Munculnya layanan hemat tentu menuai beragam respon dan sikap dari mitra pengemudi. Saya mencatat ada tiga sikap mitra pengemudi dalam hal order hemat ini.
Pertama adalah mitra pengemudi yang menolak order layanan hemat.Pengemudi menolak layanan hemat karena merasa dirugikan karena hasil yang didapatkan tidak sesuai harapan dan jerih payah yang dilakukan.
Pendapatan bersih layanan hemat yang diterima mitra pengemudi sekitar rentang harga Rp 12.800 dan Rp 15.000. Dengan pendapatan itu, mitra memiliki tantangan dan terkadang menerima kendala di lapangan.
Di antara kendala mitra adalah penjemputan yang jauh bahkan jaraknya lebih dari 3 km yang bisa membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit untuk tiba di lokasi penjemputan.
Belum lagi setelah tiba di lokasi jemput masih harus menunggu 5-10 menit disebabkan penumpang belum siap berangkat.
Dilanjutkan menuju lokasi tujuan yang berjarak dekat meski terkadang tidak lebih dari 3 km namun dengan waktu tempuh lebih dari 15 menit yang bisa disebabkan kemacetan atau padatnya volume kendaraan.
Tidak berlebihan jika ada pengemudi yang menolak jenis layanan hemat ini. Karena menurut mereka hal itu bisa memakan banyak waktu, namun mendapatkan hasil yang tidak lebih dari harga 2 liter BBM jenis pertalite.
Akhirnya mitra pengemudi menolak order hemat dengan menonaktifkan layanan hemat pada aplikasinya masing-masing.
Yang kedua, pengemudi yang tetap mengambil order hemat. Pengambilan order hemat tetap dilakukan bukannya tanpa alasan.
Selain akan memperbaiki performa, mitra juga akan berpotensi mendapatkan insentif tambahan pada waktu yang telah ditetapkan.
Beberapa pengemudi mensiasati dengan mengkombinasikan on-off jenis layanan hemat ini. Ibarat jalur puncak saat akhir pekan yang buka-tutup menyesuaikan kondisi yang terjadi pada saat itu.