Mohon tunggu...
Erwin Alwazir
Erwin Alwazir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Karyawan Swasta

Rayakan Kata dengan Fiksi, Politik, Humaniora dan keluarga.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Apakah Tersenyum akan Diawasi Juga oleh KPI?

17 Agustus 2019   00:25 Diperbarui: 17 Agustus 2019   00:56 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama lembaganya KPI. Tugasnya menjamin informasi layak atau tidak layak sampai ke publik. Juga mengawasi, mengontrol, mengatur, menerima aduan masyarakat, sampai mengembangkan sumber daya manusia dibidang penyiaran. 

Kerja yang berat. Tapi percayalah. Anggaran yang digelontorkan untuk menopang kinerja lembaga independen satu ini jelas lebih tinggi dari gaji guru honorer setahun, untuk sebulan gaji personal mereka. Tidak percaya? Tanya saja menteri keuangan. Dengan fasih Sri Mulyani pasti akan menjelaskan sambil tersenyum kecut.

Secara UU jangan ditanya. Tugas pokok KPI sudah diatur dengan jelas. Cebong atau kampret tidak berhak mempersoalkan. Legal sudah. Tugas lembaga independen ini melakukan sweping di dunia maya. 

Bagi-bagi tugas dengan FPI yang fokus sweping di dunia nyata. Bedanya yang terakhir ini tidak terima gaji. Kata aktifisnya, bayarannya adalah akhirat yang lebih baik. Sutralah. 

Yang penting kurangi main pentung sembarangan. Pentung dan kepentung sama-sama sakit. Lebih menyakitkan kalo yang  kepentung mertua sendiri. Atau kepala sendiri. BPJS tidak mengkover benjolan yang disebabkan oleh pentungan. Atau menabrak tiang listrik. Undang-undang mengatur demikian. Jika keliru, tolong jangan pentung saya!

Dari tahun 2002, setahu saya,  ranah tugas KPI hanya sebatas mengawasi lembaga penyiaran seperti televisi atau radio. Prioritasnya memang lebih ke tayangan televisi. 

KPI punya hak untuk menegur tayangan TV baik punya pemerintah atau swasta. Unsur "pidana"-nya  tak perlu ribet, cukup dikategorikan melanggar tiga hal saja : tidak pantas, tidak logis, atau tidak cocok umur. 

Di kategori "tidak pantas", memang sudah haknya KPI untuk menegur. Publik memang tidask pantas disuguhi adegan kekerasan di saat asyik bulan madu,  ekonomi lagi sulit, atau di saat kondisi politik lagi berasap. Tayangan "tidak logis" wajib disemprit maksimal oleh KPI. 

Misalnya tayangan beraroma mistik. Masa hantu yang dicap mahluk ghaib bisa ngobrol dengan manusia. Secara logika sulit diterima. Semasa hidup, calon hantu orang Jawa, setelah meninggal eh kok ngomong pake bahasa Inggris? Bagi yang nalarnya pendek, mending mereka memilih mati saja daripada ikut bimbel bahasa Inggris. Mati gratis, bimbel kan bayar.

Begitu juga di kategori "tidak untuk semua umur" alias "tidak untuk umum", "tidak untuk semua kalangan", dan turunan lainnya. KPI dipandang masih abai mengawasi ini. 

Mereka baru memadamkan api setelah masyarakat mengadukan adanya tiga "tanda-tanda kebakaran" pada tayangan yang mereka tonton. Persis  polisi film India. Tunaikan tugasmu setelah aktor utama babak belur.

Sederhananya, apabila satu dari tiga barang bukti ini sudah didapat, maka KPI wajib menjalankan tugasnya. Tak perlu menunggu alarm dari publik. Bahasa daerah saya Pagaralam, Sumsel, buang jauh-jauh tabiat "budi pacalan", bekerja apabila dilihat atau dipantau. Lepas dari pantauan kembali jadi pribadi yang pemalas.  

Dan sekarang, jika KPI akhir-akhir ini jadi sorotan berkaitan dengan ide radikalnya bekerja lintas tugas dan fungsi, seperti mengawasi konten-konten digital terkini (facebook, WA, instagram, youtube, netflix etc), maka jangan salahkan publik mengkritiknya dengan muka cemberut. 

Bukan karena keberatan, tapi UU-nya dulu yang dibikin, didiskusikan, didebatkan dan setelah klop baru disosialisasikan. Jangan menggunakan rumus mentang-mentang. Kerja dulu, aturan belakangan.

Sudah jamak  di mata publik, kinerja KPI selama ini dianggap belum begitu memuaskan. Masih banyak tayangan yang melanggar slogan "Tidak, tidak dan tidak" tadi yang  lolos sensor. Di kategori tidak pantas, iklan-iklan yang sensual dan memancing libido masih juga berseliweran. Oke, sensual atau tidak ukurannya relatif. Biarlah menjadi ruang debat penghamba dunia dan pecinta akhirat sampai kiamat. 

Tapi bagaimana dengan adegan-adegan sinetron, misalnya bermesraan di tempat tidur, mengintip orang mandi, pantaskah tayang di jam utama di saat anak-anak belum selesai mengerjakan PR? Mungkin pantas bagi pengiklan, tapi tidak pantas bagi orang tua.

Lalu mungkin KPI membela diri. Kalau ukurannya pantas atau tidak pantas, bukankah adegan seorang anak yang memarahi orang tuanya juga tidak pantas menurut agama? Aduh, kepala saya serasa dipentung beneran.

Okelah. KPI boleh berdalih. Mereka kurang personil. Mustahil bisa memantau tayangan televisi selama 24 jam. Kambing saja butuh istirahat. Apalagi manusia.  Atau menggunakan dalih yang sensitif. Anggaran belum memadai. Gampang kok. Tinggal usulin. Kalo disetujui, berpestalah kalian dengan meningkatkan kinerja. Apa susahnya?

Menjadi janggal memang, ketika KPI dianggap belum maksimal melindungi publik dari tayangan negatif, KPI sekarang malah minta tugas tambahan : mengawasi konten digital yang berseliweran di media digital. 

Oke-oke saja kalo tugas bertambah anggaran berkurang, tapi kalo makin membengkak, sementara pengaduan masyarakat kerap direspon dengan lambat, apa iya publik ikhlas merelakan sebagian uang pajak mereka untuk menggaji mereka?

Tak ada dusta di antara kita. Publik masih menaruh harapan pada FPI, eh KPI. Jadi bekerja saja dengan maksimal. Tak usah menangani konten-konten digital yang lain. 

Kasihan menkominfo karena harus berbagi tugas dan anggaran. Jika pun Rudiantara rela, pastinya bikin tugas anda "kegemukan". Jadinya kurang cekatan dalam bertindak. Langsing saja keteteran. Apalagi kalo berat badan tergolong naudzubillah! 

Simpan saja angan-angan itu. Sebelum UU-nya diproklamirkan. Jika kelak publik sudah mengacungkan jempol untuk kalian, bolehlah membuka kavlingan yang baru. 

Jangankan mengawasi konten digital yang menampilkan gerak dan suara, jika perlu, senyum digital kami pun di media sosial boleh juga kalian awasi saban hari. Silahkan larang jika dianggap kurang ber-bhinneka, kurang  Indonesia, terlalu sensual, atau dapat menimbulkan kecemburuan sosial karena merek lipstik kemahalan. Monggo sensor jika memenuhi kategori: Pantas, tidak pantas, logis, tidak logis, atau...,senyumnya tidak cocok dengan usianya! 

Yeah...masa bodoh amat. Wong tersenyum saja bisa menipu, kok!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun