bahasa yang sering dipakai warga Kamboja waktu itu, di mana Kamboja sempat menjadi jajahan Perancis atau yang sering disebut sebagai "IndoChina" pada masa penjajahan Perancis kala itu. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Dith Pran sempat bekerja sebagai penerjemah untuk para perwira Angkatan Darat Amerika Serikat dan juga untuk crew film Inggris yang sedang menggarap film berjudul "Lord Jim" yang mengambil lokasi syuting di Kamboja pada tahun 1965.

Pada tahun 1972 Dith Pran bertemu seorang wartawan surat kabar Amerika Serikat "The New York Times" bernama Sydney Schanberg. Keduanya pun menjalin hubungan yang sangat erat ketika bekerja bersama, di mana Pran bekerja sebagai penerjamah untuk Schanberg ketika melakukan liputan di Kamboja ketika Kamboja berada di masa-masa genting perang saudara antara kubu Republik Khmer di bawah pimpinan Jenderal Lon Nol dan kubu Khmer Merah di bawah pimpinan Pol-Pot. 

Ketika pasukan Republik Khmer mulai terpukul mundur oleh pasukan Khmer Merah dan pemerintahan Republik Khmer mulai goyah, Schanberg menawarkan untuk membantu mengevakuasi Pran beserta keluarganya keluar dari Kamboja melalui rombongan evakuasi staff Kedutaan Besar Amerika Serikat di Phnom Penh. Sayangnya Pran menolak tawaran tersebut dan memilih untuk tetap tinggal di Kamboja bersama Schanberg, namun istri dan anak-anak Pran berhasil dievakuasi keluar dari Kamboja beserta rombongan staff Kedutaan Besar Amerika Serikat, pada 12 April tahun 1975, berkat bantuan Schanberg.

Dith Pran bersama sydney schanberg ketika mewawancarai tentara pemerintah Republik Khmer pada tahun 1973 | Sumber Gambar: Getty Images
Dith Pran bersama sydney schanberg ketika mewawancarai tentara pemerintah Republik Khmer pada tahun 1973 | Sumber Gambar: Getty Images

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun